Jumat, 22 Desember 2006

Rehabilitasi Mangrove Berbasis Masyarakat

Tanggal : 22 Desember 2006
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_168.ubh

Rusaknya hutan mangrove untuk dijadikan lahan pertambakan atau karena penebangan yang tak terkendali membawa dampak negatif pada lingkungan laut berupa sedimentasi, yang pada gilirannya akan merusak terumbu karang dan padang lamun. Sedimentasi juga meningkatkan kekeruhan yang menyebabkan menurunnya kelayakan lingkungan untuk pariwisata maupun perikanan.

Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah berulangkali dilakukan. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kelautan dan Perikanan, maupun Departemen Kehutanan bahkan dari Pemda setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah.
R

Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove dan masyarakat masih cenderungd ijadikan obyek dan bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).

Secara umum ekosistim mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun sangat dipengaruhi oleh pengendapan atau sedimentasi, ketinggian rata-rata permukaan laut dan pencemaran perairan itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan oksigen dengan cepat yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan. Kerusakan mangrove juga disebapkan oleh kegoatan penebangan/eksploitasi masyarakat ataupun konversi lahan untuk keperluan lain.

R
Dinas Perikanan dan Kelautan Sumbar bekerjasama dengan LPPM Univ.Muhamadiyah melakukan penanaman 10.000 batang bibit mangrove di Kelurahan Aur dan Desa Taluk, Kota Pariaman pada areal seluas 1Ha. Namun demikian upaya lanjutan untuk memulihkan kembali hutan mangrove harus dilakukan. Hasil identifikasi oleh tim menunjukkan masih banyaknya areal hutan mangrove yang perlu irehabilitasi kembali.Di sepanjang pesisir Kota Pariaman masih terdapat potensi mangrove seluas 3,5 ha yang diakui sebagai tanah adat atau ulayat.

Survei Lokasi

Sebelum pemilihan lokasi penanaman terlebih dahulu dilakukan survey yaitu kesesuaian lahan, inventarisasi tentang struktur komunitas lokal dari mangrove serta karakteristik lingkungannya. Dari hasil survei diperoleh data-data jenis mangrove yang tumbuh secara alami di kelurahan/desa karan Aur dan Taluk antara lain dari jenis Brambang (Sonneratia caseolaris), Cemara laut ( Casuarina equisetifolia), Jeruju (Achantus ilicifolis), Waru Laut ( Hibiscus tilaceus), Kalimuntung (Cerbera mingas), Nipah (Nypa fruticans) dan Nibung (Onchosperma tigillaria). Selain jenis alami, data-data kualitas airpun di ukur, maupun subtrat tempat hidupnya yang berupa pasir berlumpur dengan ketebalan rata-rata mencapai 25 cm. Secara umum lokasi tersebut sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai kawasan perlindungan (green belt), yang dapat pula dikembangkan sebagai daerah wisata untuk mendukung potensi sumberdaya yang ada sebelumnya.



Berdayakan Masyarakat Pesisir

Dengan memberdayakan potensi masyarakat pesisir, tentunya masyarakat juga merasa bertanggung jawab. Artinya masyarakat merasa ikut memiliki (tumbuh senseof belonging) hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi tersebut.

Begitu pula,seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat juga merasa harus mengawasinya, sehingga mereka dapat mengawasi apabila ada yang ingin mengambil atau memotong hutan mangrove hasil rehabilitasi tersebut secara leluasa. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.

Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom- up.

Dalam pelaksanaan Otoda (otonomi daerah) dewasa ini seharusnya semua kegiatan rehabilitasi hutan mangrove hendaknya diserahkan pada masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan mengembangkan partsipasinya terhadap berbagai kegiatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kehidupan mereka. Keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat dan masih banyak lagi lainnya

Pemberdayaan Wanita Nelayan

Tanggal : 22 Desember 2006
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_169.ubh


Wanita nelayan adalah suatu istilah untuk wanita yang hidup di lingkungan keluarga nelayan, baik sebagai istri maupun anak dari nelayan pria. Kaum wanita di keluarga nelayan umumnya terlibat dalam aktivitas mencari nafkah untuk keluarganya. Selama ini wanita nelayan bekerja menjadi pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung. Namun peran wanita di lingkungan nelayan ini belum dianggap berarti, sebagai penghasil pendapatan keluarga pun dianggap income tambahan. Selain itu wanita nelayan pun menanggung resiko tinggi akibat tingginya kecelakaan kerja di usaha penangkapan ikan laut ini.

Pengalaman menunjukan bahwa pemberdayaan wanita nelayan adalam pembangunan kelautan dan perikanan sulit dikembangkan, hal ini disebabkan karena kurangnya IPTEK dan kemiskinan yang selalu mengukung mereka. Beberapa masalah dalam integrasi wanita nelayan dalam pembangunan kelautan dan perikanan antara lain, keadaan pendidikan yang umumnya sangat rendah, tenaga wanita sering tidak dinilai, masih adanya nilai-nilai sosial budaya masyarakat sebagai penghambat berperan sertanya wanita nelayan secara aktif, sedangkan beban kerja wanita dalam keluarga cukup tinggi.

Kerusakan lingkungan pesisir banyak diakibatkan oleh sedemikian pesatnya pengelolaan sumber daya alam yang mengabaikan prinsip kelestarian alam yang berkelanjutan. Akibat tebang habis hutan mangrove untuk dikonversi menjadi kawasan lainnya, seperti kawasan budidaya, pariwisata dan pemukiman, menyebabkan banyak kawasan yang terkikis oleh abrasi air laut. Selain itu hilangnya tempat pemijahan dan asuhan biota laut ini pun mengurangi keberadaan biota-biota tertentu seperti udang dan ikan, yang tadinya dapat ditangkap dekat pesisir, sehingga timbul kelangkaan di kawasan tersebut.
Pemberdayaan Wanita Nelayan oleh Indrawadi,S.Pi
Kerusakan ini mengakibatkan nelayan harus pergi melaut untuk menangkap ikan atau hewan lainnya semakin jauh dan semakin lama. Kondisi ini menambah beban berat kepada keluarga yang ditinggalkannya. Dapat dikatakan bahwa kaum wanitalah yang pertama-tama akan merasakan dampak dari adanya masalah lingkungan hidup.

Dalam rangka mengantisipasi keadaan tersebut di atas maka perlu diupayakan program Pemberdayaan wanita nelayan Program ini pada hakekatnya diarahkan untuk mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada diri mereka sehingga dapat terlibat dalam penyelenggaraan pembangunan perikanan secara sejajar dengan kaum prianya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001.

Salah satu cara pemberdayaan wanita ini melalui jalur pendidikan dan pelatihan. Pendidikan di sini dapat berupa pendidikan formal melalui jalur sekolah untuk generasi muda nelayannya, selain itu melalui pendidikan non formal berupa penyuluhan atau pelatihan, juga melalui pendidikan informal berupa ceramah-ceramah di kalangan pengajian atau arisan, juga melalui percakapan-percakapan informal lainnya yang berupa informasi-informasi. Di sinilah peran wanita nelayan sangat penting di dalam menyampaikan informasi tentang pemanfaatan secara lestari sumber daya alam (SDA) kepada generasi mudanya.

Salah satu cantoh kasus adalah potensi sumberdaya kelautan dan perikanan di Pesisir Selatan yang cukup besar. Hasil tangkapan nelayan yang beraneka jenis kemudian potensi perairannya yang cukup ideal untuk budidaya rumput laut yang juga sudah mulai berkembang.

Melihat peluang yang cukup besar tersebut, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi dan DKP Pesisir Selatan, telah memulai dengan mengadakan pelatihan dan pemberdayaan wanita nelayan di kawasan sentra produksi penangkapan ikan dan rumput laut. Menurut Ir. Yosmeri, Kadinas DKP Pesisir Selatan, wanita nelayan merupakan mitra sejajar dan mempunyai hak yang sama dengan kaum pria serta mempunyai peran ganda dalam keluarga. Diakui bahwa pembinaan terhadap wanita nelayan/perempuan pesisir masih sangat kurang karena dengan segala keterbatasan pihak DKP. Namun demikan konstribusi yang diberikan wanita nelayan terhadap peningkatan pendapan keluarga sangat diperlukan.

Dengan mendatangkan sejumlah narasumber sekelompok wanita nelayan dikawasan sentra produksi tersebut pihak DKP telah menggelar acara pemberdayaan wanita nelayan tersebut, dari pelatihan tersebut diharapkan meningktanya ketrampilan wanita nelayan dalam mengolah beraneka hasil laut, meningkatnya usaha-usaha produktif dari hasil laut serta meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan keluarga nelayan.

