Rabu, 07 Januari 2004

Program Kemitraan Bahari Jadi Upaya Atasi Kemiskinan Rakyat Pesisir

Tanggal : 7 Januari 2004
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0401/07/bahari/785579.htm

BERMUKIM dekat laut dengan beragam jenis ikan dan sumber daya kelautan lainnya selama ini tidak membuat masyarakat pesisir hidup berkecukupan. Justru kemelaratanlah yang begitu akrab dengan kehidupan sebagian besar mereka. Kemiskinan memang dialami sekitar 90 persen atau 119 juta penduduk yang tinggal di wilayah pantai. Jumlah masyarakat pesisir ini mencapai 60 persen dari penduduk Indonesia.

SEBUT salah satunya Riau, yang meski tergolong provinsi terkaya di Indonesia, 42 persen penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Mereka itu umumnya adalah masyarakat pesisir. Ini seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Prof Dr Tengku Dahril dalam kunjungan kerja Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Prof Dr Widi Agus Pratikto medio November 2003.

Kondisi masyarakat pantai di sana memang ironis karena provinsi yang 70 persen wilayahnya berupa lautan, selain memiliki ladang minyak di pesisir yang kaya, juga memiliki sumber daya laut yang melimpah.

Lemahnya perekonomian masyarakat pantai yang umumnya nelayan, menurut Widi, disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya rendahnya tingkat pendidikan, pola hidup yang cenderung konsumtif, dan kultur masyarakat penduduk pesisir yang tidak mendukung bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di kawasan itu.

Hal ini juga diperparah dengan rendahnya kapasitas kelembagaan pemda dalam merencanakan, memanfaatkan, dan mengendalikan sumber daya pesisir dan laut secara lestari, serta ketiadaan dukungan lembaga pembiayaan atau perbankan dalam memodali usaha mereka.

Dalam kondisi yang serba tidak memadai itu, berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah justru kian memperburuk keadaan. Karena, hal itu mendorong keluarnya kebijakan pemda untuk lebih gencar mengeksploitasi sumber daya pesisir dan laut dalam meningkatkan pendapatan asli daerah masing-masing.

Hal ini mengakibatkan di beberapa daerah terjadi tekanan terhadap lingkungan yang semakin berat, baik yang disebabkan oleh pengerukan kekayaan laut yang tidak memperhatikan aspek konservasi maupun oleh pencemaran limbah dari aktivitas penduduk dan industri di darat dan laut. Nyatanya banyak sektor yang berkepentingan dengan sumber daya pesisir, di antaranya sektor perikanan, pariwisata, pertambangan, perhubungan laut, industri maritim, pekerjaan umum, konservasi, dan farmasi.

Di sisi lain desakan kebutuhan hidup dan kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan pesisir juga mendorong sebagian masyarakat nelayan melakukan praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti meledakkan bom dan penggunaan racun sianida untuk menangkap ikan. Karang pun diambil sebagai bahan bangunan. Hal negatif ini justru merusak "ladang garapan" mereka, yaitu terumbu karang yang menjadi tempat ikan berkembang biak. Hal ini berakibat hasil tangkapan mereka kian menurun sehingga menjatuhkan mereka ke dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam lagi.

Kenyataannya, kerusakan telah dilaporkan di berbagai kawasan pesisir di Indonesia. Pemanfaatan sumber daya ikan, terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove, serta pasir pantai telah berlangsung secara berlebihan dan dalam kurun waktu yang panjang sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan pesisir yang parah di beberapa tempat.

Kerusakan ekosistem terumbu karang sebagai "pabrik ikan" kini telah dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanologi LIPI, Suharsono, menyebutkan, pada tahun 1998 ekosistem karang yang berada dalam kondisi sangat baik tinggal 6,41 persen, sedangkan 70 persen dalam kondisi rusak hingga rusak parah.

UPAYA mengentaskan masyarakat nelayan dari kemiskinan dan berbagai permasalahan di pesisir yang kompleks itu telah dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan menggelar "Program Kemitraan Bahari" (PKB). Program ini dikembangkan dengan mengambil model "Program Sea Grant" yang telah dilaksanakan di Amerika Serikat sejak tahun 1960-an dan "Collaborative Research Center for Coastal Zone and Waterways" di Australia. Dua model tersebut dimodifikasi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan Indonesia.

