Tanggal : 03 Oktober 2005
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/03/kot14.htm
KENDAL - Sejumlah nelayan di Desa Sendang Sikuncing dan Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kendal, berancang-ancang untuk alih pekerjaan.
Antara lain, sebagai buruh bangunan di perkotaan, kuli angkut, dan menjala ikan di sungai. Sementara itu, sebagian besar nelayan lainnya mengaku kebingungan akan mencari pekerjaan di darat.
Rencana alih pekerjaan itu muncul, lantaran mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi mampu diandalkan sebagai gantungan hidup mereka. Hal itu sebagai dampak membengkaknya biaya untuk melaut, menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya minyak tanah dan solar.
"Dengan naiknya harga solar yang mencapai dua kali lipat, serta naiknya harga minyak tanah hingga tiga kali lipat, bisa dipastikan ongkos untuk melaut ikut membengkak," ujar Zaedun (45), nelayan Dukuh Karanganyar RT 2 RW 10, Desa Gempolsewu, kemarin.
Kenaikan harga BBM yang akhirnya berdampak pada biaya melaut, lanjutnya, tidak diikuti dengan kenaikan harga ikan hasil tangkapan.
"Akibatnya, hampir pasti para nelayan akan rugi, karena biaya melaut lebih besar daripada hasil yang diperoleh," ujar bapak
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan perolehan ikan tangkapan yang tak menentu sejak beberapa tahun ini.
"Tangkapan ikan cenderung menyusut drastis. Di sisi lain, saya harus menghidupi keluarga. Karena pekerjaan sebagai buruh nelayan tak lagi bisa digantungkan, rencananya saya akan menjala ikan di sungai," kata buruh nelayan perahu jenis cantrang yang mengaku sebelum kenaikan BBM berpenghasilan Rp 5.000 - Rp 10.000/sekali melaut itu.
Ungkapan hampir senada dikatakan Giyono (25). Buruh nelayan perahu jenis ampera itu, mengaku sebelum kenaikan harga BBM sudah kesulitan memperoleh penghasilan Rp 7.500 sekali melaut.
"Setelah harga solar dan minyak tanah naik, saya tidak tahu nasib ke depan. Saat ini musim ikan tongkol, namun untuk mendapatkannya sangat sulit," ungkapnya.
Tak Melaut
Lantaran tidak berani ambil risiko, Giyono dan ribuan nelayan lain di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tawang Desa Gempolsewu, saat ini memilih tidak melaut.
"Untuk mencari pekerjaan lain, jelas saya tidak mempunyai keterampilan. Mungkin, rencananya nanti saya akan boro ke
Berdasarkan pengamatan Suara Merdeka pascakenaikan solar dan minyak tanah, ribuan perahu nelayan yang beroperasi di sekitar TPI Tawang Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, kemarin tidak digunakan melaut.
"Jika kondisi itu berlarut-larut, saya dan sebagian besar nelayan lain memilih tidak melaut. Bagaimana lagi, daripada melaut namun justru tidak memperoleh hasil," kata Syafi'i yang belum memiliki gambaran untuk bekerja di luar sebagai nelayan itu.
Berdasarkan keterangan, perahu-perahu yang beroperasi di TPI Tawang dibagi menjadi
Adapun perahu jenis sopek, sejak kenaikan harga BBM tahun lalu, telah menggunakan bahan bakar minyak tanah untuk mesin dieselnya.
"Saat harga minyak tanah Rp 700/liter atau di sini dijual Rp 1.300/liter, para nelayan menggunakannya sebagai bahan bakar mesin tempel perahu sopek. Pada saat itu, nelayan sudah tidak mampu membeli solar yang harganya Rp 2.700/liter," terang Pujiharto, Sekdes Gempolsewu.
Solar hanya dikonsumsi perahu besar, lanjut dia, atau perahu yang mempunyai daya tempuh melaut lebih jauh. Yaitu mini purseseine, ampera, mini unyil, dan cantrang.
"Jumlah warga di Desa Gempolsewu 12.000 jiwa, dan sekitar 8.000 di antaranya bermata pencaharian sebagai nelayan. Dengan kondisi itu, ribuan nelayan terancam kehilangan pekerjaan," ujarnya.(G15-37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar