Kamis, 26 April 2007

PENGENALAN MODEL IMPLEMENTASI PENATAAN RUANG KAWASAN PESISIR MELALUI KEGIATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PLBPM)

Tanggal : 26 April 2007
Sumber : http://suaraindonesiaraya.com/index.php?USRTYPE=&ACT=NEWS_DETAIL&newsid=106

Jakarta, 26/04/07. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) pada Departemen Kelautan dan Perikanan sangat berkepentingan dalam tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan pembinaan pembangunan wilayah pesisir. Berbagai kegiatan selama ini telah dilakukan melalui pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), konservasi, penataan ruang, pemberdayaan pulau-pulau kecil, dan program pengelolaan pesisir lainnya. Upaya untuk dapat meningkatkan pembinaan terus dilakukan. Dalam rangka penataan dan peningkatan kondisi lingkungan pesisir, maka dilakukan kegiatan pengelolaan lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat (PLBPM). Kegiatan PLBPM ini digagas pertama kali oleh Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang pada waktu itu masih dijabat Ir. Widi Agoes Pratikto, Phd.

Esensi PLBPM terutama terletak pada pendekatan pelaksanaannya di lapangan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat, sejak dari perencanaan sampai kepada pelaksanaannya dengan dibantu melalui kegiatan-kegiatan pembinaan / pembimbingan, pendampingan, dan pengendalian. Pendekatan ini cukup efektif dalam menumbuhkan partisipasi aktif di kalangan masyarakat target group, respon yang positif serta komitmen dukungan dari stake holders, Pemerintah Daerah, dan lembaga / institusi lain terkait.

Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan nelayan dan berbagai kepentingan pengembangan. Oleh karena itu wilayah pesisir juga cenderung mengalami tekanan pembangunan yang kadang melampaui dayadukungnya. Kegiatan pemanfaatan ruang berpotensi konflik dan menimbulkan dampak degradasi lingkungan seperti rusaknya kawasan mangrove, karang, dan habitat perikanan lain, proses abrasi pantai, serta pencemaran.

Pada sisi lain, masyarakat pesisir yang sebagian besar terdiri dari para kaum nelayan, pada umumnya memiliki kehidupan ekonomi yang relatif lemah dan kurang tersentuh oleh perhatian pembangunan. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang menyatu dengan permasalahan lingkungan. Kondisi rumah yang tidak sehat, lingkungan permukiman yang tidak tertata serta tidak didukung oleh prasarana secara memadai tergambar dari buruknya sistem sanitasi (drainase, persampahan, air bersih, MCK), jalan lingkungan, serta terbatasnya prasarana lingkungan dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi setempat.

Kita melihat bagaimana fenomena masalah kemiskinan masyarakat pesisir tersebut sudah menjadi suatu trade mark tersendiri. Berbagai program pembangunan telah banyak dilakukan dalam upaya memajukan kawasan pesisir, tetapi sangat jarang adanya program yang secara langsung menyentuh pada tataran masyarakatnya.

Model kegiatan Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PLBPM) mungkin akan mengubah paradigma kita dalam pelaksanaan program, dari pendekatan ‘proyek’ kepada suatu proses pengelolaan dari dan oleh masyarakat sendiri. PLBPM diharapkan dapat menjadi suatu program yang tidak saja manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, tetapi juga masyarakat sendiri yang mengelola dan menentukan keputusan pilihannya, bahkan memberikan sharing dan partisipasi dalam pelaksanaannya. Kita optimis bahwa program yang bertumpu pada masyarakat seperti itu akan memberikan efektifitas serta dampak kemanfaatan yang lebih besar dalam upaya memajukan kawasan pesisir di masa mendatang.

Jiwa PLBPM terletak pada esensinya dalam memberikan pembelajaran secara tidak langsung kepada masyarakat pesisir agar mereka dapat menemukan cara-cara pemecahan permasalahan dan kebutuhannya dari diri mereka sendiri dengan memberdayakan segenap potensi yang ada, sehingga pada saatnya diharapkan terjadi keberlanjutan pengelolaan oleh masyarakat; serta Pemerintah Daerah bersama stake holders terkait lainnya mengambil peran pengembangan keberlanjutan tersebut ke dalam proses pembangunan wilayah Daerahnya. Keberlanjutan seperti itu dapat dicontohkan di Kabupaten Bengkalis, dimana hasil PLBPM telah diakomodir oleh Pemerintah Daerah ke dalam suatu rencana pembangunan kawasan dengan visi yang lebih luas untuk lima tahun ke depan.

