Rabu, 07 Maret 2007

Panduan Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat

Tanggal : 7 Maret 2007
Sumber : http://www.uem-pmd.info/index.php?option=com_content&task=view&id=31&Itemid=44


Kesejahteraan masyarakat merupakan amanat Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 3 (tiga) yang berbunyi “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu…”. Amanat tersebut dipertegas dalam Bab XIV pasal 33 ayat 1 “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Salah satu permasalahan pembangunan nasional yang terpenting adalah masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 meliputi 5 (lima) sasaran pokok dengan prioritas dan arah kebijakannya sebagai berikut: 1) Menurunkan jumlah penduduk miskin; 2) Berkurangnya kesenjangan antar wilayah dengan meningkatkan peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi; 3) Meningktkan kualitas manusia secara menyeluruh, baik dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM); 4) Memperbaiki mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan; serta 5) Membaiknya infrastruktur dengan meningkatknya kuantitas dan kualitas sarana penunjang pembangunan. Hal ini juga sejalan dengan pelaksanaan salah satu komitmen global yang tercantum dalam dokumen Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals atau MDGs).

Perubahan sistem pemerintahan dari pola sentralisasi ke desentralisasi dalam kerangka demokratisasi Pemerintahan Daerah ditandai dengan revisi isi kebijakan (content of policy) dan konteks pelaksanaan (context of implementation) kebijakan Otonomi Daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999. Pemberian otonomi kepada daerah ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini berarti perwujudan tujuan Otonomi Daerah dapat dicapai melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan suatu model manajemen pembangunan desa yang mampu mengakomodasi dan mengartikulasi peran aktif masyarakat sehingga masyarakat senantiasa memiliki dan turut bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama. Dengan keterangan tersebut di atas maka peran dan fungsi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Departemen Dalam Negeri sangatlah strategis.

Untuk memperkuat dan mempelancar tugas tersebut maka Direktorat Usaha Ekonomi Masyarakat (UEM) sebagai salah satu unit kerja di Ditjen PMD sangatlah penting peranannya dalam penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di bidang pengembangan usaha ekonomi masyarakat dan desa. Direktorat UEM dalam melaksanakan tugas tersebut mempunyai fungsi: 1) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan usaha pertanian dan pangan; 2) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan usaha perkreditan dan simpan pinjam; 3) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan pengembangan produksi dan pemasaran; 4) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan usaha ekonomi keluarga; dan 5) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan pengembangan ekonomi perdesaan dan masyarakat tertinggal. Agar mudah melaksanakan tugas dan fungsinya serta tercapai maksud dan tujuannya, Direktorat UEM melakukan akselerasi pembinaan usaha ekonomi masyarakat dengan 7 agenda utama, yaitu: 1) Reorientasi Konsep Baru Pembinaan UEM; 2) Reposisi peran koordinasi dan fasilitasi UEM; 3) Reformulasi kebijakan dan strategi UEM; 4) Rekonsolidasi potensi peluang kerjasama; 5) Revitalisasi publikasi dan manajemen interaksi; 6) Reorganisasi pola pembinaan manajemen UEM; serta 7) Resosialisasi rencana aksi dan sistem evaluasi. Manajemen Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat (PUEM) merupakan formulasi integral dari hasil penterjemahan ulang visi dan misi serta hasil proses kolaborasi dan pembelajaran positif dari strategi, kebijakan dan program Direktorat UEM. Beberapa program dan kegiatan tersebut antara lain: Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Desa/Kelurahan (LPMD/K) dan Usaha Pertanian Melalui Agropolitan, Pengembangan UPMP dari Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM), Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), Program Pengembangan Informasi dan Diversifikasi Pasar, Program Penanggulangan Kemiskinan dan Program Pemberdayaan Masyarakat Untuk Pembangunan Desa (PMPD)/Community Empowerment for Rural Development (CERD). Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat (PUEM) merupakan salah satu kegiatan pokok pemberdayaan masyarakat dalam Tugas Pokok dan Fungsi Ditjen PMD yang dilaksanakan oleh Direktorat UEM. Manajemen PUEM dibutuhkan agar berbagai usaha masyarakat dapat tumbuh dan berkembang secara lebih efisien dan efektif dalam kerangka Kebijakan Otonomi Daerah sesuai dengan spirit UU Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan serta Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa berdasarkan Kepmendagri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri dan Kepmendagri Nomor 164 Tahun 2004 tentang Uraian Tugas Subbagian, Seksi dan Subbidang di Lingkungan Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan kondisi tersebut dan untuk memperbaiki sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat UEM, Pemerintah Daerah, dan berbagai lembaga dalam pemberdayaan masyarakat, dan agar terjadi interaksi yang tentu didasari oleh kebutuhan untuk ingin saling memperoleh respon dan informasi serta pengakuan peran kontributif antar kelompok yang berbeda kepentingannya dalam mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya sama, maka diperlukan Kebijakan Umum Usaha Ekonomi Masyarakat yang memuat konsep dan filosofi, kebijakan, strategi, hingga kegiatan dilapangan serta peran masing-masing pihak yang terkait didalamnya. Sehingga pendekatan pemberdayaan masyarakat yang menjunjung konteks keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dapat terwujud dengan baik. Kawasan Perdesaan Pada tahun 2005, penduduk Indonesia telah mencapai kurang lebih 220 juta jiwa, sebagian besar (71 persen) bertempat tinggal di kawasan perdesaan.

