Selasa, 25 Maret 2008

STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR NUSA PENIDA

Sumber : http://www.baliprov.go.id/tabloid/index.php?ed=1&th=07&id=7
Oleh: I Made Sudiarkajaya, S.IP., MM.
(Ka. Sub Bid. Litbang Bappeda Kab. Klungkung)

Pendahuluan

Nusa Penida merupakan salah satu kecamatan kepulauan di Bali yang secara geografis terletak di wilayah Kabupaten Klungkung yang terdiri dari 3 (tiga) pulau yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan. Sebagai kecamatan kepulauan, Nusa Penida dengan panjang garis pantai 104 Km berpasir putih, laut sekitarnya yang sangat jernih dengan berbagai jenis ikan warna-warni serta terumbu karang yang indah. Jumlah penduduk 46.749 jiwa (8.543 KK) terdiri dari 16 desa dinas dan 24 desa adat. Secara umum kondisi topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit. Desa-desa pesisir sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0-3 % dari ketinggian lahan 0-268 m. dpl. Semakin keselatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang. Mata pencaharian utama penduduk adalah pada sector pertanian, perkebunan, peternakan (dengan produk unggulan sapi Bali) dan perikanan (dengan produk unggulan budi daya rumput laut). Kehidupan sehari-hari masyarakat masih kental diwarnai dengan adat dan tradisi lokal. Pulau Nusa Penida bisa ditempuh melalui Sanur dengan menumpang perahu yang ditempuh selama + 1,5 jam perjalanan, melalui Kusamba dengan menumpang jukung/perahu + 1jam, melalui Padang Bai dengan menumpang speed boat ditempuh + 1jam. Setiap harinya pulau ini disinggahi kapal pesiar dari Pelabuhan Benoa, seperti Quicksilver tujuan Pantai Toyopakeh, Balihay/Wakalouka/Aristoket tujuan Pantai Lembongan dan Jungut Batu, Bounty dengan tujuan Pantai Toyapakeh, menempuh perjalanan selama + 1jam.


Empowerment versus Planning Wilayah Pesisir (Coastal Zone)

Pulau Nusa Penida sebagai wilayah pesisir (Coastal Zone) merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik serta problema yang unik dan kompleks. Kompleksitas di wilayah pesisir ini ditandai pula dengan keberadaan berbagai pengguna serta berbagai entitas pengelola wilayah pesisir yang mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Nusa Penida. Dengan memahami karakteristik wilayah pesisir yang sarat dan rentan dengan problema yang unik serta kompleks, maka strategi pengembangan kawasan pesisir Nusa Penida harus mengikuti model perencanaan pengembangan kawasan terkini yang selalu berorientasi pada perencanaan berbasis masyarakat. Tetapi, bagaimana peran masyarakat itu diterjemahklan selalu menjadi persoalan yang sangat rumit. Masyarakat lokal sebagai penghuni kawasan pesisir memang sangat unik. Introduksi model-model perencanaan harus dilaksanakan secara hati-hati.

Untuk itu perlu diperhatikan tiga tingkatan peran masyarakat yaitu:

  1. Peran Filosofis
  2. Peran Konseptual
  3. Peran Teknis

Pada kebanyakan model perencanaan yang mengusung perencanaan partisipatif, peran-peran tersebut telah dimanipulasi dan diisolasi hanya pada tingkatan yang ketiga saja yaitu pada peran teknis. Coba kita pahami ketiga tingkatan peran masyarakat tersebut:

  1. Peran Filosofis
    Pada tingkatan ini, pengakuan dan penghormatan terhadap cara pandang masyarakat local terhadap ruang kelautan harus dilakukan dalam rangka perumusan konsep-konsep perencanaan yang kelak akan merubah tatanan dan wajah fisik tata ruang dimana saat ini mereka hidup. Perubahan-perubahan fisik hendaknya tidak berubah apalagi mencabut akar makna ruang kelautan bagi masyarakat local kawasan pesisir. Cara pandang mistisisme dan naturalisme hendaknya tidak dinegasi atau ditenggelamkan atas nama cara pandang fungsionalisme yang sangat rentan pada intervensi atau pemaksaan cara pandang eksternal terhadap cara pandang masyarakat local. Sering terjadi manipulasi atau pembelokan kepentingan-kepentingan luar atas nama kepentingan masyarakat lokal.
  2. Peran Konseptual
    Pada tingkatan ini para planner yang diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat local kawasan pesisir harus mampu membaca dan mengkonstruksikan konsep-konsep hubungan antar kelompok (kluster) masyarakat, kepentingan-kepentingan, tabu-tabu dan keberatan-keberatan, serta seting naturalis hubungan antar penghuni lokal dengan ruang natularnya. Dalam konteks dan tingkatan ini konsep-konsep perencanaan yang muncul harus mengarah pada misi untuk menganyam dan memperkuat jaringan-jaringan kluster system nilai (sosial, ekonomi, budaya dan keruangan) yang telah hidup dan eksis dalam waktu yang panjang. Konsep-konsep perencanaan hendaknya tidak membuat perubahan ruang kelautan menjadi asing bagi masyarakat local penghuni kawasan pesisisr.
  3. Peran Teknis
    Peran teknis yang dimaksud adalah peran kasat mata masyarakat local dalam proses pembuatan rencana pembangunan kawasan pesisir dimana mereka hidup. Peran ini sangat penting dalam rangka mengajak masyarakat local dapat mengetahui, merasakan dan membayangkan perubahan-perubahan ruang hidupnya di masa mendatang.

    Pemanfaatan dan peruntukan kawasan peisisr Kecamatan Nusa Penida saat ini hanya sebatas untuk Kawasan Pariwisata, berdasarkan Peraturan daerah Provinsi bali Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi bali ditetapkan nama-nama Kawasan Pariwisata serta Obyek dan daya Tarik Wisata Khusus (ODTWK) di Provinsi Bali, yang mana kawasan pariwisata Kabupaten Klungkung ditetapkan 7 (tujuh) kawasan pariwisata yang semuanya terdapat di Kepulauan Nusa Penida yaitu meliputi : Desa Suana, Batununggal, Ped, Toyapakeh, Sakti, Lembongan dan Desa Jungutbatu. Dari 7 (tujuh) desa yang ditetapkan sebagai kawasan pariwisata tersebut, hanya 1 (satu) desa sebagai kawasan pariwisata yang bukan kawasan pesisir yaitu Desa Sakti.

    Untuk meminimize permasalahan yang muncul akibat Pemanfaatan dan peruntukan kawasan pesisir yang tidak berpihak pada kepentingan dan empowerment masyarakat local, maka pentingnya sikap dan tindakan yang diperlukan bagi actor dalam kegiatan management sumber daya alam dan lingkungan yang terintergrasi (Born dan Margerum, 1995). Born dan Margerum menekankan diperlukannya tiga pendekatan pokok dalam proses pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang terintegrasi, yaitu inclusiveness, interaction dan strategic. Inclusiveness, merupakan pendekatan proses perencanaan dan pengelolaan yang berpandangan secara menyeluruh dan luas yang melihat fungsi, peran dan tindakan serta kaitan antar factor-faktor internal pokok (di dalam wilayah pesisir), maupun keterkaitan antara faktor internal dengan faktor eksternal di dalam ekosistem yang lebih luas di luar wilayah kendali (kontrol) pengelolaan. Walupun demikian, pendekatan ini tidak mensyaratkan untuk memasukkan seluruh faktor perencanaan, namun lebih dibatasi pada faktor pokok/kunci yang terkait.

    Disamping itu perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi, mensyaratkan adanya interaksi yang terus menerus diantara berbagai stakeholders (aktor-aktor yang dapat mempengaruhi proses maupun hasil perencanaan/pengelolaan secara berarti) di dalam proses pengelolaan. Interaksi tersebut dilakukan melalui proses pertukaran informasi, konsultasi, maupun negosiasi dan tawar menawar. Untuk dapat mencapai proses negosiasi serta tawar menawar pihak-pihak yang saling berselisih (konflik) harus mempunyai kekuatan politik (political power dan support) yang secara relatif berimbang. Oleh karenanya, secara implisit pendekatan yang secara interaktif ini menyarankan proses pemberdayaan bagi golongan-golongan marginal yang dapat dengan mudah tergusur dari wilayah pesisir oleh rekyasa pihak-pihak yang mempunyai kekuatan yang lebih besar.