Kegiatan PLBPM difokuskan pada hasil (output) fisik yang betul-betul memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir sesuai dengan permasalahan dan prioritas kebutuhan mereka di lapangan saat pelaksanaan. Kegiatan fisik tersebut meliputi peningkatan / perbaikan ekosistem pesisir; peningkatan / perbaikan / pembangunan infrastruktur lingkungan permukiman; serta peningkatan / perbaikan / pembangunan rumah.

Kelompok sasaran (target group) PLBPM adalah masyarakat pesisir yang sebagian besar meliputi nelayan dan pembudidaya ikan, serta masyarakat pesisir lainnya yang bermukim sebagai satu komunitas di kawasan pesisir dengan taraf ekonomi relatif lemah atau miskin, mempunyai kondisi lingkungan permukiman yang buruk, serta diutamakan berada pada kawasan yang mengalami permasalahan degradasi lingkungan pesisir. Kelompok sasaran tersebut bermukim pada satu kawasan target group yang berskala lingkungan, dengan luasan sekitar satu desa / kelurahan; atau dapat merupakan bagian dari desa / kelurahan.

Dalam mekanisme anggaran program, DIPA PLBPM diturunkan langsung kepada masing-masing Kabupaten / Kota cq. Dinas Kelautan dan Perikanan. Penyaluran anggaran kepada desa / kelurahan lokasi target group dilakukan secara bertahap, dari KPPN ke dalam rekening bank setempat lembaga kemasyarakatan yang merupakan lembaga formal yang betul-betul dekat / mewakili target group serta mempunyai kredibilitas tanggungjawab yang dapat dipercaya. Dalam PP No.72 / 2005 tentang Desa, yang dimaksud dengan Lembaga Kemasyarakatan misalnya RT, RW, PKK, Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat atau sebutan lain.

Lembaga kemasyarakatan tersebut akan bertanggungjawab dalam pencairan / penggunaan / penyaluran dana untuk pelaksanaan kegiatan target group melalui pemberdayaan masyarakat. Mekanisme penyaluran dana dituangkan melalui SPK (Surat Perjanjian Kerja) antara PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dengan lembaga kemasyarakatan.

Pelaksanaan program PLBPM secara keseluruhan dikendalikan agar mencapai esensi tujuannya melalui pembinaan / pembimbingan, pengarahan, pendampingan, pemantauan, dan evaluasi dari Pusat (Ditjen. KP3K) dan Daerah, baik dari Provinsi (melalui pelibatan peran Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi) maupun di Kabupaten / Kota bersangkutan (oleh Forum Koordinasi Teknis Daerah; Tenaga Ahli Pendamping; Tim Teknis Pengendali Daerah).

Pada tahun anggaran 2006, PLBPM telah dilaksanakan di 20 Kabupaten / Kota. Hasilnya menunjukkan adanya respon yang sangat positif dan mencerminkan tercapainya esensi tujuan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat pesisir telah didorong tumbuh. Berbagai bentuk sharing telah diberikan oleh masyarakat di seluruh daerah lokasi PLBPM, seperti berupa sumbangan material, tenaga kerja yang tidak diupah, dan lahan yang disediakan untuk pembangunan fasilitas umum. Di Kabupaten Serdang Bedagai misalnya, masyarakat secara swadaya membangun MCK dan melakukan renovasi rumah. Hal yang sama dilakukan oleh warga di Kabupaten Bengkalis yang berswadaya membangun jalan. Di Kota Bima warga merelakan tanahnya untuk pelebaran jalan. Di Kabupaten Ciamis, Jepara, dan Tegal masyarakat memberikan sumbangan material berupa semen, batu, dan pasir yang tidak sedikit nilainya, serta banyak lagi bentuk-bentuk sharing masyarakat di lokasi lainnya.