Dalam program ini, DKP menjalin kemitraan dengan universitas setempat untuk mendorong pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan mengatasi masalah yang dihadapi, yaitu dengan membangun kelembagaan kelautan di daerah, memberi pemahaman tentang pola hidup yang produktif, menularkan pengetahuan tentang lingkungan kelautan, dan kewirausahaan lewat penyuluhan dan pelatihan. Selain itu, dilakukan upaya pendampingan masyarakat dalam melakukan pengkajian dan pengelolaan pada skala tertentu.

Dengan meningkatkan keterampilan dan penguasaan iptek serta pendirian kelembagaan yang mantap, Widi berkeyakinan masyarakat pesisir dapat berdaya memanfaatkan sumber daya pesisir secara berkelanjutan dengan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. "Program ini juga bertujuan menumbuhkan etos kerja kemitraan untuk mencapai sinergi dan arah pembangunan pesisir yang lebih efisien dan efektif," ujar Widi, yang juga Guru Besar Teknologi Kelautan di ITS.

Dalam kaitan itu dilakukan pula penyiapan data dan informasi sebagai dasar pembuatan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam pemanfaatan dan perlindungan serta rehabilitasi sumber daya pesisir. Pembuatan kebijakan selanjutnya dilakukan di daerah dengan melibatkan semua pihak, termasuk LSM, masyarakat, dan swasta. "Hal ini memungkinkan implementasi kebijakan dilaksanakan dan ditaati semua pihak," ujarnya.

Dalam kegiatan kemitraan ini juga dilakukan penelitian terapan dengan melibatkan peneliti dari perguruan tinggi yang ada di daerah dan lembaga riset terkait. Hal ini dilakukan mengingat langkanya sumber daya manusia berkualitas di pemda dan masyarakat setempat.

Melalui kemitraan ini, perguruan tinggi setempat menyediakan tenaga terdidik atau mahasiswa yang akan menyelesaikan tugas akhir untuk melakukan kegiatan penyuluhan, pelatihan, pendampingan, penelitian, dan penerapan teknologi sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir. Dengan adanya program kemitraan ini, lanjutnya, pembangunan kelautan di daerah dapat diakselerasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sekaligus menjaga kelestarian sumber dayanya.

PADA tahap awal PKB dirintis di lima daerah yang disebut Pusat Regional, yaitu Sumatera Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Untuk pelaksanaan program itu dibentuk Konsorsium Kemitraan Bahari yang melibatkan berbagai unsur dan komponen masyarakat setempat.

Di setiap pusat itu ditunjuk Direktur Regional dari eselon satu DKP. Penanggung Jawab Konsorsium dipilih peneliti dari perguruan tinggi setempat, yang tentunya mempunyai program pokok ilmiah di bidang kelautan. Kegiatan penelitian juga menyertakan peneliti dari universitas lain yang tergolong lebih maju dalam hal itu, yaitu IPB, ITB, Undip, UI, dan UGM. Mereka tergabung dalam Komite Pusat PKB.

"Program Kemitraan Bahari" di Sumatera Barat berpusat di Universitas Andalas dan Pusat Regional Sulawesi Selatan berada di Universitas Hasanuddin. Kedua pusat ini melibatkan peneliti dari ITB dalam kegiatan risetnya. Adapun Pusat Regional Kalimantan Timur di Universitas Mulawarman dan Pusat Regional Sulawesi Utara di Universitas Sam Ratulangi menyertakan peneliti dari IPB. Sementara itu, kegiatan riset yang dilakukan Pusat Regional Jawa Timur di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) diikuti pula periset dari UGM.

Kegiatan yang dilakukan di lima daerah tersebut difokuskan pada hal yang berkaitan dengan mengatasi masalah setempat, baik yang berkaitan dengan faktor ekonomi dan lingkungan maupun sosial dan budaya. Oleh karena itu, selain meningkatkan kebutuhan masyarakat pesisir dan produktivitas pemanfaatan sumber daya pesisir secara berkelanjutan, tujuan program adalah mengubah pola hidup konsumtif dan melepas jeratan para tengkulak terhadap nelayan lewat lembaga keuangan mikro.

Sudirman Saad, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir DKP, yang juga Direktur Regional PKB Jawa Timur, menjelaskan, program yang dilakukan di Pusat Regional Jawa Timur dilakukan di Pantai Genjeran, Surabaya, dengan pendekatan kewilayahan. Pantai yang semula kumuh akan ditata kembali, antara lain pada aspek lingkungan, ekonomi, pariwisata, hingga sosial dan budaya.