    Pendekatan yang bersifat strategic di dalam perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi menekankan pada 2 (dua) hal pokok yaitu:

  4. Secepatnya mengarah atau berfokus pada isu-isu pokok atau kunci
  5. Berorientasi pada program-program aksi.

Secara tidak langsung, pendekatan ini menekankan pada proses reduksi (reduction process) yang tertuju pada isu-isu kunci dan tidak secara panjang lebar membahas isu dan masalah bukan pokok. Pendekatan strategic mengarah pada program-program aksi, artinya proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir (coastal zone) haruslah berorientasi pada pelaksanaan (implementasi). Patton (1985), mengungkapkan bahwa perencanaan yang berorientasi pada implementasi adalah merupakan suatu proses perencanaan dimana setiap pada tahapnya selalu mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dapat atau tidaknya usulan-usulan yang disajikan untuk dapat dilaksanakan berdasar kondisi teknis, ekonomis, sosial, fisik lingkungan, administratif dan politik yang melingkupinya.


Implementasi Akibat Karakteristik Wilayah Pesisir (Coastal Zone)

Seperti yang telah diuraikan, secara ekologi bahwa wilayah pesisir (coastal zone) atau kawasan pesisir laut, sebagai entitas kawasan mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan daratan. Perbedaan tersebut mulai dari karakter fisikal-natural, karakter pemanfaatan sampai ke cara pandang dari pengguna. Perbedaan tersebut muncul karena kawasan ini merupakan interface dari sua sistem kehidupan yang berbeda, oleh karenanya secara ekologis kawasan ini sangat rentan terhadap perubahan.

Perubahan yang menonjol pada komponen dan rantai interaksi utama ekosistem pantai, terutama diakibatkan oleh proses pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam pantai, yang dapat mengakibatkan terganggunya proses dan integritas ekosistem. Di kawasan ekologi tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar yaitu:

  1. Potensi terbarukan (renewable), seperti hutan mangrove, coral reef, sea grass. Algae, bioactive substances
  2. Potensi tak terbarukan (non renewable), seperti bahan mineral (kelas A, B dan kelas C)
  3. Jasa lingkungan (environmental services), seperti industri maritime, pariwisata.

Karena banyaknya pengguna (multiple resources users), cara pandang kawasan pesisir laut juga berbeda-beda. Sebagai akibat dari karakteristik yang rentan, selalu berubah dipadukan dengan cara pandang seperti tersebut diatas, maka adalah sangat wajar kalau dari tahun ke tahun kawasan ini ekosistemnya semakin rusak. Hal tersebut juga disebabkan oleh miss use dan over use yang mencakup over laping berbagai kepentingan dari aktor/institusi pengguna sumber daya kawasan pesisir laut. Seperti kawasan pesisir Pulau Lembongan untuk kawasan pariwisata yang telah berkembang pesat terjadi konflik kepentingan antara nelayan lokal dengan penyedia pariwisata. Karena banyaknya aktor maka berakibat terhadap munculnya multiple management entities, yang akan diikuti oleh fregmentasi di dalam pengambilan keputusan. Di dalam khasanah administrasi publik, situasi tersebut akan menimbulkan tidak efektif dan tidak efisiennya pengelolaan wilayah pesisir (coastal zone).