Beberapa Daerah menunjukkan komitmennya terhadap kegiatan PLBPM dengan menyediakan anggaran pendamping. Dukungan juga diperoleh dari instansi lain seperti Kementerian Perumahan Rakyat, beberapa Dinas Teknis, serta lembaga / institusi yang berada di Daerah setempat berupa kolaborasi program yang diintegrasikan pelaksanaannya dengan lokasi PLBPM, seperti di Kab. Nunukan, Kab. Bengkalis, Kab. Ciamis, dan beberapa lagi di Kabupaten lainnya. Adanya berbagai bentuk partisipasi, sharing, kolaborasi, dan bahkan tindaklanjut pengembangan terhadap hasil-hasil PLBPM seperti itulah yang justru kita harapkan, sehingga pada saatnya pemberdayaan pengelolaan berjalan secara berkelanjutan oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Kita bersyukur bahwa pada tahun anggaran 2007 ini dapat melaksanakan kembali program PLBPM. Rasanya ada suatu tanggungjawab moril yang melekat, dan ada suatu kepuasan bathin yang tidak dapat dinilai secara materiil pada kita dalam melaksanakan program ini. Untuk tahun anggaran 2007, PLBPM dilaksanakan di 23 Kabupaten / Kota, yaitu 8 (delapan) Kabupaten / Kota merupakan lokasi baru; dan 15 (lima belas) Kabupaten / Kota merupakan lokasi tindaklanjut PLBPM tahun 2006.

Pada Kabupaten / Kota lokasi tindaklanjut PLBPM tahun 2006, kegiatan diarahkan untuk menindaklanjuti komponen fisik yang masih belum selesai atau belum berfungsi atau belum dapat dimanfaatkan.
Misalnya, untuk melanjutkan pembangunan jalan lingkungan yang di tahun 2006 baru sebagian dibangun, padahal jalan tersebut semestinya baru dapat berfungsi apabila sudah dibangun seluruhnya. Atau misalnya, untuk melanjutkan kekurangan jumlah pembangunan / rehabilitasi rumah yang sudah dilakukan di tahun 2006. Kegiatan pembangunan fisik yang sifatnya baru juga dapat dipilih sejauh merupakan kebutuhan prioritas yang disepakati bersama oleh masyarakat target group.

Selain diarahkan untuk menindaklanjuti kegiatan fisik, juga dilakukan pembinaan dalam rangka melembagakan keberlangsungan pemberdayaan masyarakat. Misalya, kegiatan yang ditujukan untuk penguatan kelembagaan / kelompok masyarakat, pembinaan motivator, penyuluhan masyarakat, penyusunan / penetapan suatu Peraturan Desa / Kelurahan mengenai pengelolaan PLBPM, dan lain-lainnya.

Sejalan dengan itu, disusun desain tata ruang kawasan target group ke depan, serta bagaimana mengintegrasikannya dengan konsep tata ruang wilayah yang lebih luas, sehingga kawasan target group akan menjadi bagian dari proses pengembangan dan pembangunan wilayah Kabupaten / Kota. Desain atau konsep tersebut perlu dibicarakan bersama sejak penyusunannya pada tataran rembug desa / kelurahan. Bagaimana mengisinya, dibahas dalam Forum Koordinasi Teknis Daerah. Pada kesempatan tersebut diharapkan dapat digalang komitmen mengenai peran dan tanggung jawab masing masing pihak di Daerah Kabupaten / Kota, Provinsi, Kecamatan, Desa / Kelurahan, masyarakat target group, dan stakeholders terkait lain (investor / swasta) dalam pemeliharaan dan pengelolaan hasil PLBPM yang telah dibangun, termasuk pengembangannya. Komitmen dapat berupa sharing program, penganggaran pembangunan di Daerah, ataupun akomodasi hasil PLBPM ke dalam satu konsep / rencana pembangunan kawasan dengan dimensi yang lebih luas.

Pelaksanaan PLBPM diharapkan memberikan dampak kemanfaatan terhadap empat hal, yaitu:

(1) Tersedianya kesempatan kerja alternatif khususnya bagi masyarakat nelayan pesisir yang sementara waktu tidak dapat melaut akibat dampak kenaikan harga BBM ataupun pada saat cuaca buruk. Masyarakat dapat memperoleh upah kerja pada pekerjaan-pekerjaan fisik dalam pelaksanaan kegiatan PLBPM, seperti pembangunan rumah, infrastruktur lingkungan, dan penanaman mangrove;

(2) Terciptanya kondisi lingkungan pesisir yang lebih baik dan mendukung bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan pendapatan dan kegiatan ekonominya, seperti dengan dibangunnya tambatan perahu, jalan lingkungan / jalan poros, sumber air bersih, listrik desa, dan rumah serbaguna.