Selama ini di daerah tersebut telah ada kegiatan wisata bahari, tetapi masih bersifat amatiran. Tempat pendaratan ikan (TPI) di pantai tersebut juga belum digarap secara efisien dan memberi dampak yang signifikan bagi nelayan. Potensi ekonomi tersebut mulai tahun depan akan digarap secara optimal.

TPI akan dikembangkan menjadi pasar higienis. Dengan demikian, tidak hanya menjadi tempat transaksi ikan, tetapi juga restoran makanan laut. Wisata bahari yang selama ini dikelola pemda akan didorong agar dapat menarik investasi sehingga dapat memenuhi standar wisata bahari tingkat internasional.

Sementara itu, pada PKB di Sulawesi Selatan, Pusat Regional di provinsi ini akan menggarap sebuah pulau kecil di Takalar menjadi daerah pariwisata bahari dan sentra pemrosesan rumput laut. Pusat Regional Sulawesi Utara akan berkonsentrasi pada pengembangan kawasan konservasi laut skala desa di Minahasa Selatan, melanjutkan program yang sama yang telah berhasil dilaksanakan di Blongko, Minahasa.

Sementara itu, di Kalimantan Selatan akan dilaksanakan pengelolaan terpadu Delta Mahakam, Balikpapan. Di Sumatera Barat, kemungkinan akan dilaksanakan konservasi terumbu karang di Kepulauan Mentawai. Berkaitan dengan upaya rehabilitasi dan perlindungan kawasan pesisir diperkenalkan teknologi pembuatan terumbu karang buatan dan teknik pembangunan dermaga yang ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan abrasi pantai di tempat lain.

Bila proyek percontohan ini berhasil dilaksanakan di provinsi itu, akan dikembangkan di daerah lain. Saat ini beberapa provinsi telah mengajukan keinginannya mengikuti program tersebut, yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Kalimantan Barat, dan Riau. Usulan ini akan diseleksi dan disesuaikan dengan anggaran yang ada.

SELAIN menggarap sektor ekonomi dan lingkungan, program juga diarahkan ke pembenahan sosial dan budaya. "Pemberdayaan masyarakat yang fokusnya hanya ke ekonomi ternyata tidak bergerak efektif kalau masalah kultural dan sosialnya tidak dibenahi," ujar Sudirman.

Ia mengambil contoh kasus di Ciparage, Karawang. Adanya kios solar dengan harga yang lebih murah tidak membuat nelayan tertarik membelinya, mereka lebih memilih minyak yang dijual "juragan", meski harga jauh lebih mahal. Sebab, dari sang juragan mereka mendapat berbagai kemudahan, mendapat pinjaman peralatan dan termasuk uang yang umumnya dengan bunga tinggi.

Umpan kebaikan hati juragan ini di banyak tempat berhasil menjerat banyak nelayan, hingga mereka sulit keluar dari ketergantungannya pada sang juragan. Sudirman mengungkapkan uang para tengkulak yang beredar di masyarakat nelayan Muncar, Jatim, misalnya, mencapai Rp 7 miliar.

Tahun 2004, DKP akan memfasilitasi berdirinya lembaga keuangan mikro. Dalam hal ini bekerja sama dengan Permodalan Nasional Madani akan dibangun 30 BPR Pesisir. Untuk itu, telah dilakukan penandatanganan MOU dengan 30 bupati. Selain itu, juga akan dibangun lembaga simpan pinjam Swa Mitra Mina bekerja sama dengan Bukopin untuk menjangkau 29 provinsi.

Dua lembaga ini dapat menjadi sumber alternatif pembiayaan bagi nelayan, yang akan dapat diakses dengan mudah dan berbunga lebih rendah dibandingkan dengan para tengkulak. Pada lembaga keuangan mikro itu mereka dapat memperoleh pinjaman maksimal Rp 50 juta.

Untuk mendukung Bukopin, DKP akan melakukan revitalisasi manajemen koperasi yang ada di daerah pesisir. Koperasi nantinya akan menjadi pemegang saham dalam BPR dan pemilik lembaga Swa Mitra Mina. Di BPR mereka memperoleh 40 persen saham.

Koperasi diharapkan membangun solidaritas nelayan dan menggarap sektor riil, misalnya, menjual motor tempel dan mengelola kios solar.

Program kemitraan yang dilaksanakan secara terpadu ini diharapkan akan dapat mengangkat perekonomian di kawasan pesisir yang tengah surut dan selanjutkan menaikkan kesejahteraan para nelayan. (yuni Ikawati)