Selama ini kawasan perdesaan didefinisikan antara lain sebagai: a. Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 8 Tahun 2005); b. Kawasan yang bukan tergolong sebagai perkotaan (urban) atau wilayah di sekitar kota (sub-urban); c. Kawasan dengan hamparan tanah yang peruntukannya didominasi oleh sektor pertanian (agraris) dan bukan merupakan kawasan industri; d. Suatu kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Sutardjo Kartohadikusumo, 1965); Podes 2003 menyuguhkan 56.838 desa di wilayah pedesaan (83 persen dari keseluruhan 68.813 desa/kelurahan), pada Podes 2005 jumlahnya meningkat menjadi 57.666 desa (tetap berposisi 82 persen dari 69.956 desa/kelurahan).

Dalam periode yang sama luas desa meningkat dari 162.332.665,6 hektare (rata-rata 2.856 hektare/desa) menjadi 182.819.735 hektare (rata-rata 3.170 hektare/desa). Penambahan jumlah berikut luas desa menunjukkan desa baru dibangun di tanah kosong, misalnya hutan. Sangat mungkin penyebabnya peningkatan tekanan penduduk, untuk kemudian mengeksploitasi lingkungan menjadi desa. Penduduk desa tahun 2005 berjumlah 127.435.933 jiwa, meningkat dari 125.291.758 jiwa pada tahun 2003. Infrastruktur ekonomi merekam capaian pembangunan. Jalan aspal dinikmati 51 persen desa, sedangkan jalan yang diperkeras bebatuan mendominasi 30 persen desa lainnya. Listrik menyala di 91 persen desa, dan televisi ditonton di 63 persen desa. Infrastruktur air bersih memadai di 63 persen desa. Sisa tantangan ekonomis ialah kebutuhan bangunan pasar bagi 10 persen desa. Tantangan lebih berat muncul pada aspek sosiologis. Masih ada saja desa tanpa SD.

Sebanyak 34 persen desa belum dijamah bidan, bahkan 11 persen desa tidak mampu menyelenggarakan Posyandu. Sejalan dengan itu, sampah sekedar dibuang ke lobang atau dibakar di 67 persen desa, bahkan 46 persen desa tidak memiliki tempat buang air besar. Rumah kumuh tumbuh di 7 persen desa. Kayu bakar masih digunakan mayoritas penduduk di 77 persen desa. Ironisnya di 4 persen desa terdapat rumahtangga yang tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. Pada saat ini jumlah desa tertinggal mencapai 8.198 desa. Desa tertinggal tersebut tersebar di seluruh provinsi, kecuali DKI Jakarta. Adapun jumlah kabupaten/kota yang memiliki desa tertinggal mencapai 327 kabupaten/kota.