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pengembangan pariwisata/wisata bahari seyogyanya berbasis masyarakat, sehingga mampu mengurangi kemiskinan dan diharapkan bahwa pengembangan wisata bahari di Nusa Penida akan dapat merupakan strata penopang ekonomi masyarakat Nusa Penida yang biasanya masyarakat sebagai “stakeholders” diharapkan dapat menjadi “shareholders”. Sebagaimana diketahui masyarakat Nusa Penida memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Kabupaten Klungkung. Berdasarkan data kantor Kesatuan Bangsa dan Pemberdayaan Masyarakat dan Kantor Keluarga Berencana Kabupaten Klungkung tahun 2004 dari 9.494 jiwa penduduk miskin di Kabupaten Klungkung, 3.469 jiwa terdapat di Nusa Penida. Disamping itu sekaligus melakukan konservasi lingkungan, sebagai wadah dari segala sesuatu kehidupan dan karunia Tuhan. Namun sebagai manusia yang mengandalkan perjuangan sebagai pola kelanjutan mempertahankan hidup maka apabila pola mempertahanklan hidup ini tidak disertai dengan tata krama yang benar, maka lingkungan dan keseimbangan ekosistem akan menjadi target dan dampak dari aktifitas pertahanan hidup masyarakat. Dalam hal ini keadaan ekonomi masyarakat mempunyai peran yang sangat penting. Secara umum pola kehidupan masyarakat pesisir kurang peduli terhadap lingkungan, yang sangat ironis adalah bahwa mereka sebenarnya dihidupkan oleh lingkungan yang mereka tempati termasuk laut yang mereka arungi. Dalam strategi ini dituntut kemitraan dan partisipasi masyarakat sejak dini.

Senin, 24 Maret 2008

Program Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP)

Sumber : http://www.bappenas.go.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=27

Pemerintah dalam hal ini Bappenas akan melaksanakan program Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP) sebagai program percontohan di 6 propinsi yaitu propinsi Sumatra Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Banten, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Program MFCDP ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengatasi akar permasalahan penyebab kemiskinan.


Program Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP)
Kerjasama antara Bappenas dan World Bank

Latar Belakang
Sebagai respon terhadap permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat di kawasan pesisir, pemerintah dalam hal ini Bappenas akan melaksanakan program Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP) sebagai program percontohan di 6 (enam) propinsi yang terdiri dari Propinsi Sumatra Utara (di Kabupaten Tapanuli Tengah), Propinsi Nusa Tenggara Barat (di Kabupaten Dompu), Propinsi Sulawesi Utara (di Kabupaten Kepulauan Sangihe), Propinsi Banten (di Kabupaten Serang), Propinsi Sulawesi Selatan (di Kabupaten Bantaeng) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (di Kabupaten Muna). Program MFCDP ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengatasi akar permasalahan penyebab kemiskinan.
Lahirnya program MFCDP selain didasari atas persoalan kemiskinan juga didasari atas isu-isu strategis tentang pengelolaan kawasan pesisir, seperti eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan daya produksi alam, terbatasnya sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik, rendahnya penggunaan teknologi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya posisi tawar nelayan kecil, ketergantungan kepada pasar dan kurang berperannya nelayan kecil dalam kelembagaan masyarakat desa serta tumpang tindihnya kebijakan yang mengatur kehidupan masyarakat pesisir dan perikanan.
Selain isu dan persoalan diatas, lahirnya program MFCDP juga didasari atas keberhasilan program kemiskinan sebelumnya yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PPK merupakan program pengentasan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan, merupakan tindak lanjut dari program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Program IDT menekankan pada tiga komponen utama yaitu penyediaan dana bergulir sebagai modal usaha ekonomi produktif, penyediaan tenaga pendamping dan pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal. Selain menekankan tiga komponen utama tersebut, program PPK juga menekankan pada model pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (Community Driven Development).
Pelaksanaan program PPK meskipun sudah menyentuh masyarakat pesisir, namun baru sebagian kecil masyarakat pesisir yang dapat memanfaatkannya. Sebagai pengembangan dan tindak lanjut program PPK, Bappenas melaksanakan program MFCDP. Sumber dana berasal dari hibah Japan Social Development Fund (JSDF) No. TF. 026799, dengan nilai sebesar Rp. 1.133.000.000,- ( satu milyar seratus tiga puluh tiga juta rupiah) per kabupaten.