Pelatihan tidak hanya sekedar penyampaian peran wanita nelayan dalam pembangunan, tetapi juga diberikan materi teknis tentang pembuatan stick ikan dan udang, pembuatan bakso ikan dengan aneka hidangan seperti pembuatan kuah sate, kuah bakso, pembuatan abon ikan serta pengolahan asinan/manisan rumput laut, kemudian juga diberikan pelatihan pembuatan cendol sari rumpi dari bahan rumput laut, aneka pembutan dodol rumput laut.

Kegiatan pemberdayaan wanita nelayan melalui pendekatan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan potensi wanita nelayan, ternyata dapat menghasilkan berbagai produk unggulan dari potensi kelautan dan dengan pendampingan manajemen dan kewirausahaan serta teknologi tepat guna yang mengarah pada peningkatan mutu atau kualitas produk, tentu hal ini akan semakin meningkatkan peran wanita nelayan tersebut untuk perekonomian keluarga.

Contoh lain adalah wanita nelayan Indonesia dapat dilibatkan dalam usaha pembudidayaan ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh wanita nelayan di India dan Bangladesh. Semuanya ini dapat dilakukan melalui pendidikan non formal berupa penyuluhan-penyuluhan baik kepada nelayan dan wanita nelayan. Penyuluhan kepada wanita nelayan pun harus langsung ditujukan kepada wanita itu sendiri, bukan dengan mewakilkannya kepada kaum prianya.

Rendahnya pendidikan formal yang dimiliki oleh wanita nelayan akan mempengaruhi kemampuannya dalam menyerapkan informasi yang sering kali disampaikan dengan metode penyampaian yang tidak tepat disamping materi yang terlalu tinggi untuk kemampuan mereka, kadangkala mereka masih banyak yang buta huruf. Pengembangan teknik inilah membutuhkan kerjasama dari para ahli beberapa disiplin ilmu.

Dalam usaha pelestarian alam wilayah pesisir dan laut, sudah seharusnya dilibatkan dan diberdayakan peran wanita nelayan dengan harapan mereka dapat merubah sikap terhadap konservasi alam dan mewujudkannya dalam aksi. Melalui pendidikan informal yang dilakukan wanita nelayan kepada keluarga dan lingkungan sekitarnya, diharapkan di kemudian hari akan terbentuk generasi muda yang berwawasan lingkungan dengan melakukan pemanfaatan SDA secara lestari. Pendidikan lingkungan tersebut sebaiknya menggunakan landasan keilmuan, teknologi, agama dan kesenian agar lebih menarik perhatian audiens dan membentuk sikap baru yang positif.

Rabu, 13 Desember 2006

POTENSI YANG DAPAT DIKEMBANGKAN DI PESISIR PANTAI TIMUR SUMATERA

Tanggal : 13 Desember 2006
Sumber : http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id=178&db=gis


Dalam arahan struktur Ruang Provinsi Sumatera, pusat pelayanan primer, yaitu pusat yang melayani wilayah Povinsi Sumatera Utara atau wilayah yang lebih luas terdapat di Medan dan Asahan. Kota Medan dan Tanjung Balai diperioritaskan bagi pemngembangan wilayah pantai timur Sumatera Utara. Pusat utama kota adalah sebagai pusat perdagangan dan jasa regional, pusat pelayanan jasa pariwisata, pengolahan hasil perikanan, pusat transportasi laut dan pusat pendidikan.


Pengembangan sistem prasarana wilayah di provinsi Sumatera Utara pada dasarnya identik dengan arah pengembangan ruang yaitu terbangunnya peluang perkembangan aktivitas yang lebih merata sevara proporsional bagi seluruh bagian wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan budidaya.

Salah satu arahan sistem transportasi laut adalah pengembangan pelabuhan pengumpan regional dan lokal sebagai penunjang pergerakan melalui laut bagi wilayah di sepanjang pantai yang memiliki potensi ekonomi tertentu. Beberapa pelabuhan skala lokal dan regional di Sumatera Utara yang dikembangkan untuk menunjang perkembangan aktivitas wilayah pelayanannya adalah:

- Pelabuhan Kuala Tanjung, dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan regional dengan skala pelayanan angkutan penumpang dan barang di wilayah timur Sumatera Utara.

- Pelabuhan Tanjung Balai dan Pangkalan Susu sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan penumpang dan barang di wilayah pantai timur bagian tenggara.

- Pelabuhan Tanjung Sarang Elang dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan barang di wilayah timur bagian selatan, sehingga komoditi setempat tidak berorientasi ke pelabuhan Dumai di provinsi Riau.

Perikanan

Kegiatan perikanan di wilayah pesisir Sumatera Utara ini memiliki jarak daerah penangkapan (fishing ground) berkisar 5 mil dari garis pantai dengan trip penangkapan yang relatif pendek, yaitu selama satu hari, dan didukung oleh perangkat penangkapan ikan yang masih sederhana (tradisional).

Melihat kondisi di atas , maka untuk meningkatkan hasil tangkapan perlu dilakukan pengembangan dari kapal nelayan yang dipergunakan saat ini. Pemanfaatan kapal kayu dan menggantikannya dengan kapal-kapal fibreglass atau besi maka diharapkan nelayan akan dapat melakukan trip penangkapan yang lebih jauh ke wilayah ZEE (Zone Ekonomi Ekslusif) Indonesia. Diharapkan jumlah tangkapan akan meningkat. Akan tetapi harapan ini tentu saja sulit untuk terpenuhi mengingat selain tingginya harga kapal fibreglass dan besi juga diperlukan keahlian yang berbeda bagi penangkap ikan antara perairan dari longlines.

Penangkapan ikan longlines membutuhkan keahlian dan teknologi yang berbeda dengan dipergunakan oleh nelayan-nelayan yang ada di pantai pesisir Sumatera . Saat ini umumnya para nelayan longline meamnfaatkan teknologi baru dalam membantu mencari lokasi kelompok ikan-ikan yang akan ditangkap. Demikian pula dengan teknik-teknik pengenalan akan pola ikan. Bagi nelayan longline biasanya mereka memiliki ketempilan untuk mengerti tentang pola hidup dan pergerakan kelompok ikan yang akan ditangkapnya. Kapasitas tersebut umumnya belum dimiliki oleh nelayan-nelayan di perairan kita saat ini untuk ikan yang berada di perairan dalam.. Sehingga untuk meningkatkan kapasitas dan nelayan kita diperlukan waktu yang cukup untuk membinanya.

Tingkat Pemanfaatan Beberapa Jenis Ikan di Kawasan Pantai Barat Sumatera


Jenis Ikan Tingkat Pemanfaatan (%)
Tuna Besar 19
Cakaleng 15
Tongkol 79
Tenggiri 35
Ikan Padang 18
Cumi-Cumi 74

Sumber:Dep Kelautan dan Perikanan

Tuna

Tuna memiliki nilai jual yang sangat tinggi untuk pasar-pasar tertentu. Permintaan impor tuna segar adalah Jepang, Thailand dan Spanyol. Khusus untuk Tuna Segar, Jepang merupakan pasar terbesar. Impor Jepang untuk segar terutama untuk jenis Bluefin dan Biyeye yang dipergunakan sebagai bahan baku pembuat sashimi. Harga Bluefin di pasar Jepang bervariasi akan tetapi nilai jual bluefin masih jauh lebih besar dari ongkos transportnya sehingga komoditis ini sangat layak untuk diangkut melalui angkutan udara

Aspek Ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi kawasan timur Sumatera Utara lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan barat Sumatera Utara yang antara lain terlihat dari besarnya produksi komoditi unggulan seperti sawit, cocoa dan karet di daerah ini. Produksi sawit di 5 kabupaten kawasan timur mencapai lebih dari 1 juta ton/tahun, kemudian Asahan sebesar 2 juta ton/tahun. Komoditi cocoa yang lebih dari 5 ribu ton/tahun, terdapat di 4 kabupaten kawasan timur, dengan produksi terbesar di Deli Serdang yaitu 15 ribu ton/tahun. Komoditi karet dengan produksi antara 40 ribu /ton sampai 100 ribu/ton terdapat di 5 kabupaten kawasan timur.