(3) Pebaikan kondisi ekosistem pesisir yang mengalami degradasi, seperti dengan kegiatan penanaman mangrove, transplantasi karang, dan pembangunan talud untuk mengurangi abrasi pantai;

(4) Kegiatan ekonomi masyarakat pesisir yang meningkat dan secara tidak langsung akan masuk ke dalam mekanisme pertumbuhan ekonomi kawasan / wilayah.

Pada akhirnya yang terpenting dan perlu kita garisbawahi, bahwa dalam membangun kawasan pesisir tentunya PLBPM tidak dapat berdiri sendiri dan perlu bersama-sama dengan kegiatan program sektor lain berintegrasi ke dalam satu kerangka program pembangunan ekonomi wilayah / Daerah. Oleh karena itu pembinaan keberlangsungan terhadap hasil kegiatan PLBPM yang telah dicapai sangat diperlukan. Diharapkan masing-masing pihak dapat mengambil peran dan tanggungjawabnya untuk itu, baik di Pusat maupun Daerah (Provinsi, Kabupaten / Kota, Kecamatan) serta Masyarakat bersangkutan (Desa / Kelurahan, Kelompok Masyarakat, Motivator).

Selasa, 24 April 2007

Konsep Desa Mandiri E3i

Tanggal : 24 April 2007
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=131233

Sektor pertanian dan pedesaan telah terbukti mampu bertahan selama krisis ekonomi 1997. Karena itu, upaya-upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor ini perlu ditingkatkan. Salah satunya melalui rancang bangun infrastruktur pedesaan yang dapat menciptakan suatu kawasan 'mandiri' yang ideal baik untuk kawasan industri, untuk peningkatan nilai tambah produk unggulan daerah maupun sebagai kawasan permukiman yang indah, segar, dan nyaman. Dengan demikian diharapkan akan terjadi arus balik (U-turn) dari kota ke desa yang dapat mengurangi masalah urbanisasi yang telah menyebabkan daya dukung kota-kota besar terlampaui, seperti terjadinya kemacetan lalu lintas yang boros BBM padahal harganya makin mahal dan kawasan permukiman yang makin padat sehingga sering terjadi masalah-masalah sosial yang makin rawan.

Konsep desa mandiri E3I (empowering, energy, economics and environment and independent) diharapkan dapat menciptakan desa-desa yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat melalui penerapan teknologi bersih yang secara sosioekonomis dapat diterima masyarakat setempat dan sumbernya juga tersedia secara melimpah seperti energi surya, angin, biomassa, hidro skala kecil, panas bumi, dan bahkan tenaga laut untuk daerah pesisir. Penataan tata ruang yang asri, segar, dan nyaman, jarak ke tempat kerja yang relatif dekat tentunya dapat pula mengurangi eksodus tenaga kerja ke luar negeri yang menimbulkan masalah yang dilematis. Antara lain berkurangnya tenaga muda yang produktif di pedesaan dikhawatirkan pekerjaan pertanian akan bergantung kepada mereka yang sudah uzur yang mengakibatkan menurunnya kemampuan produksi walaupun sistem mekanisasi akan diterapkan.

Saat ini berkembang beberapa pengertian tentang desa mandiri. Ada yang menamakannya desa mandiri energi, eco-village, atau desa mandiri saja. Dalam tulisan ini desa E3I diartikan sebagai desa yang mampu memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan dan memanfaatkan energi bersih itu untuk keperluan industri dan koperasi yang dapat dikelola tenaga terdidik dan terlatih. Dengan demikian, akan tercipta desa mandiri yang berwawasan lingkungan dengan masyarakat yang ramah karena hidup di lingkungan yang nyaman, segar, dan asri sepanjang tahun.

Tata ruang

Rancangan infrastruktur pertanian dan pedesaan dapat dimulai dengan menerapkan sistem 30:30:30, yaitu 30% penutupan lahan oleh hutan, 30% untuk permukiman dan industri, serta 30% untuk lahan pertanian/peternakan, agar tercipta tapak untuk berproduksi yang relatif aman dari bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Usaha industrialisasi yang memang sudah berjalan dapat difokuskan terus untuk meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor unggulan daerah seperti jagung bagi daerah Gorontalo, sayur-mayur di Riau, Brastagi, Puncak, Lembang, dan lain-lain. Kopi dan kakao di Sulawesi, Lampung, Sumut, Bali, Nusa Tenggara, dan lain-lain. Industri perikanan memanfaatkan daerah pesisir yang merupakan kawasan terpanjang nomor dua di dunia. Di samping itu infrastruktur dasar untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-harinya perlu dilengkapi agar para penghuni betah tinggal di desanya. Sarana umum seperti sekolah, puskesmas, institusi perbankan, kios, atau toko pemasok kebutuhan sehari-hari sarana ibadah di samping tentunya akses ke lokasi industri tempat bekerja yang mudah terjangkau. Letaknya ditata sehingga tidak mengganggu kenyamanan kawasan permukiman.