Program MFCDP
Inti dari pelaksanaan program MFCDP ini adalah pemberian Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada nelayan kecil yang hidupnya tergantung dengan sumberdaya pesisir serta mempunyai usaha potensial untuk dikembangkan. Bantuan tersebut akan diperuntukkan untuk pembangunan sarana prasarana sosial ekonomi dan teknologi untuk usaha nelayan, yang peruntukkannya didasarkan atas kebutuhan masyarakat setempat yang disepakati secara musyawarah dan mufakat dan dituangkan di dalam dokumen RPP dan RPKP.
Keberpihakan kepada nelayan kecil, partisipatif, desentralisasi keterpaduan, karaktersitik lokal dan keberlanjutan merupakan pendekatan yang akan dipergunakan didalam pelaksanaan Program MFCDP. Prinsip pelaksanaan kegiatan adalah good governance meliputi transparancy dan accountable.

Tujuan
Secara umum tujuan Program MFCDP adalah untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengelola sumberdaya perikanan yang lebih baik melalui upaya pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

Hasil yang diharapkan
Hasil atau output yang diharapkan dari program ini adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berbasis kesepakatan antara pengguna sumberdaya pesisir dan laut yang dituangkan dalam dokumen RPP (Rencana Pengembangan Perikanan) dan RPKP (Rencana Pengembangan Kawasan Pesisir) , terwujudnya sarana dan prasarana sosial ekonomi sebagai pendukung usaha nelayan, terwujudnya pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan, terwujudnya jaringan akses pasar bagi nelayan, meningkatnya kemampuan nelayan dalam melakukan usaha serta terwujudnya dan berkembangnya kebijakan baru tentang pengelolaan kawasan dan sumberdaya pesisir berdasarkan partisipasi masyarakat lokal.

Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari program MFCDP ini antara lain nelayan kecil dapat mengelola usaha secara mandiri dan berkelanjutan, nelayan merasakan kemudahan dan kelancaran dalam melaksanakan kegiatan usaha, pendapatan usaha nelayan kecil meningkat, kualitas hasil usaha menjadi lebih baik dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, mengurangi resiko nelayan dalam memasarkan hasil usahanya dan dapat memenuhi permintaan pasar, nelayan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga siap bersaing dengan pihak lain dan mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam melaksanakan dan mengembangkan usaha secara berkelanjutan.

Pelaksanaan Kegiatan
Beberapa kegiatan Program MFCDP akan dilaksanakan di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Kegiatan di tingkat pusat akan dilaksanakan oleh Sekretariat Program MFCDP yang didukung oleh Konsultan Manajemen ingkat Pusat atau National Management Consultant (NMC), Sedangkan pelaksanaan kegiatan di daerah akan dilaksanakan oleh Lembaga Fasilitator Kabupaten (LF-Kab) di masing-masing daerah. Didalam pelaksanaanya, LF-Kab akan berkoordinasi secara rutin dengan NMC.
Kegiatan di tingkat Pusat terdiri dari Workshop dan Sosialisasi Nasional, TOT bagi fasilitator tingkat kabupaten dan kawasan, supervisi daerah, penyusunan studi kasus, penyusunan buku best practices, verifikasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), monitoring dan evaluasi dan penyusunan laporan khusus tentang terjadinya kecurangan dan penyelewengan dana program. Di dalam implementasi kegiatan, NMC akan selalu berkoordinasi dengan sekretariat program dan Kelompok Kerja (Pokja) Nasional, yang telah dibentuk oleh Bappenas. Anggota Pokja Nasional terdiri dari para birokrat dari Kantor Menteri PPN/ Bappenas dan departemen terkait (Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri) dengan total anggota 19 orang yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana.
Sedangkan kegiatan yang akan dilaksanakan di tingkat daerah adalah sosialisasi daerah, melaksanakan studi (jaringan pasar, teknologi dan kebijakan), penyusunan dokumen RPP dan RPKP yang merupakan dokumen pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, pelatihan bagi fasilitator daerah, pelatihan bagi kelompok sasaran, penyaluran BLM dan lokakarya evaluasi. Di dalam implementasi kegiatan, LF-Kab selain akan berkoordinasi rutin dengan Pokja Daerah yang ditunjuk oleh Bupati yang terdiri dari beberapa dinas terkait juga akan berkoordinasi dengan lembaga lokal yang telah dibentuk oleh Program PPK yaitu Penanggung jawab Administrasi Kegiatan (PjAK), Penanggung jawab Operasional Kegiatan (PjOK) dan Unit Pengelola Kegiatan (UPK). Ketiga lembaga tersebut akan melakukan fungsi dan tugasnya sebagai pengelola dan penyalur BLM yang diperuntukkan untuk pembangunan sarana dan prasarana sosial ekonomi dan teknologi untuk nelayan.