Kesenjangan yang terdapat di kawasan timur-barat ini disebabkan oleh ketimpangan aksesibilitas yang mempengaruhi tata niaga dan pola koleksi distribusi yang pada akhirnya menyebabkan tidak efisiensinya perekonomian di kawasan barat Sumatera Utara. Untuk mengurangi kesenjangan, perlu diatasi masalah aksesibilitas ke ataupun di dalam kawasan barat ini, seperti dengan memperbaiki jalan dengan kondisi buruk, membuka jalan antar kota yang belum terhubung atau bila memungkinkan membujka jalan dengan jarak terpendek antar kota.

Pariwisata

Jumlah kunjungan wisata pada tahun 2004 adalah sebanyak 300.000 orang meliputi kunjungan wisatawan lokal, domestik dan mancanegara. Daerah tujuan wisata pada umumnya pada daerah pesisir pantai seperti pantai Kelang, Pantai Cermin, Pantai Bedagai, pantai Sialang Buah demikian pula dengan daerah tujuan wisata alam Batu Nongol dan Ancol.

Arah Pembangunan

Sejalan dengan berbagai permasalahan untuk mendukung program kawasan pantai timur Sumatera Utara sebagai upaya mengejar kesetaraan dengan wilayah lain yang lebih maju, maka ditetapkan prioritas dan kebijakan pembangunan kawasan pantai timur Sumatera Utara:

1. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung agar aksesibilitas ekonomi menjadi baik antara lain pembangunan jalan dan jembatan serta peningkatan dan rehabilitasi jalan kabupaten termasuk peningkatan dan pembangunan jalan desa, demikian pula dengan pembangunan jalan arteri yang dapat menghubungkan antar desa, kecamatan dan kabupaten termasuk menuju ke arah jalan lingkar sebagai jalan alternatif untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Meningkatkan aksesibilitas sentra-sentra pertumbuhan ekonomi melalui pembinaan usaha kecil seperti pembinaan teknologi tepat guna, dan akses permodalan, dan membina kegiatan industri pertanian ( ago-industri) seperti pengembangan mini plant, mengembangkan prasarana industri.

2. Normalisasi sungai dan saluran drainase dalam upaya mengatasi resiko banjir dan mendorong pembangunan irigasi seluas lebih kurang 4000 ha di kecamatan Tebing-Tinggi-Bandar Khalipah (DAS Padang). Rehabilitasi dan peningkatan prasarana dan semua irigasi dalam rangka mempertahankan swasembada pangan dan sarana irigasi dalam rangka mempertahankan swasembada pangan umumnya produksi beras.

3. Mengembangkan pembangunan pertanian dengan mengoptimalkan lahan pertaniaan melaui intensifikasi dan diversifikasi, dan pemanfaatan teknologi tepat guna serta pemanfaatan lumbung desa modern. Meningkatkan peran serta elemen pertanian dan peternakan untuk peningkatan produktivitas dalam rangka peningkatan pendapatan dan kesejahtraan petani.

4. Mengembangkan potensi perikanan dan kelautan melalui pemberdayaan nelayan tradisional dengan memberikan fasiltas alat tangkap seperti gill net, dan alat tangkap modern lainnya, dan peningkatan operasi pengawasan serta penerbitan penangkapan ikan, termasuk pembangunan balai benih ikan.

5. Membina sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dasar, pendidikan lanjutan dan pendidikan sekolah, peningkatan kualitas guru, peningkatan sarana seperti laboratorium, gedung sekolah, dan lainnya serta peningkatan kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum berbasis kompetensi.

6. Menyediakan pusat informasi data dan potensi investasi, pengembangan sistem informasi, perbaikan iklim usaha dan fasilitas pendukung lainnya melalui kerjasama dengan pihak swasta.

Penulis : Drs. A Z M I L,M.Hum (Badan INFOKOM Sumut)

Minggu, 22 Oktober 2006

Merintis Konservasi, Kesejahteraan dan Kesetaraan Bersama Bakau

Tanggal : 22 Oktober 2006
Sumber :
http://sudewi.blog.com/1176519/

“…Kita tidak boleh putus asa meski penghasilan melaut tidak lagi mencukupi. Anak-anak tetap harus sekolah.

(Amriani, ibu empat anak, tinggal di Teluk Lombok)

Semangat untuk meraih sukses bisa timbul dari mana saja, termasuk dari kerusakan alam. Inilah yang ditunjukkan masyarakat Dusun Teluk Lombok, Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Pesisir desa dengan hutan bakau yang rusak tidak membuat semangat mereka surut untuk merintis kesuksesan. Bergandengan tangan dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama BIKAL, dimulailah tapak perjalanan masyarakat, laki-laki dan perempuan, menuju kesetaraan dan hidup yang lebih baik bersama bakau.


Bakau dan Teluk Lombok

Teluk Lombok merupakan salah satu kampung nelayan dalam naungan desa Sangkima, Kabupaten Kutai Timur, di pesisir Taman Nasional Kutai. Hutan mangrove yang melindungi pantai dari erosi, hantaman gelombang dan terpaan badai, terbentang di sepanjang timur taman nasional yang memiliki luas 198.629 hektar ini. Hutan bakau di Taman Nasional Kutai merupakan bagian dari kekayaan hutan bakau Kalimantan Timur yang luasnya hanya kalah dari hutan serupa di Papua dan Sumatera Selatan. Masyarakat Teluk Lombok dan dusun lainnya di Sangkima berdarah Sulawesi. Gelombang kedatangan orang Sulawesi Selatan, yang memiliki budaya pelaut, ke Sangkima diawali oleh hadirnya Datuk Solong pada 1922 bersama dua anaknya, Lato La Talana dan Lato La Dolomong. Dolomong-lah yang dikenal sebagai orang pertama yang menetap di Sangkima. Khusus Teluk Lombok, wilayah ini menjadi perkampungan pada 1960-an. Kini paling tidak ada sekitar 320 orang (120 keluarga) menetap di Teluk Lombok, meneruskan tradisi para leluhurnya: menjadi nelayan. Saat masih begitu rimbun, hutan bakau menjadi gantungan hidup masyarakat Teluk Lombok. Ikan, udang dan kepiting yang begitu melimpah, mencari makan, bernaung dan berkembang biak di sekitar rimbunan bakau. Nelayan menangkap hasil laut dan menjualnya mentah ke pasar. Sebagian diolah menjadi ikan asin oleh para perempuan.


Petaka Datang

Rimbun bakau ternyata tidak bertahan lama. Hutan bakau perlahan menghilang, tercerabut dari pesisir Taman Nasional Kutai. Bermula dari dibangunnya jalan di wilayah tersebut oleh satu perusahaan besar di awal 1970-an, akses masuk pun tercipta. Perambahan terhadap kawasan ini pun terjadi. Bakau bersama jenis hutan lain yang ada di situ ditebangi secara membabi buta oleh orang luar, seperti dari Balikpapan dan Ujungpandang. Hutan bakau juga banyak disulap menjadi tambak udang. Pesisir Teluk Lombok yang dulu terkenal rimbun juga tidak luput dari gerayangan tangan-tangan penjarah.


Ado Tadulako (59 tahun), mantan kepala dusun Teluk Lombok, masih mengingat dengan jelas bagaimana mulai pertengahan 1970-an banyak orang luar datang menebangi bakau dan memboyongnya ke kota. “Katanya ada yang dijual ke Ujungpandang,” papar Ado sambil mengisap kreteknya. Masyarakat Teluk Lombok waktu itu hanya menonton berkubik-kubik kayu bakau dari dusun mereka diangkut keluar. “Waktu itu, tidak ada yang melarang. Tidak ada yang menghalangi karena kami pikir tidak akan ada akibatnya bagi kami yang tinggal dan bermata pencaharian di sini,” kenangnya.Bertahun-tahun kemudian, Teluk Lombok mulai merasakan derita akibat lenyapnya hutan bakau di pesisir. Abrasi membuat garis pantai semakin melebar sehingga Ado harus memindahkan pondok keluarganya ratusan meter ke arah daratan. Beberapa bulan kemudian, anggota dusun lainnya menyusul langkah Ado.
Sambil menerawang, Ado melanjutkan cerita terpuruknya Teluk Lombok. “Dulu kita tidak perlu jauh melaut. Tapi, hasilnya melimpah. Setiap hari kita bisa menangkap ikan, selain udang dan kepiting rata-rata 2-3 pikul,” tuturnya. Seiring rusaknya bakau, tangkapan hasil laut pun semakin menipis. “Mulai 1982 terasa susahnya. Sehari paling banyak 20 kilogram (kg). Itu pun sudah harus melaut jauh dari pantai,” tutur pria bertubuh kurus ini.


Seiring berjalannya waktu, keadaan bertambah sulit.
Untuk melaut, masyarakat harus pergi jauh dari pantai. Bertarung dengan ombak yang lebih besar harus dilakukan. Perahu juga membutuhkan bahan bakar lebih banyak karena jarak melaut yang makin jauh. Namun, hasil tangkapan tidak seberapa. Bahkan jika bisa mendapat 10 kg saja dalam sehari, kata Ado, “kita sudah seperti kejatuhan rejeki dari langit“. Saat hasil laut sudah tidak bisa menjadi satu-satunya pegangan, masyarakat mulai mencoba melakukan pekerjaan lain. Bersamaan dengan pindahnya letak dusun ke arah daratan akibat abrasi, masyarakat mulai mencoba kegiatan berkebun palawija. Walau tidak menyumbang pada tambahan penghasilan, hasil kebun ditambah hasil tangkapan laut yang tidak seberapa, cukup jadi pengganjal perut.


Ado: Sang Motivator

Ado, sebagai seorang tokoh setempat, terus berpikir mengapa nasib buruk bisa menimpa Teluk Lombok. Saat itu, pemerintah dan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap Taman Nasional Kutai mulai melakukan berbagai aktivitas. Rasa ingin tahu membuat Ado bersemangat mengikuti kegiatan tersebut. Ado pun mulai paham bahwa kerusakan bakau menghancurkan kehidupan ikan, udang dan kepiting serta membuat pemukiman Teluk Lombok harus berpindah jauh ke arah daratan. Atas dorongan Ado, masyarakat Teluk Lombok kemudian giat melakukan upaya rehabilitasi hutan bakau untuk menumbuhkan kembali mata pencaharian mereka. Ado memulainya dengan mengajak anggota dusun mendiskusikan kesulitan mereka dan mencari jalan keluarnya.


Upaya Konservasi dan Pendirian Kelompok Petani Bakau

Keaktifan Ado, membuatnya bertemu BIKAL, salah satu lembaga swadaya masyarakat di Kalimantan Timur, yang berkantor di Samarinda dan Bontang. Awal kerjasama BIKAL dan Teluk Lombok dilakukan tahun 2000 melalui program “Resolusi Konflik: Konsolidasi Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Kutai“. Program ini mendapat dukungan dana dari NRM (Natural Resources Management), sebuah lembaga pemberi dana.Pertengahan 2001, saat melakukan kampanye kelestarian dan penguatan kelembagaan desa, BIKAL menyadari ajakan melestarikan lingkungan tidak dipedulikan masyarakat karena mereka sedang menghadapi persoalan yang sangat mendesak, yaitu kebutuhan perut. Lembaga swadaya masyarakat ini melihat bahwa pendekatan harus diubah. Masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat menjadi peluang mengembangkan program rehabilitasi bakau di kawasan pesisir.


BIKAL beruntung karena masyarakat Teluk Lombok memiliki Ado yang menjadi pemompa semangat masyarakat. Dengan dimotori Ado, masyarakat terus melakukan diskusi. Kegiatan ini membuat mereka semakin menyadari pentingnya rehabilitasi bakau untuk mengembalikan sumber mata pencaharian dusun Teluk Lombok. Dalam upaya rehabilitasi bakau, masyarakat Teluk Lombok mengalami proses belajar.
Kegagalan program reboisasi bakau 2002 yang dilakukan Dinas Kehutanan Kutai Timur, yang juga menjangkau Teluk Lombok menjadi bahan diskusi masyarakat. Masyarakat menilai bahwa program seluas 200 hektar (ha) ini gagal karena mereka tidak dilibatkan secara aktif sebagai pelaku. Program tersebut hanya menempatkan warga Teluk Lombok sebagai penanam bibit bakau belaka. Selebihnya diatur oleh kontraktor luar yang dipercaya Dinas Kehutanan.Ketika BIKAL memperoleh dana Civil Society Support and Strengthening Program (CSSP) untuk program peningkatan ketrampilan dan kemampuan masyarakat 2002-2003, ruang belajar bagi masyarakat Teluk Lombok semakin terbuka. Pada Juli 2003, Usman Kallu, tokoh muda masyarakat Teluk Lombok, bersama BIKAL berkesempatan melihat pengelolaan bakau masyarakat di Desa Tongke-Tongke, Sinjai, Sulawesi Selatan dan pengelolaan bakau proyek masyarakat dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Balikpapan di Kariangau, Balikpapan, Kalimantan Timur. Cerita menarik Usman sepulang dari kunjungan belajar tersebut membuat masyarakat Teluk Lombok berkeinginan mengelola bakau sendiri. Kunjungan ini, terutama ke Desa Tongke-Tongke, juga mengajarkan mereka bahwa keberhasilan masyarakat desa tersebut sangat ditentukan oleh keberadaan organisasi petani yang dibentuk sendiri oleh masyarakat.


Bercermin dari kegagalan program Dinas Kehutanan Kutai Timur 2002 dan keberhasilan masyarakat Tongke-Tongke mengelola bakau sendiri, masyarakat yakin bahwa rehabilitasi bakau di dusunnya bisa berjalan jika mereka sendiri yang menanam, menjaga dan memelihara. Namun, kesempatan untuk membuktikan diri harus lebih dulu ada. Pendekatan BIKAL dengan Mitra Taman Nasional Kutai membuahkan hasil. Masyarakat mendapat dukungan modal untuk mengelola sendiri rehabilitasi bakau di pesisir dusunnya seluas 10 ha. Namun, keperluan administratif membutuhkan adanya organisasi resmi.


Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, Pangkang Lestari didirikan pada April 2004.
Dalam bahasa setempat, Pangkang berarti api-api (sejenis bakau). Penamaan Pangkang Lestari menandai keinginan masyarakat untuk menumbuhkan dan melestarikan bakau di Teluk Lombok. Dukungan berbagai pihakpun semakin bertambah menyambut semangat masyarakat Teluk Lombok untuk mengejar kesejahteraan. Mulai Maret 2005, BIKAL dan masyarakat di tujuh dusun Taman Nasional Kutai, termasuk Dusun Teluk Lombok, menjalankan program “Penguatan Kemandirian Ekonomi Masyarakat Melalui Kemitraan Multipihak” atas dukungan Multistakeholder Forestry Program (MFP) atau program kehutanan multipihak, kolaborasi pemerintah Kerajaan Inggris dan Departemen Kehutanan RI.


Perempuan Mulai Berperan

Ketika mendapat kesempatan melihat proses pembibitan bakau di Kariangau, Balikpapan Juli 2003, Usman juga sempat melihat cara penggemukan kepiting melalui keramba. Kepiting keramba inilah yang menjadi alternatif mata pencaharian lain, selain melaut dan belajar menjadi penyedia bibit bakau. Saat pertama kali dicoba, dalam 20 hari kepiting sudah bisa dipanen, kemudian dijual dengan harga antara Rp 8.000,00 – Rp 10.000,00 per kg.Usaha kepiting keramba Pangkang Lestari menumbuhkan inovasi tersendiri bagi perempuan Teluk Lombok. Saat ujicoba penggemukan kepiting di keramba, ternyata tidak semua kepiting bisa dijual. Kepiting yang cacat tidak laku di pasaran. Petani harus membuang lumayan banyak kepiting cacat. Dari 15-20 kg kepiting yang ada di satu keramba, sekitar 2-3 kg cacat. Melihat banyaknya kepiting yang terbuang percuma, saat itu timbul ide para ibu untuk mengolahnya menjadi krupuk kepiting. Ide krupuk kepiting ini berdasarkan cerita Usman tentang seorang ibu di Kariangau, Balikpapan, yang membuat produk ini untuk dikonsumsi sendiri. Saat Pangkang Lestari mendapatkan pelatihan pengelolaan kepiting keramba, seorang ibu menanyakan makanan apa saja yang bisa diolah dari kepiting. Krupuk adalah salah satu jawaban. Semangat perempuan Teluk Lombok ditanggapi secara positif oleh para lelaki. Untuk lebih mengefektifkan rintisan usaha ekonomi dan menambah ketrampilan perempuan ini, Pangkang Lestari dan masyarakat Dusun Teluk Lombok sepakat untuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Krupuk Kepiting menjelang akhir 2004.Ternyata, usaha krupuk kepiting sangat menguntungkan. Jika harga kepiting mentah berkisar antara Rp 8.000,00 – Rp 10.000,00 per kg, krupuk kepiting produksi Pokja Krupuk Kepiting ini dihargai Rp 40.000,00 per kg. Penjualan pun mulai merambah ke beberapa kota seperti Sangatta dan Bontang. Meski relatif muda, Pokja yang diketuai Sumanti ini sudah menunjukkan prestasi. Dalam Lomba Teknologi Tepat Guna Masyarakat tingkat Kabupaten Kutai Timur dan tingkat Propinsi Kalimantan Timur, mereka berhasil meraih kemenangan. Kelompok ini kemudian mewakili Kalimantan Timur dalam lomba tingkat nasional yang diselenggarakan September 2005 di Palembang.


Terus Menggalang Semangat Belajar dan Kerjasama Lelaki Perempuan

Semangat belajar yang tinggi terus diperlihatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan di Dusun Teluk Lombok. Dalam melakukan proses rehabilitasi bakau misalnya, Pangkang Lestari memiliki cara tersendiri untuk memantau perkembangan bibit bakau yang ditanam. Setiap bulan Sekolah Lapang digelar, baik di lokasi pembibitan maupun di pantai tempat penanaman. Di tempat pembibitan, Sekolah Lapang dilakukan untuk mengamati bibit, misal serangga apa saja yang mengganggu dan bagaimana mengatasi gangguan tersebut. Di pantai tempat penanaman akan dilihat sejauh mana pertumbuhan tanaman setiap bulan dan apakah ada gangguan di lokasi tanam. Sesudahnya, sambil duduk santai di pantai, masyarakat secara serius mendiskusikan perkembangan bakaunya.Berkat ketekunan masyarakat, bibit bakau yang ditanam tumbuh dengan baik. Seorang pengamat lingkungan dari Semarang, Muhammad Marzuki, seperti dikutip Harian Kompas (9 Agustus 2004), menjelaskan tentang tidak mudahnya menanam bakau. “Untuk setiap inci pertumbuhan bakau bisa memerlukan waktu berbulan-bulan. Kendala berdatangan ketika masyarakat sekitar pantai tidak juga paham perlunya hutan bakau,“ tutur Marzuki. Di Teluk Lombok, bibit bakau yang ditanam sekitar 200.000 pohon. Menurut Ado, anak bakau yang waktu ditanam memiliki tinggi sekitar 30-50 cm dalam 13 bulan menjadi 1,5-2 m. Karenanya, rehabilitasi Pangkang Lestari bisa dikatakan sukses.Tidak hanya itu, luas wilayah rehabilitasi yang semula luasnya 10 ha pada Agustus menjadi 12 ha pada Desember 2004. Para petani melakukan penanaman tambahan secara swadaya sesudah melihat ada tanah gundul di sekitar pesisir yang perlu ditanami. Bibit bakau di area tambahan ini juga tumbuh dengan baik.Keberhasilan ini menjadikan Pangkang Lestari dipercaya sebagai penyedia bibit, dimulai dari program rehabilitasi bakau Dinas Kehutanan Kutai Timur. Dinas Kehutanan selama ini memasok bibit dari Balikpapan. Saparuddin dari BIKAL menjelaskan Pangkang Lestari waktu itu mampu menyediakan 375.000 bibit bakau untuk lahan seluas 150 ha. Setiap batang bibit dihargai Rp 450,00. Dalam penyediaan bibit untuk program-program rehabilitasi bakau, Pangkang Lestari melibatkan sekitar 50 keluarga di RT 1, 2, dan 3 Dusun Teluk Lombok. Dalam melakukan pembibitan terdapat pembagian peran antara lelaki, perempuan bahkan juga anak-anak. Nursalim dari BIKAL menjelaskan, lelakilah yang bertugas mencari bibit bakau di sekitar wilayah Teluk Lombok. Jika diperlukan bibit bisa dicari sampai ke wilayah Bontang. Sementara itu, perempuan dan anak-anak biasanya membantu mengisi tanah ke dalam polybag. Sesudah didapatkan, bibit akan ditancapkan ke dalam polybag baik oleh lelaki maupun perempuan. Selanjutnya, ribuan bibit bakau yang sudah berada di kantung-kantung plastik diletakkan sementara di suatu tempat di pinggir pantai. Tempat sementara tersebut memiliki atap sederhana terbuat dari daun nipah. Fungsinya adalah untuk melindungi bibit tersebut dari sinar matahari. Para bapak yang biasanya pergi melaut dan melewati tempat peletakan sementara bibit, biasanya menyempatkan diri untuk mengecek kondisi bibit bakau tersebut. Dalam 1-3 bulan, bibit yang sudah disemaikan di polybag siap untuk ditanam di pinggir-pinggir pantai atau dikirim ke tempat-tempat yang sudah memesan bibit tersebut seperti ke Bontang atau Bulungan, Kalimantan Timur.


Terus Belajar, Berkembang dan Menularkan Semangat

Menjelang akhir 2006, tercatat paling tidak 3 daerah di Kalimantan Timur, yaitu Bontang, Sangatta dan Bulungan, menggunakan bibit bakau pasokan dari Kelompok Tani Pangkang Lestari dan masyarakat Teluk Lombok. Sejak akhir 2005 sampai Oktober 2006, paling tidak telah terjual bibit bakau sebanyak 1.113.500 dan total penjualan sebesar Rp 541.850.000. Jika dulu satu bibit hanya terjual Rp 450 per buah, sekarang dihargai sampai Rp 600.Hasil wawancara yang dilakukan BIKAL (Oktober 2006) saat menjalankan kegiatan Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP) dukungan MFP di 4 desa, termasuk Desa Sangkima, memperlihatkan peningkatan ekonomi telah terjadi di Dusun Teluk Lombok dari penjualan bibit bakau. Husen, 77 tahun, salah satu anggota Pangkang Lestari mengatakan kepada Mukti Ali dari BIKAL, bahwa dia baru sekali memegang uang jutaan rupiah. Dan ini diperoleh dari hasil penjualan bibit bakau. Sumanti, 34 tahun, ketua Pokja Krupuk Kepiting menyatakan dalam bahasa Mamuju, ”Ampunna’ u’de tau mabbalukang polo, u’de diang ni pambayyari anak sekolah ampe mambayarri panginranggang”. Artinya kira-kira, ”Kalau tidak ada penjualan polo (bakau), tidak ada ongkos untuk membiayai sekolah anak dan membayar hutang.”Lebih lanjut, para petani bakau di Teluk Lombok juga mendapat semangat lain dari usaha krupuk kepiting yang telah dijalankan para perempuan. Mengingat harga krupuk kepiting yang jauh lebih tinggi dibandingkan kepiting mentah, masyarakat setempat menyadari perlunya ketersediaan bahan mentah untuk menunjang usaha krupuk kepiting tersebut. Bahan mentah dari kepiting alam masih sulit diperoleh karena hutan bakau masih belum pulih. Maka, dalam jangka pendek, upaya penggemukan kepiting keramba tetap dilakukan. Petani Pangkang Lestari kini giat mempelajari cara yang lebih efektif untuk pembesaran kepiting di tambak dan penggemukan di keramba dengan dukungan dari Mitra Taman Nasional Kutai.Selain itu, masyarakat Teluk Lombok, juga mulai melirik upaya budidaya rumput laut yang biasanya juga dilakukan di wilayah hutan bakau. Kelompok Kerja Rumput Laut pun terbentuk di bawah Kelompok Pangkang Lestari. Budidaya rumput laut nampaknya pilihan tepat. Budidaya ini sangat menguntungkan dan hanya memerlukan teknologi sederhana. Kantor Berita Antara mengutip pendapat Prof. Sulistijo, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tentang hal ini. Menurutnya, jika budidaya berhasil, rumput laut dapat dipanen setiap 1,5 bulan. Satu hektar bisa menghasilkan Rp 1.000.000,00 – Rp 3.000.000,00. Indonesia sendiri, masih menurut Sulistijo, setiap tahunnya kekurangan rumput laut sebanyak 40.000 ton untuk diekspor. Mengingat prospeknya, kiranya tepat pilihan budidaya rumput laut yang rencananya akan dilakukan juga oleh Pangkang Lestari.Akan halnya para perempuan, mereka juga menunjukkan semangat berkembang yang sama. Tidak hanya berhenti sampai krupuk kepiting, kini mereka sudah mempelajari berbagai macam makanan olahan dari rumput laut, menyambut rencana budidaya rumput laut Pangkang Lestari. Beberapa jenis makanan, seperti puding, manisan dan es rumput laut, sudah bisa diolah oleh para perempuan di Teluk Lombok. Selain itu, pada November 2006 kelompok perempuan yang dalam 2006 ini juga mendapat dukungan MFP, melakukan studi banding tentang manajemen usaha dan pemasaran rumput laut di Kutuh dan Nusa Ceningan, Bali. Mengingat usaha beberapa kelompok masyarakat di Taman Nasional Kutai ini sudah mulai menampakkan hasil, BIKAL mendorong pendirian lembaga keuangan masyarakat. Sejak Agustus 2006, Unit Pelayanan Tapak Surya telah beroperasi di 5 desa di Taman Nasional Kutai. Unit Pelayanan yang merupakan perpanjangan dari Credit Union Daya Lestari ini, diharap mampu berfungsi sebagai wadah simpan pinjam masyarakat. Selain itu, Tapak Surya juga berperan sebagai agen yang berperan mendidik masyarakat tentang arti penting menabung dan merencanakan keuangan untuk masa depan. Jika misalnya masyarakat memiliki masalah modal usaha, mereka dimungkinkan mendapat pinjaman dari Tapak Surya.Yang lebih mengesankan adalah kegiatan-kegiatan yang berdampak pada kesejahteraan dan kesetaraan di masyarakat Teluk Lombok telah memberikan inspirasi kepada masyarakat di dusun dan desa lain di Taman Nasional Kutai. Keberadaan Pokja Krupuk Kepiting di Dusun Teluk Lombok, Desa Sangkima mendorong pendirian Pokja Krupuk Udang di Kelompok Sumber Rejeki, Dusun Satu, Desa Sangkima Lama. Kelompok Sumber Rejeki pada mulanya hanya melibatkan nelayan lelaki. Tertarik dengan proses dan pengalaman di Teluk Lombok, perempuan di Dusun Satu akhirnya juga membentuk Pokja Krupuk Udang, yang berfokus pada usaha pembuatan krupuk udang. Antara Pokja Krupuk Kepiting dan Pokja Krupuk Udang sudah dilakukan beberapa kali pertemuan saling belajar untuk bertukar pengalaman tentang pengelolaan usaha dan organisasi perempuan.Selanjutnya, kelompok tani Gula Angin Mamiri, yang juga terletak di Dusun Satu, Desa Sangkima Lama, juga berniat mendorong penguatan perempuan dalam usaha gula merah dan gula semut. Jika dulu kelompok ini hanya menghasilkan gula merah yang secara turun temurun digeluti lelaki, sekarang mereka juga telah melakukan diversifikasi produk. Gula semutpun bisa dihasilkan. Pada prosesnya, pengerjaan gula semut dilakukan secara bersama oleh lelaki dan perempuan. Lelaki mengambil nira dari pohon aren, sementara perempuan memasak dan memproduksi nira tersebut menjadi gula semut. Di masa mendatang, perempuan akan berfokus pada usaha gula semut dan lelaki tetap berkonsentrasi pada gula merah.