Sumber penggerak

Proses peningkatan nilai tambah memerlukan teknologi dan teknologi memerlukan energi untuk menggerakkan berbagai peralatan proses produksi tersebut. Karena kebanyakan sentra produksi, terutama sektor pertanian dan kelautan umumnya berada jauh di pedalaman dan belum terjangkau listrik (saat ini baru antara 50%-60% desa teraliri listrik PLN) dan sumber energi fosil, opsi alternatif energi yang paling memungkinkan adalah dengan memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan seperti energi surya, angin, hidro skala kecil(di atas 30 Mw), dan biomassa yang sudah tersedia di lokasi daerah produksi. Selain itu, beberapa teknologi konversinya sudah dapat dilaksanakan bangsa kita sendiri tanpa bantuan tenaga asing. Sampai saat ini pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan masih belum maksimal, hanya sekitar 3,3% dari potensi sebesar 162,2 Gwe (Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005). Diharapkan, pada 2025 pangsa sumber energi terbarukan dapat melebihi 15% (termasuk sumber energi panas bumi dan energi laut) dari total kebutuhan energi nasional.

Teknologi energi terbarukan hasil penelitian dalam negeri sebenarnya sudah mampu menyediakan akses rumah tangga dan industri kecil di pedesaan dalam bentuk energi listrik, energi mekanis dan energi termal. Berbagai proyek percontohan baik atas inisiatif pemerintah, bantuan LN, maupun para peneliti telah mencoba menerapkan teknologi terbarukan di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Beberapa di antaranya tidak dapat diteruskan karena biaya operasi atau modal kerja tersedia, tidak tersedianya manual dan akses kepada pasokan suku cadang sehingga bila terjadi kerusakan tidak segera diperbaiki. Kadang karena kurang pengertian masyarakat pengguna memanfaatkan beberapa bagian dari komponen pembangkit energi untuk keperluan lain sehingga akhirnya sistem tidak berjalan sesuai rancangan aslinya.

Akhir-akhir ini setelah kita mengalami krisis energi yang serius, dengan tiap harinya dibutuhkan sekitar 450 ribu bbl BBM yang harganya terus berfluktuasi sejalan dengan dinamika geopolitik dunia, perhatian terhadap pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan meningkat drastis. Apalagi setelah pemerintah meratifikasi Protokol Kyoto dengan dikeluarkannya UU No 17/2004 dan PP No 5/2006 pengadaan pengganti BBM seperti program biodiesel, bioetanol, dan panas bumi yang sedikitnya harus mencapai di atas 10% dari total kebutuhan energi nasional. Di samping itu upaya pengganti minyak tanah untuk memasak dan proses pemanasan, pengeringan dan pendinginan terus diteliti antara lain dengan memanfaatkan teknologi konversi energi surya maupun biomassa (baik berupa bahan bakar padat, cair, dan gas).

Beberapa contoh alat tersebut termasuk hasil penelitian penulis sudah dimanfaatkan koperasi desa di Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pembangkit listrik dan panas (CHP atau co-generation) dengan daya sampai 100 kwe dapat memanfaatkan sumber biomassa yang banyak terdapat di Tanah Air dan dapat digunakan untuk membangkit listrik dan sumber panas bagi berbagai kegiatan industri seperti untuk memasak, pengeringan maupun pendinginan. Energi surya elektrik (solar cell atau solar PV), umpamanya, dapat dikombinasikan dengan mesin pengering tenaga surya hibrida dengan tungku biomassa, sebagai kegiatan bisnis produktif dan dapat memperpanjang masa simpan produk dan mengurangi kerugian pascapanen yang dapat mencapai 30%. Banyak produk unggulan daerah tidak termanfaatkan dan dibiarkan membusuk karena sarana untuk pemrosesan tidak tersedia atau teknologinya belum dikenal masyarakat. Usaha-usaha bisnis seperti pengeringan, pendinginan produk segar, dan pembekuan sebenarnya sudah dapat dikerjakan bila ditunjang fasilitas keuangan yang inovatif, akses pasar hasil pemrosesan baik untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri sehingga sumber pendapatan masyarakat setempat dapat tersedia secara berkelanjutan dan biaya investasi untuk membangun berbagai usaha produktif seperti disebutkan di atas tadi dapat terbayar. Dengan menggunakan energi surya elektrik itu dapat juga dimanfaatkan untuk membekukan zigot mutiara di daerah produksi terpencil yang belum terjangkau grid nasional. Pendinginan nokturnal sebagai salah satu bentuk pendinginan tenaga surya pasif dapat pula membantu dalam mengurangi beban pendinginan dengan mesin pendingin konvensional. Penelitian penulis bersama mahasiswa sebelumnya menunjukkan besarnya daya pendinginan secara alami ini bisa mencapai antara 40-70 w/m2 pada malam yang cerah.