Penutup
Dengan dilaksanakannya kegiatan Sosialisasi Nasional Program MFCDP ini, sebagai salah satu bentuk transparansi pemerintah di dalam melaksanakan sebuah program yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan. Diharapkan dengan dipublikasikannya program ini, masyarakat dan stakeholder terkait baik di tingkat Pusat maupun Daerah akan membantu mensukseskan program ini sekaligus akan memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program dari tahap awal sampai tahap akhir.
Program ini sebagai bukti bahwa pemerintah masih peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan negara, khususnya permasalahan kemiskinan di kawasan pesisir. Program MFCDP memang bukan program pertama pemerintah dan tidak akan mampu menyelesaikan secara utuh problem kemiskinan yang sedang kita dihadapi. Untuk itu marilah kita bersama-sama membantu pemerintah dengan menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia, agar permasalahan kemiskinan dapat segera diatasi bersama. Permasalahan tersebut bukan tugas pemerintah pusat saja, tetapi juga merupakan tugas pemerintah daerah, swasta, pihak perbankan, lembaga-lembaga ekonomi dan sosial kemasyarakatan serta masyarakat itu sendiri.

Ecological Assesment Of Banda

Sumber : http://www.terangi.or.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=1


UNESCO bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kedutaan Belanda, dan beberapa institusi di Indonesia, telah mengadakan survei ekologi sumber alam Kepulauan Banda. Tujuan utama dari analisa ini adalah untuk mengumpulkan daftar yang lengkap dari komunitas karang dan ekosistem pesisir lainnya di Kepulauan Banda.

UNESCO bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kedutaan Belanda, dan beberapa institusi di Indonesia, telah mengadakan survei ekologi sumber alam Kepulauan Banda. Tujuan utama dari analisa ini adalah untuk mengumpulkan daftar yang lengkap dari komunitas karang dan ekosistem pesisir lainnya di Kepulauan Banda. Hasil ini juga akan memberikan sumbangan untuk:

  • Meningkatkan pengertian ilmiah dari proses alam, budaya, dan sosial, yang melibatkan interaksi manusia dengan lingkungan pesisir
  • Memberikan informasi untuk pengambilan keputusan di tingkat propinsi dan daerah mengenai penggunaan sumber daya pesisir.
  • Membangun rangka kerja untuk perlindungan dan pembangunan yang berkesinambungan
  • Mengidentifikasi pendapatan alternatif untuk mengurangi dampak dari kegiatan penduduk setempat pada komunitas pesisir
  • Menguatkan kerjasama rangka kerja regional

Studi yang dilakukan bertujuan untuk memperlihatkan pentingnya analisa ekologi sebagai alat dalam merencanakan zona pesisir. Data yang terkumpul akan menjadi dasar yang signifikan bagi perumusan masa depan Rencana Pengelolaan Pesisir Terpadu Kepulauan Banda. UNESCO bekerja sama dengan Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) telah mulai mengerjakan kumpulan data sekunder yang meliputi topik-topik sebagai berikut:

  • Geografi Fisik
  • Ekosistem Pesisir dan Lautan
  • Taksa Hewan Laut yang utama
  • Habitat daratan
  • Keanekaragaman Hayati dan Biogeografi
  • Manusia dan Lingkungan Laut
  • Sasi - pengelolaan sumberdaya tradisional
  • Konservasi sumberdaya kelautan