Pelajaran Berharga Teluk Lombok

Dari upaya yang dilakukan masyarakat Teluk Lombok bersama BIKAL, ada beberapa pelajaran menarik yang dipetik. Pertama, masyarakat memiliki kemampuan bertahan dan mengembangkan diri meski berangkat dari kondisi keterpurukan. Pada masyarakat Teluk Lombok, kerusakan hutan bakau mendorong mereka untuk berjuang dan kreatif dalam menumbuhkan kembali bakau dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Kedua, apa yang terjadi di Teluk Lombok memperlihatkan hal-hal yang diperlukan masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan. Adanya tokoh atau motivator lokal serta pihak yang mendukung menjadi hal penting. Yang juga sama pentingnya adalah pengorganisasian diri masyarakat, semangat untuk belajar serta saling dukung antar komponen masyarakat. Ketiga, terkait isu jender, apa yang terjadi di Teluk Lombok menunjukkan hubungan saling dukung antara laki-laki dan perempuan. Singkatnya, masyarakat Dusun Teluk Lombok dan BIKAL berhasil membuktikan bahwa upaya mendorong usaha alternatif masyarakat bisa menimbulkan efek domino yang lebih besar. Dalam hal ini, bukan hanya usaha alternatif yang diciptakan, tapi juga upaya konservasi dan penguatan kesetaraan jender yang terjadi.

Senin, 02 Oktober 2006

Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir

Tanggal : 2 Oktober 2006
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_150.ubh

Wilayah pesisir merupakan kawasan pembangunan yang penting karena sekitar 60% masyarakat bermukim di kawasan ini (Dahuri, 2002). Namun ironis, kawasan ini merupakan kantong-kantong kemiskinan, karena sekitar 60% masyarakat miskin bermukim di kawasan pesisir (www.dkp.go.id). Padahal, negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai 81.000 km ini menyimpan potensi ekonomi luar biasa untuk kesejahteraan rakyatnya.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Dalam konteks ini, pengembangan peternakan di wilayah pesisir merupakan salah satu bentuk usaha alternatif yang bermanfaat. Ternak dapat diusahakan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Selain menghasilkan bahan pangan, ternak merupakan aset biologis (plasma nutfah), sumber pendapatan, tenaga kerja, tabungan hidup, biogas dan pupuk organik.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Rendahnya asupan protein hewani pada tingkat rumahtangga berisiko terhadap munculnya kasus malnutrisi, gangguan pertumbuhan otak anak balita, meningkatnya risiko sakit, terganggunya perkembangan mental, menurunkan performans anak sekolah dan produktivitas pekerja. Protein hewani memiliki komposisi asam amino lengkap, mudah dicerna dan dibutuhkan tubuh. Protein hewani berperan penting dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, kreatif, inovatif, produktif dan sehat.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Makalah ini akan mendiskusikan pentingnya peran ternak dalam pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan, dan meningkatkan kecerdasan masyarakat pesisir. Ternak yang potensial dikembangkan di wilayah pesisir adalah sapi (khususnya sapi pesisir), kambing, ayam lokal dan itik. Pada bagian akhir diusulkan model program “Family Poultry” (FP) berbasis ayam lokal yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Sapi pesisir merupakan merupakan sapi asli yang berkembang di kawasan pesisir Sumatera Barat (Anwar, 2004; Rusfidra, 2006; Saladin, 1983). Sapi yang memiliki tubuh kecil ini mampu beradaptasi dengan pakan hijauan yang mengandung kadar garam tinggi. Sapi pesisir berperan penting sebagai sumber pendapatan, daging, dan tabungan hidup masyarakat pesisir Sumatera Barat. Sapi pesisir diduga dapat dikembangkan di pulau-pulau kecil yang tidak memiliki penghuni di negeri kepulauan ini.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
“Family Poultry” (FP) merupakan program Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk mendukung tersedianya protein hewani, pendapatan dan pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Dengan melihat keberhasilan program FP di beberapa negara berkembang, penulis menduga bahwa program ini agaknya dapat dikembangkan di Indonesia.
Pengembangan Peternakan Di Wilayah Pesisir oleh Dr. Rusfidra, S.Pt.
Pengembangan peternakan di wilayah pesisir agaknya dapat dipertimbangkan sebagai sebuah solusi mengentaskan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan dan meningkatkan mutu SDM masyarakat pesisir.

Jumat, 21 Juli 2006

DAS dan Pesisir Jadi Arah Pembangunan Riau

Tanggal : 21 Juli 2006
Sumber : http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&ptid=1&aid=933

PEKANBARU (Riau Online): Pada visi Riau 2020, fokus pembangunan Riau akan mengarah pada daerah aliran sungai (DAS), wilayah pesisir, dan laut. Sedangkan yang akan dilakukan adalah optimalisasi sumber daya alam (SDA) dan kegiatan konservasi pesisir dan laut.

Hal ini dikatakan Kepala Bidang SDA Bappeda Provinsi Riau Wagiman Har saat menutup Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Rabu (15/10), di Hotel Dyan Graha. Untuk mendukungan upaya ke arah itu, saat ini Riau tengah mengerjakan proyek Marine Coastal Resources Management Program (Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut).

Proyek ini dikerjakan di 15 provinsi dengan dana bantuan luar negeri (loan) dari Asian Development Bank (ADB). Di Riau, menurutnya, proyek ini dikerjakan di dua kabupaten yakni, Inhil dan Rokan Hilir. ??Tadinya tiga, tapi Kabupaten Karimun akhirnya mengundurkan diri.

Lebih jauh, proyek MCRMP bertujuan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut serta keragaman hayati secara berkelanjutan, termasuk perlindungan lingkungan hidup dalam kerangka desentralisasi pemerintahan.

Pengelolaan dilakukan melalui, pertama, penguatan kemampuan daerah untuk merencanakan dan mengelola sumberdaya laut dan pesisir secara berkelanjutan. Kedua, meningkatkan ketersediaan dan akses ke data dan informasi mengenai tata ruang dan keragaman hayati yang bermutu.

Ketiga, meningkatkan kerangka hukum dan peraturan pengelolaan sumberdaya dan kepatuhan terhadapnya. Keempat, menggunakan ICZMP (Perencanaan dan Pengelolaan Terpadu Zona Pesisir) untuk mengidentifikasi alternatif kegiatan usaha bersama yang layak. Dan kelima, meningkatkan keaadaan sosial-ekonomi dan lingkungan hidup di habitat pesisir yang telah ditentukan.

Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) Unri Ir Deni Efizon selaku pelaksana pelatihan kepada Riau Pos mengatakan, pelatihan ini dilaksanakan selama 10 hari sejak tanggal 6 Oktober lalu.

Para peserta berasal dari beberapa daerah (Rohil, Inhil, Dumai, Bengkalis, Pekanbaru) dan berbagai instansi seperti, Pertambangan, Pariwisata, Perikanan dan Kelautan, Bappeda dan lainnya.

"Hasil yang kita inginkan adalah bagaimana mensinergikan para stakeholder dalam pelaksanaan pembangunan di wilayah pesisir dan laut. Para peserta ini juga diharapkan diikutkan dalam setiap kebijakan pembangunan pesisir di daerahnya masing-masing," ujarnya.

Selain pemberian teori, peserta juga melakukan studi lapangan ke pesisir Inhil dan turun meninjau beberapa pulau yakni, Pulau Bakung dan Pulau Cawan di Inhil.

Terakhir, lanjutnya, para peserta diberi keterampilan menyusun rencana strategis pembangunan pesisir seperti yang pernah diinstruksikan pemerintah pusat. "Untuk saat ini, daerah yang telah mempunyai renstra pesisir adalah Inhil dan ini mulai direalisasikan sejak tahun lalu. Mudah-mudahan daerah lain bisa menyusul," ujar Deni.(ary)

Rabu, 28 Juni 2006

Studi Pengembangan Ekowisata Kepulauan Mentawai

Tanggal : 28 Juni 2006
Sumber : http://www.coremap.or.id/research_agenda/article.php?id=260


Peran wilayah pesisir dan laut sudah menjadi bagian penting dari kegiatan pembangunan perekonomian di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Wilayah perairan Kepulauan Mentawai telah dipromosikan dan masuk sebagai Indonesian Marine Tourism Destination oleh Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Republik Indonesia (1998). Hal ini karena perairan ini merniliki kekayaan dan keanekaragaman hayati yarg luar biasa (terumbu karang, ombak yang membentuk gua, pantai yang indah) menjadi daya tarik wisatawan mancanegara.

Pemerintahan Kabupaten Mentawai telah mefokuskan perhatiannya untuk mengembangkan sektor pariwisata bahari ini karena termasuk sektor unggulan dalarn perencanaan pembangunam Faktanya, saat ini beberapa tempat di Kabupaten Kepuluauan Mentawai sudah dikembangkan dan dimanfaatkan beberapa lokasi surfing karena rnemiliki ombak yang cukup besar. Namun sarana, prasarana dan sumberdaya manusia masih sangat minim, sehingga kegiatan wisata tersebut belum tergali maksimal serta belum terlihat. Namun namun di kawasan itu belum tersedia data yang memadai, sehingga peningkatan pendayagunakan potensi pesisir dan laut secara optimal masih mengadapi masalah serius.

Untuk dapat memanfaatkan kawasan pesisir Kabupaten Kepulauan Mentawai serta sumberdaya di dalaninya secara optimal dan lestari, maka salah satu yang perlu dilakukan adalah mengkaji alternative wisata bahari lainnya seperti wisata pantai, wisata selam dan snorkeling , wisata pemancingan dan lainnya. Untuk mencari alternatif wisata bahari lainnya selain surfing, melalui proyek COREMAP PHASE II perlu kajian yang komprehensif dan mendalam mengenai bentuk dan model ekowisata bahari yang sesuai dengan kondisi wilayah dan karakter masyarakat lokal.

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:

  • Mengidentifikasi lokasi-lokasi yang bisa dikembangkan untuk wisata bahari.
  • Menganalisis daerah peruntukan masing-masing lokasi rekreasi pantai, selam, pancing dan lain-lain.
  • Menganalisis aksesibilitas.

Keluaran (Out put) :

  • Bentuk kegiatan wisata pesisir yang sesuai dengan potensi sumberdaya laut dan SDM masyarakat lokal.
  • Model ekowisata yang berbasis masyarakat (model pengelolaan wisata bahari yang dapat menambah pendapatan masyarakat)
  • Persepsi masyarakat terhadap ekowisata bahari
  • Tersedianya data aksesibilitas transportasi, sarana dan prasarana

Penelitian dilakukan di Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Surnatera Barat meliputi Desa Katurai, Desa Muara Siberut dan Desa Maileppet.

Senin, 23 Januari 2006

NELAYAN MABE KAPONTORI SELENGGARAKAN PELATIHAN INJEKSI NUKLEUS

Tanggal : Januari 2006
Sumber : http://www.lambusango.com/Download/Bulletin/buletin0106.pdf

Siput mabe, begitu nama kerang mutiara spesies Pteria penguin ini disebut. Teluk Kapontori Merupakan salah satu tempat potensial untuk budidaya siput jenis ini. Ratusan nelayan telah ama bergantung hidupnya dari usaha yang telah dimulai sejak 20 tahun yang lalu. Keterampilan Nelayan dalam budidaya tidak perlu diragukan lagi. Jutaan ekor setiap tahunnya mampu diproduksi dari kawasan ini. Namun keterampilan nelayan belum menyentuh pada pembuatan mutiara. B a n y a k f a k t o r y a ng mempengaruhinya. Diantaranya adalah persaingan usaha yang dimonopoli oleh perusahaan besar. Teknologi memproduksi mutiara tidak terlalu rumit, sehingga kalangan nelayan yang telah punya keterampilan ini enggan menularkan ilmunya ke nelayan lain. Posisi ini tidak menguntungkan bagi nelayan budidaya. Kurangnya jaringan pemasaran menyebabkan hasil usaha mereka dibeli dengan harga rendah. Melalui mediasi yang dilakukan beberapa tokoh nelayan mabe, PKHL diminta untuk memfasilitasi pelatihan injeksi nukleus. Pelatihan ini merupakan proses awal dari tahap pembuatan mutiara mabe. PKHL melalui Bidang Pengembangan Bisnis Pedesaan setuju untuk memfasilitasi kegiatan ini. Apalagi diantara peserta ada yang berprofesi sebagai tukang chainsaw yang ingin beralih profesi. Semangat ini tentunya sangat sesuai dengan misi PKHL yang bermoto ‘Masyarakat Berdaya Hutan Terjaga’. Setelah melalui beberapa kali penyesuaian waktu, maka pada tanggal 28 – 29 Januari 2006 pelatihan tersebut diselenggarakan. Bertempat di Balai Kelurahan Desa atumotobe pelatihan dibuka oleh Kepala Wilayah Kecamatan Kapontori Bapak Tamsil M, SE.

Dalam pidato pembukaan tersebut Bapak Tamsil M,SE menyampaikan tentang potensi mutiara yang merupakan prospek usaha yang menjanjikan. Nelayan akan sangat diuntungkan bila tidak hanya bertindak sebagai pembudidaya saja. Disela waktu menunggu panen nelayan bisa melakukan penyuntikan nukleus.

Lebih lanjut diuraikan bahwa nelayan jangan terlalu khawatir terhadap prospek pasar mutiara mabe. Jika nelayan telah mampu memproduksi mutiara, beberapa pembeli baik dari dalam dan luar negeri telah siap untuk bekerjasama. Selama ini nelayan memang masih belum yakin terhadap prospek pasar mutiara mabe mengingat mereka hanya membudidayakan bibit siput, sehingga kurang pengetahuan terhadap pasar mutiara.