Keseluruhan desa tertinggal tersebut dihuni oleh 8.742.868 jiwa. Secara khusus, penduduk pertanian mencakup 1.883.462 jiwa. Keseluruhan desa tertinggal mencakup wilayah seluas 41.785.188 Ha. Rendahnya tingkat produktifitas tenaga kerja di perdesaan bisa dilihat dari besarnya tenaga kerja yang di tampung disektor pertanian (46,26 persen dari 90,8 juta penduduk yang bekerja), padahal sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional menurun menjadi 15,9 persen (Susenas, 2003). Sementara tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan bisa ditinjau baik dari indikator jumlah dan persentase penduduk miskin, maupun tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin adalah 37,3 juta jiwa (17,4 persen), di mana presentase penduduk miskin di perdesaan 20,2 persen, lebih tinggi dari perkotaan yang mencapai 13,6 persen.

Secara umum, kawasan perdesaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: rendahnya tingkat produktifitas tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan pemukiman perdesaan. Permasalahan Kawasan Perdesaan Pembangunan perdesaan yang relatif tertinggal disebabkan oleh masih banyaknya permasalahan yang dihadapi diantaranya: a. Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketrampilan rendah (low skilled). b. Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan. c. Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas. d. Rendahnya tingkat pelayanan sosial. e. Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup serta meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis untuk peruntukan lain. f. Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat. g. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial. h. Belum optimalnya pemanfaatan peluang di era globalisasi dan liberalisasi perdagangan serta antisipasi risiko yang menyertainya. i. Timbulnya hambatan distribusi dan perdagangan antar daerah. j. Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan. Arah Kebijakan Pembangunan Perdesaan Kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2004-2009 diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: a. Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, dan penguasaan aset produktif, disertai dengan penguatan kelembagaan dan jaringan kerjasama untuk memperkuat posisi tawar; b. Memperluas akses masyarakat, terutama kaum perempuan, ke sumberdaya-sumberdaya produktif untuk pengembangan usaha seperti lahan, prasarana sosial ekonomi, permodalan, informasi, teknologi dan inovasi; serta pelayanan publik dan pasar; c. Mendorong terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan dengan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha pertanian, merangsang pertumbuhan aktivitas ekonomi non pertanian (industri perdesaan), dan memperkuat keterkaitan kawasan perdesaan dan perkotaan; d. Meningkatkan promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya dengan meningkatkan kualitas dan kontinuitas suplai khususnya ke pasar perkotaan terdekat serta industri olahan berbasis sumber daya lokal; e. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan memenuhi hak-hak dasar atas pelayanan pendidikan dan kesehatan serta meminimalkan risiko kerentanan baik dengan mengembangkan kelembagaan perlindungan masyarakat petani maupun dengan meningkatkan modal sosial masyarakat perdesaan; f. Mengembangkan praktek-praktek budidaya pertanian dan usaha non pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pembelajaran Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan Beberapa hal yang dapat dipetik dari proses pembelajaran lapang dari pemberdayaan ekonomi di perdesaan adalah: a. Teori keseimbangan antara Ekonomi dan Politik di dalam lingkup negara juga dirasakan pentingnya di desa. Secara praktis, hal tersebut dapat dipraktekan dengan mencoba menyeimbangkan Pemberdayaan Ekonomi dan Penguatan Kelembagaan (self-governance) masyarakat; b. Pemberdayaan ekonomi tanpa pemberdayaan kelembagaan hanya akan membuat perubahan jangka pendek karena sama sekali tidak memberikan pondasi yang kuat bagi keberlanjutannya; c. Pemberdayaan Kelembagaan tanpa Pemberdayaan Ekonomi hanya akan membuat masyarakat jenuh. Perubahan yang terjadi karena pemberdayaan kelembagaan bukanlah perubahan yang dapat dirasakan secara nyata dan langsung (agak abstrak). Jika kondisi ini dibiarkan terus tanpa dilanjutkan dengan pemberdayaan ekonomi maka masyarakat biasanya akan bersifat skeptis terhadap aktifitas dalam pemberydayaan kelembagaan tersebut; d. Antara Pemberdayaan Kelembagaan dan Pemberdayaan Ekonomi, kita juga perlu mendukung hal-hal yang bersifat penguatan kecakapan (skill); e. Di dalam penguatan kecakapan, lebih baik berprinsip kepada “mulailah dari apa yang masyarakat tahu dan mengerti”. Walaupun demikian, bukan berarti tidak boleh memulai hal yang baru sama sekali. Hal yang baru dapat dilakukan jika memang masyarakat benar-benar membutuhkan.