PROGRAM PEMBINAAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR

Sumber : http://www.malangkab.go.id/dinaskelautan/index.cfm?id=Pesisir.html

Wilayah Kabupaten Malang memiliki 6 Kecamatan Pantai, yaitu Donomulyo, Bantur, Gedangan, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo dan Ampelgading yang mempunyai arti strategis dengan potensi sumberdaya alam dan jasa linkungan yang terkandung di dalamnya. Dengan panjang garis pantai Kabupatren Malang 85,92 km atau menempati urutan ke-3 di Jawa Timur, ditambah luas perairan laut yang menempati ranking ke- 3 setelah Kabupaten Banyuwangi dan Jember, seharusnya masyarakat pesisir Kabupaten Malang merupakan masyarakat yang dapat mengoptimalkan potensi diatas dan menjadi sejahtera karenanya. Namun pada kenyataannya hingga saat ini sebagian besar masyarakat pesisir, terutama nelayan masih merupakan bagian masyarakat tertinggal dibanding kelompok masyarakat lain.

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir di Kabupaten Malang telah dilakukan melalui berbagai bidang kegiatan baik yang bersifat konstruktrif maupun pembinaan SDM secara keseluruhan sesuai skala prioritas Pembangunan Kelautan dan Pesisir di Kabupaten Malang .

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan pengembangan usaha mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir dan memantapkan potensi kinerja dan usaha dari lembaga keuangan pesisir, Seksi Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir melaksanakan Kegiatan Pembinaan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan diskripsi sebagai berikut :

  • Pembinaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir sebanyak 4 kali. 2 kali dilaksanakan di Desa Pujiharjo Kecamatan Tirtoyudo masing-masing diikuti 55 orang dan 50 orang, 1 kali di Desa Purwodadi Kecamatan Tirtoyudo diikuti 60 orang dan 1 kali di Desa Tambakrejo Kecamatan Sumbermanjing Wetan diikuti 40 orang peserta.
  • Pendampingan Peningkatan Kinerja Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir yang dilaksanakan oleh Konsultan dari Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) Universitas Negeri Malang pada Koperasi “MINA BAHARI” Desa Pujiharjo Kecamatan Tirtoyudo dan LEPP-M3 “MALANG SELATAN JAYA” Desa Tambakrejo Kecamatan Sumbermanjing Wetan.

KENDALA

  • Masih terbatasnya frekwensi pembinaan dan sosialisasi dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan maupun pembinaan lain yaqng sifatnya terintegrasi antar instansi terkait.
  • Pengetahuan dan kemampuan masyarakat pesisir untuk menyerap / memahami materi pembinaan masih jauh dari harapan.
  • Sulitnya melaksanakan kegiatan tepat waktu karena pencairan dana tidak sesuai dengan rencana pengajuan pencairan.
  • Belum tampaknya partisipasi masyarakat pesisir dalam pelaksanaan kegiatan kelembagaan ekonomi dilokasi sasaran.
  • Belum adanya Tata Ruang pembangunan wilayah pesisir.

SOLUSI

  • Melaksanakan pembinaan secara kontinyu dan stimulan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir sehingga diharapkan menghasilkan perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam pengelolaan wilayah pesisir.
  • Adanya pelatihan teknis berkelanjutan tentang pengembangan usaha bagi masyarakat pesisir dengan harapan terdapat perubahan tingkat produktivitas dan pendapatan.
  • Perlu adanya kegiatan pendampingan untuk peningkatan kinerja lembaga keuangan pesisir dalam rangka membuka wawasan kelembagaan, manajerial organisasi dan keuangan serta perluasan unit usaha di lembaga tersebut yang tidak cukup dilaksanakan satu kali, mengingat tingkat SDM pesisir masih relatif perlu diberdayakan.
  • Diperlukan keselarasan waktu antara jadwal pelaksanaan kegiatan dan pencairan dana agar tercapai efektif, efisien kinerja pada pelaksana dan pelaksanaan kegiatan Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang.

