Kamis, 06 Oktober 2005

Masyarakat Perlu Pekerjaan Alternatif

Tanggal : 6 Oktober 2005
Sumber :
http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=2382&Itemid=80

RANAI-Pemanfaatan sumberdaya alam kelautan untuk kesejahteraan masyarakat telah banyak dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Namun permasalahan utama sekarang ini adalah pemanfaatan sumberdaya tersebut sering tidak diperhatikan dengan membiarkan dampak yang ditimbulkannya.

Hal ini disampaikan Edy Husni, Stp, Msi dari PT Pilar Nugraha Consultant yang merupakan tenaga ahli dalam rangka sosialisasi di lokasi Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) II Natuna (5/10) di Desa Tanjung.

Ia menjelaskan salah satu fokus utama program Coremap II memberikan penekanan pada upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Usaha ini tidak dapat dilakukan dengan cara parsial namun harus holistic dengan dukungan semua pihak sesuai dengana peran dan kompetensi lembaga atau institusi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Secara umum program coremap II ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang diantaranya dilakukan dengan pengembanagan infrastruktur dan fasilitas sosial yang ada di lokasi Coremap,"terang Edy Husni .

Pengembangan sarana dan prasarana tersebut menurut Edy diperlukan untuk mendukung keberhasilan program Coremap, yakni dengan melakukan pembangunan kebutuhan prasarana dasar, infra struktur dasar, ekonomi serta perlindungan dan rehabilitasi lingkungan.

Dalam kesempatan tersebut Husni juga mengatakan secara umum masyarakat pesisir mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat besar dengan sumberdaya perikanan dan kelautan termasuk ekosistem terumbu karang. Dan adapun upaya untuk memanfaatkan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan disinyalir merupakan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia.

Lebih lanjut dijelaskannya upaya-upaya terhadap pelarangan masyarakat untuk melakukan aktifitas penangkapan ikan harus diimbangi dengan sumber mata pencaraian baru. Oleh karena itu pengembangan mata pencaharian altenatif ini menjadi salah satu komponen yang penting dalam pelaksanaan program Coremap II.

“Pengembangan mata pencarian alternatif ini dilakukan dengan mempersiapkan sumber-sumber mata pencarian masyarakat dengan mengadakan pengembangan keterampilan masyarakat dalam mengelola usaha kecil dan pengembangan jaringan pemasaran yang lebih luas. Sehingga dengan berjlannya konsep tersebut masyarakat tidak merasa terbebani dengan peralihan mata pencaharian mereka,"jelas Husni.

Senin, 03 Oktober 2005

Nelayan Akan Alih Pekerjaan

Tanggal : 03 Oktober 2005

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/03/kot14.htm

KENDAL - Sejumlah nelayan di Desa Sendang Sikuncing dan Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kendal, berancang-ancang untuk alih pekerjaan.

Antara lain, sebagai buruh bangunan di perkotaan, kuli angkut, dan menjala ikan di sungai. Sementara itu, sebagian besar nelayan lainnya mengaku kebingungan akan mencari pekerjaan di darat.

Rencana alih pekerjaan itu muncul, lantaran mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi mampu diandalkan sebagai gantungan hidup mereka. Hal itu sebagai dampak membengkaknya biaya untuk melaut, menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya minyak tanah dan solar.

"Dengan naiknya harga solar yang mencapai dua kali lipat, serta naiknya harga minyak tanah hingga tiga kali lipat, bisa dipastikan ongkos untuk melaut ikut membengkak," ujar Zaedun (45), nelayan Dukuh Karanganyar RT 2 RW 10, Desa Gempolsewu, kemarin.

Kenaikan harga BBM yang akhirnya berdampak pada biaya melaut, lanjutnya, tidak diikuti dengan kenaikan harga ikan hasil tangkapan.

"Akibatnya, hampir pasti para nelayan akan rugi, karena biaya melaut lebih besar daripada hasil yang diperoleh," ujar bapak lima anak itu.

Kondisi tersebut semakin diperparah dengan perolehan ikan tangkapan yang tak menentu sejak beberapa tahun ini.

"Tangkapan ikan cenderung menyusut drastis. Di sisi lain, saya harus menghidupi keluarga. Karena pekerjaan sebagai buruh nelayan tak lagi bisa digantungkan, rencananya saya akan menjala ikan di sungai," kata buruh nelayan perahu jenis cantrang yang mengaku sebelum kenaikan BBM berpenghasilan Rp 5.000 - Rp 10.000/sekali melaut itu.

Ungkapan hampir senada dikatakan Giyono (25). Buruh nelayan perahu jenis ampera itu, mengaku sebelum kenaikan harga BBM sudah kesulitan memperoleh penghasilan Rp 7.500 sekali melaut.

"Setelah harga solar dan minyak tanah naik, saya tidak tahu nasib ke depan. Saat ini musim ikan tongkol, namun untuk mendapatkannya sangat sulit," ungkapnya.

Tak Melaut

Lantaran tidak berani ambil risiko, Giyono dan ribuan nelayan lain di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tawang Desa Gempolsewu, saat ini memilih tidak melaut.

"Untuk mencari pekerjaan lain, jelas saya tidak mempunyai keterampilan. Mungkin, rencananya nanti saya akan boro ke kota untuk menjadi buruh bangunan," ujar Giyono.

Berdasarkan pengamatan Suara Merdeka pascakenaikan solar dan minyak tanah, ribuan perahu nelayan yang beroperasi di sekitar TPI Tawang Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, kemarin tidak digunakan melaut.

Para nelayan di tempat itu, ketika ditemui mengaku kebingungan. Mereka tidak berani berspekulasi untuk melaut, dan lebih memilih menambatkan perahunya lantaran membengkaknya biaya operasional untuk melaut.

"Jika kondisi itu berlarut-larut, saya dan sebagian besar nelayan lain memilih tidak melaut. Bagaimana lagi, daripada melaut namun justru tidak memperoleh hasil," kata Syafi'i yang belum memiliki gambaran untuk bekerja di luar sebagai nelayan itu.

Berdasarkan keterangan, perahu-perahu yang beroperasi di TPI Tawang dibagi menjadi limapurseseine, mini unyil, cantrang (empat jenis perahu ini menggunakan bahan bakar solar-Red), dan sopek. jenis, yaitu perahu ampera, mini

Adapun perahu jenis sopek, sejak kenaikan harga BBM tahun lalu, telah menggunakan bahan bakar minyak tanah untuk mesin dieselnya.

"Saat harga minyak tanah Rp 700/liter atau di sini dijual Rp 1.300/liter, para nelayan menggunakannya sebagai bahan bakar mesin tempel perahu sopek. Pada saat itu, nelayan sudah tidak mampu membeli solar yang harganya Rp 2.700/liter," terang Pujiharto, Sekdes Gempolsewu.

Solar hanya dikonsumsi perahu besar, lanjut dia, atau perahu yang mempunyai daya tempuh melaut lebih jauh. Yaitu mini purseseine, ampera, mini unyil, dan cantrang.

"Jumlah warga di Desa Gempolsewu 12.000 jiwa, dan sekitar 8.000 di antaranya bermata pencaharian sebagai nelayan. Dengan kondisi itu, ribuan nelayan terancam kehilangan pekerjaan," ujarnya.(G15-37)