Salah satu indikator bahwa masyarakat benar-benar memerlukan adalah tingkat pemahaman masyarakat terhadap seluruh aspek dari tawaran hal baru tersebut baik aspek negatif maupun positif dan kemudian secara demokratis dan terbuka mereka memutuskan untuk mengambil pilihan baru tersebut; f. Dengan demikian maka Pemberdayaan Ekonomi tidak sama dengan Peningkatan Pendapatan (income generating). Pemberdayaan ekonomi adalah sebuah sistem dimana antara satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan dan saling terkait. Peningkatan pendapatan hanyalah salah satu bagian dalam Pemberdayaan Ekonomi; g. Peningkatan pendapatan jauh lebih baik dimulai dari apa yang masyarakat sudah miliki baik dari sisi keahlian, dukungan budaya, bahan baku, alat-alat dan lain-lain daripada memulai dengan sesuatu yang benar-benar baru. Kearifan lokal menjadi hal yang utama untuk membangun kekuatan dari sumber daya lokal; h. Perbaikan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat seringkali seperti leher botol (bottle neck) dimana jika pasar tidak merespon positif maka seluruh program pemberdayaan akan terancam ‘gagal’; i. Pasar seringkali menjadi hal penting, tapi kita harus tetap ingat bahwa itu bukan satu-satunya. Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang tidak penting. Seluruh sub sitem dalam sistem Pemberdayaan Ekonomi adalah penting untuk diseriusi; j. Persoalan modal juga penting, tapi hal ini lebih banyak kepada masalah kebijakan. Kawasan Perkotaan Pembangunan nasional yang telah dilakukan selama ini secara umum telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, namun demikian pembangunan tersebut ternyata menimbulkan kesenjangan perkembangan antar wilayah.