Satu titik nucleus yang telah dilapisi mutiara dalam kondisi tidak cacat di Kapontori dapat mencapai harga minimal Rp. 5000,-. Kadang satu kerang mutiara dapat diinjeksi nucleus sampai tiga titik, dengan demikian harga bisa mencapai Rp.15.000,-. Dapat dibedakan jika nelayan hanya menjual siput harganya berkisar Rp.500 – Rp, 1.250,- , tentunya dengan menyuntik pendapatan mereka akan berlipat. Materi dalam pelatihan ini diatur dan diberikan oleh para nelayan sendiri. Mereka meminta nelayan yang sudah mempunyai keterampilan untuk membimbing mereka. Materi disampaikan dalam dua sesi, yaitu sesi teori yang dilakukan pada hari pertama dan praktik yang disampaikan pada hari kedua.

PKHL diberi kesempatan pada hari pertama untuk menyampaikan materi tentang konservasi hutan Lambusango. Menyangkut konservasi hutan PKHL yang diwakili oleh Koordinator pengembangan Bisnis Pedesaan Sigit Wijanarko, mengungkapkan tentang arti penting Hutan Lambusango sehingga perlu dikonservasi.

P e n d e k a t a n pemberdayaan masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu bidang yang dikembangkan PKHL untuk menjawab permasalahan konservasi. Kaitannya adalah kesejahteraan dan pemberian alternatif pekerjaan bagi masyarakat yang selama ini bergantung hidupnya dari hasil kayu. Bidang bisnis tidak berdiri sendiri, namun berkaitan erat dengan bidang kerja lain dalam program ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kelestarian ekosistem hutan lambusango akan menjamin kelanggengan budidaya mabe di teluk Kapontori. Dalam materi pemaparan budidaya yang disampaikan oleh Bapak Zahunu, diungkapkan tentang beberapa kelemahan nelayan dalam memahami siklus budidaya yang tepat.

Waktu penurunan jarring kadang tidak sesuai dengan periode pemijahan telur mabe. Induk mabe memijah dua kali dalam satu tahun, yaitu pada periode Desember – Februari dan periode Juni – Agustus. Jika nelayan melakukan penurunan jaring pada kedua periode ini akan didapat hasil yang memuaskan. Tetapi saat periode Juni- Agustus bertepatan dengan pemijahan kerang kerucut (doma). Kerang ini merupakan hama bagi kerang mabe.

Kerang kerucut banyak menempel pada kulit mabe. Jika tidak dibersihkan akan menjadi kopentitor dalam memperoleh plankton. Akibatnya mabe lambat pertumbuhannya dan tidak bisa berkembang maksimal. Kelemahan lain adalah nelayan belum paham untuk membedakan kerang sehat dan yang sakit. Ciri kerang sakit adalah terdapat bintik-bintik kuning atau kecoklatan pada cangkang lapisan mutiara. Kerang yang sakit perlu dikarantina terlebih dahulu sebelum diinjeksi nucleus. MenyangkutAspek pemasaran Bapak Zahunu, memberikan gambaran tentang prospek cerah mutiara mabe. Beberapa perusahaan telah memberikan sinyal positif terhadap kerjasama perdagangan mabe. Salah satunya adalah PT. New Mont Sumbawa yang telah membeli mabe dari beberapa nelayan di Kapontori. Diharapkan kedepan kerjasama ini akan terus berlangsung. Rencananya jika sudah banyak petani yang terampil menyuntik, nelayan dapat menuplai siput yang telah diinjeksi nukleus.

Praktik injeksi nukleus adalah saat yang paling ditunggu peserta. Dengan dipandu oleh beberapa nelayan yang telah terampil, praktik diselenggarakan di pasar Desa Watumotobe. Setiappesertadiberikesempatan untuk menyuntik dua siput. Nukleus dan beberapa peralatan telah disiapkan sebelumnya. Satu persatu peserta dengan antusias melakukannya sesuai dengan arahan instruktur. Kerang yang telah diinjeksi akan dikembalikan lagi kerakit. Hasilnya akan diketahui setelah enam bulan kemudian.

Siput yang diinjeksi diberi pencatatan atas nama peserta yang melakukannya. Saat panen akan diketahui peserta yang hasilnya bagus dan yang masih ada kesalahan. Para peserta mengharap PKHL memfasilitasi instalasi bengkel guna proses produksi mutiara. Rancangan kedepan akan dibentuk kelompok pengrajin dalam satu instalasi terdiri atas 8 – 10 nelayan. Berbagai macam peralatan dan bahan baku akan dirancang pengadaannya sambil menunggu hasil praktek penyuntikan dipanen.

Modal usaha dalam bentuk kredit rencananya akan dikucurkan oleh Dinas Perikanan Dan Kelautan Buton. Pelatihan memberi dukungan dari sisi keterampilan agar produk mutiara berkualitas tinggi.

PKHL dalam memberikan dukungan pemberdayaan selama ini berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Metode pemberdayaan yang dilakukan merupakan rancangan masyarakat sendiri. PKHL tidak mempunyai paket khusus yang dicanangkan dalam program-programnya. Masyarakat diajak berpikir dan berkreatifitas untuk mencari jalan keluar dalam mengatasi persoalan kesejahteraannya. Termasuk masalah yang bersinggungan dengan hutan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Kesadaran meningkatkan taraf hidup tanpa merusak lingkungan adalah jalan bijak yang harus terus ditumbuh kembangkan. Bukankah sudah banyak contoh kehancuran yang bisa menjadi pelajaran akibat terlalu tamaknya manusia dalam mencari penghidupan?

Kamis, 19 Januari 2006

Nelayan Cerdas, Nelayan Mandiri


Tanggal : 19 Januari 2006
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_175.ubh

Sungguh ironis, dengan sumber daya alam laut yang luar biasa, nasib nelayan seakan diam ditempat. Secara normatif seharusnya hidup dalam kesejahteraan. Namun kenyataannya, sebagian besar masyarakat pesisir masih merupakan masyarakat tertinggal dibandimg komunitas masyarakat lain. Itu disebabkan karena tingkat pendidikan mereka masih rendah. Masa depan kelestarian pengelolaan potensi kelautan kita membutuhkan kearifan dan sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola dan memanfaatkannya.

Pendidikan untuk nelayan pada hakekatnya merupakan human investmen dan social capital, baik untuk kepentingan pembangunan daerah maupun pembangunan nasional. Pendidikan merata dan bermutu baik melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah akan berdampak pada kecerdasan dan kesejahteraan nelayan. Demikian pula halnya dengan pendidikan memadai, paling tidak dapat dijadikan modal untuk mencari dan menciptakan peluang-peluang kerja yang dapat menjadi sumber kehidupan dan peningkatan kesejahteraan. Dalam banyak hal, terjadinya kemiskinan nelayan bukan semata-mata karena masalah ekonomi akan tetapi salah satu penyebabnya ialah pendidikan yang rendah.
Nelayan Cerdas, Nelayan Mandiri oleh Prof.Dr.Ir. Hafrijal Syandri, MS
Ada beberapa dasar yang membuat kita harus memperhatikan regenerasi nelayan, sehingga mereka lebih kompetitif dan mampu memanfaatkan sumberdaya alam di masa depan. Karena kekayaan itu dapat dijadikan kekuatan untuk mensejahterahkan mereka, keluarga dan lingkungannya, dan bisa menjadi pilar utama dalam pembangunan masyarakat pesisir kedepan.
Nelayan Cerdas, Nelayan Mandiri oleh Prof.Dr.Ir. Hafrijal Syandri, MS
Dilihat dari sumberdaya manusia nelayan paling tinggi hanya 80 % tamat sekolah dasar, bahkan banyak yang tidak tamat atau tidak sekolah sama sekali. Fakta tersebut menyiratkan kemampuan nelayan mengelola sumberdaya alam pesisir sangat terbatas. Ini disebabkan karena mereka identik dengan berbagai prilaku sosial yang tidak menguntungkan selama ini, misalnya budaya konsumtif, menyebabkan mereka terjebak pada lingkaran utang dan kemiskinan. Hal itu tentu jauh dari harapan untuk mengelola potensi sumberdaya kelautan yang tidak terbatas secara berkelanjutan, maka diperlukan regenerasi nelayan yang memiliki kemandiran, kompetensi dan kapasitas yang memadai pula. Jika kita dibandingkan dengan data Political and Economics Risc Consultan Croup – sebuah lembaga penelitian di Hongkong, bahwa ada 17 variabel yang merupakan rangking dalam pendidikan menengah, sarjana, dan pascasarjana, serta penguasaan teknologi, penguasaan bahasa asing, kemudian etos kerja dan tingkat aktifitas dari tenaga kerja. Dengan ukuran variabel ini, tidak mungkin mereka (putra-putri nelayan, red) dibanding negara lain mampu bersaing dengan kondisi pendidikan sekarang.