Bila sumber-sumber energi yang bersih dan akrab lingkungan itu dapat digunakan untuk tujuan produktif, sebagai sumber utama pengembangan industri di daerah terpencil pedesaan dan daerah nelayan, diharapkan akan tumbuh berbagai industri di pedesaan dengan komponen lokal relatif tinggi. Akibatnya, lapangan pekerjaan di daerah pedesaan makin tersedia sehingga daya beli masyarakat pedesaan dapat meningkat dan masyarakat desa tidak perlu lagi berbondong-bondong melakukan urbanisasi atau menjadi buruh kasar di luar negeri. Dengan demikian akan tercipta desa-desa mandiri yang dapat berfungsi seterusnya sebagai pemasok kebutuhan pokok masyarakat akan pangan sandang dan papan termasuk kebutuhan manusia akan obat-obatan alami serta energi terbarukan.

Selama ini teknologi energi terbarukan sulit berkembang karena tidak dikaitkan dengan jelas untuk tujuan-tujuan produktif berupa kegiatan peningkatan nilai tambah produk yang umumnya berasal dari sumber daya alam terutama dari sektor pertanian dan kelautan. Dengan mengaitkan kegiatan pengadaan dan penerapan teknologi energi terbarukan dengan kegiatan ekonomi biaya investasi akan dapat terbayarkan apabila pemerintah dapat memberikan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih operasional untuk desiminasi teknologi energi terbarukan. Pemerintah beberapa negara maju, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang, menutup sebagian biaya produksi energi terbarukan sehingga menjadi kompetitif seperti kebijakan feed-tariff atau insentif pajak untuk pembangkit listrik. Di ASEAN khususnya Thailand telah menerapkan sistem itu. Pemerintah membantu US$0,001-US$0,002 per kwh listrik yang dihasilkan dari sumber-sumber energi terbarukan. Kebijakan lain yang dapat diterapkan berkaitan dengan skim pendanaan adalah pemberian kredit dengan grace period cukup lama, umpama lima tahun sehingga pengusaha dengan sumber energi terbarukan dapat mengembalikan modalnya tepat waktu walaupun dengan tingkat suku bunga komersial.

Perumahan pedesaan

Umumnya desa-desa di pedalaman belum memanfaatkan potensi keindahan alam yang terhampar luas. Tata letak bangunan umumnya belum diatur dengan rapi. Fasilitas dasar seperti kebutuhan AC untuk kenyamanan hunian masih jauh dari pemikiran pemukim. Begitu pula penataan lanskap yang hijau, pohon-pohon yang tertata rapi serta bunga-bunga yang cemerlang memberikan suasana segar, indah, dan nyaman. Tentunya potensi itu nantinya merupakan aset nasional untuk program pariwisata baik domestik maupun luar negeri. Kalau untuk desa-desa yang sudah ada penataannya akan mengalami hambatan, mungkin pembentukan desa mandiri dapat dimulai dengan desa baru yang akan dihuni para pensiunan sebagai contoh awal. Para pensiunan umumnya mempunyai kondisi ekonomi yang lebih baik dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi sehingga apresiasi terhadap estetika pun lebih baik. Rumah-rumah tradisional setempat dapat dirancang ulang seperti rumah kayu kelapa dari Manado, rumah Melayu, atau rumah Bali agar selain lebih menarik dapat juga menyediakan fasilitas dasar agar wisatawan betah tinggal.