Ketimpangan pembangunan terutama terjadi antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antar kota-kota dan antara kota-desa. Pada beberapa wilayah, ketimpangan pembangunan telah berakibat langsung pada munculnya semangat kedaerahan yang pada titik yang paling ekstrim diwujudkan dalam bentuk gerakan separatisme. Sementara itu, upaya-upaya percepatan pembangunan pada wilayah yang relatif masih tertinggal tersebut, meskipun telah dimulai sejak sepuluh tahun yang lalu, hasilnya masih belum dapat dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Di sisi lain, kebijakan pembangunan wilayah masih dirasakan timpang, dalam arti lebih menitik-beratkan pada pengembangan wilayah perkotaan (urban area) sebagai basis industrialisasi dan perdagangan, dengan harapan keuntungan ekonomi (economic gain) yang diperoleh akan merembes (menetes) ke wilayah perdesaan (rural area). Kebijakan ini ternyata telah semakin memarginalkan potensi pengembangan wilayah perdesaan, karena secara nyata telah memperluas area industrialisasi dan mempersempit area pertanian dan perkebunan. Wilayah perdesaan lama kelamaan akan berubah menjadi wilayah sub urban, yang pada giliran selanjutnya akan menghilangkan salah satu fungsi wilayah rural sebagai sumber utama pemasok (supplier) kebutuhan dasar pangan sekaligus wilayah penyangga (buffer zone) lingkungan bagi wilayah perkotaan. Permasalahan Kawasan Perkotaan a. Banyak Wilayah-wilayah yang Masih Tertinggal dalam Pembangunan; b. Belum Berkembangnya Wilayah-wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh; c. Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang; d. Kurang Berfungsinya Sistem Kota-kota Nasional dalam Pengembangan Wilayah; e. Ketidakseimbangan Pertumbuhan Antarkota-kota Besar, Metropolitan dengan Kota-kota Menengah dan Kecil; f. Kesenjangan Pembangunan antara Desa dan Kota; g. Rendahnya Pemanfaatan Rencana Tata Ruang sebagai Acuan Koordinasi Pembangunan Lintas Sektor dan Wilayah; h. Sistem Pengelolaan Pertanahan yang Masih Belum Optimal.

Arah Kebijakan Pembangunan Perkotaan Dalam rangka mencapai sasaran pengurangan ketimpangan pembangunan antar wilayah dimaksud di atas, diperlukan arah kebijakan sebagai berikut : a. Mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh sehinggga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu “sistem wilayah pengembangan ekonomi” yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata rantai proses industri dan distribusi. Upaya ini dapat dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerja sama antar sektor, antar pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah; b. Meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan selain dengan pemberdayaan masyarakat secara langsung melalui skema dana alokasi khusus, public service obligation (PSO), universal service obligation (USO) dan keperintisan, perlu pula dilakukan penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi dengan wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis dalam satu “sistem pengembangan ekonomi”; c. Mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking, sehingga kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach), juga diperlukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach); d. Menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah dan kecil secara hierarkis dalam suatu “sistem pembangunan perkotaan nasional”.

Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi (forward and backward linkages) sejak tahap awal mata rantai industri, tahap proses produksi antara tahap akhir produksi (final process), sampai tahap konsumsi (final demand) di masing-masing kota sesuai dengan hierarkinya. Hal ini perlu didukung, antara lain, peningkatan aksesibilitas dan mobilitas orang, barang dan jasa antar kota-kota tersebut, antara lain melalui penyelesaian dan peningkatan pembangunan trans Kalimantan dan trans Sulawesi; e. Meningkatkan percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai “motor penggerak” pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya, maupun dalam melayani kebutuhan warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan antara lain, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan sesuai dengan tipologi kota masing-masing; f. Mendorong peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan “backward linkages” dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu “sistem wilayah pengembangan ekonomi”; g. Mengendalikan pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu “sistem wilayah pembangunan metropolitan” yang compact, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan; h. Mengoperasionalisasikan “Rencana Tata Ruang” sesuai dengan hierarki perencanaan (RTRW-Nasional, RTRW-Pulau, RTRW-Provinsi, RTRW-Kabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah; i. Merumuskan sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi. Berdasarkan pemaparan di atas, maka Pedoman Umum Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat disusun dengan maksud untuk memberikan pegangan bagi Aparatur Pusat, Daerah dan Desa dalam memahami Konsep Pembangunan Perdesaan dan Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat serta peran Fasilitator Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat. Pedoman tersebut, diharapkan dapat mewujudkan: Pemahaman yang sama mengenai Konsep Pembangunan Perdesaan, Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat serta peran Fasilitator Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat; Aparat yang berkemampuan dan berkapasitas untuk memfasilitasi Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan masyarakat dalam pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif berbasis potensi lokal; Sumber Daya Manusia di daerah (Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan masyarakat) yang berkemampuan dan berpengetahuan dalam pengembangan kegiatan ekonomi produktif berbasis potensi lokal.