Rumput Laut Pengganti Bom Ikan

Sumber : http://www.balebengong.net/2008/01/11/rumput-laut-pengganti-bom-ikan/

Keakraban Daeng Hayak (71 tahun) dengan bom ikan dan potasium, kini tinggal sejarah. Padahal, keseharian Daeng di masa lalu tak pernah lepas dari bom ikan dan potas. Pria keturunan bugis yang lahir dan besar di Desa Sumberkima Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali itu, dulunya termasuk salah satu nelayan pencari ikan dengan bom. Meski ia mengaku punya alasan untuk itu. ”Sebab saya dulu nggak tahu harus bekerja apa lagi. Sementara anak-anak harus makan dan tetap sekolah,” kenang ayah dari 10 anak itu.

Beda dulu, beda sekarang. ”Sekarang saya tahu kalau itu (bom ikan,red) merusak,” ujarnya. Daeng Hayak kini memang sudah tidak lagi menggantungkan hidupnya dari mengebom ikan. Ia kini menggantungkan hidup pada budidaya rumput laut, usaha yang kini juga diikuti oleh sekitar 180 orang nelayan lain di pesisir Gerokgak, Buleleng, Bali.

Budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian baru yang memberi keuntungan ekonomis bagi para nelayan Gerokgak. Setidaknya, keuntungan itulah yang dirasakan Daeng Hayak, sejak merintis budidaya rumput laut tersebut tahun 2005 lalu. ”Baru beberapa bulan saya tanam rumput laut, saya sudah bisa jual enam juta rupiah. Jauh lebih untung dibandingkan cari ikan pakai bom,” terang Daeng Hayak. Sejak tahun 2005 itu pula, banyak nelayan pencari ikan dengan bom dan potas di wilayah Gerokgak yang beralih ke budidaya rumput laut.

Naiknya popularitas rumput laut di kalangan nelayan sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) itu, tak cuma memberi harapan ekonomis yang tinggi bagi masyarakat pesisir Bali Barat. Setidaknya, ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di wilayah TNBB juga telah berkurang. Berdasarkan catatan WWF-Indonesia, tutupan karang yang tersisa dalam kondisi baik pada 1998 hanya sekitar 25 persen. Hal tersebut diduga karena banyaknya aktivitas pengeboman ikan. Padahal, TNBB merupakan bank bagi semua spesies hewan dan tanaman laut Bali.

Kegiatan budidaya rumput laut mulai digiatkan di kawasan Bali barat sejak Agustus 2003 oleh masyarakat bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) dan WWF-Indonesia. FKMPP merupakan forum yang terbentuk pada 2002 sebagai respon atas banyaknya bentrokan-bentrokan kepentingan antara nelayan, masyarakat, industri pariwisata, dan kegiatan pelestarian lingkungan TNBB. “Kegiatan ini dipilih sebagai mata pencaharian alternatif yang tidak membahayakan kawasan TNBB setelah melalui proses pengkajian yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat,” jelas Misnawiyanto, Ketua FKMPP.

Lahan seluas 40 Ha di perairan Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan, kini telah ditutupi budidaya rumput laut. Panen yang dihasilkan pun lumayan, mencapai 12 ton per bulan. Potensi budidaya rumput laut di kawasan luar TNBB itu pun masih terbuka lebar. Berdasarkan perhitungan, potensi lahan budidaya rumput laut di sekitar kawasan TNBB bisa mencapai sekitar 298 Ha, dengan potensi menghasilkan rumput laut kering sebesar 500-750 ton setiap panen.

Menurut aktivis lingkungan yang juga pengamat terumbu karang, Putu Iwan Dewantama, alih mata pencaharian masyarakat dari nelayan pengebom ikan menjadi petani rumput laut telah terbukti mampu mengembalikan kelestarian ekosistem bawah laut perairan Gerokgak. Dikatakan Iwan, hasil riset terakhir mencatat bahwa tutupan karang di perairan Gerokgak sudah meningkat menjadi 40 persen. Sebagai upaya membantu pelestarian terumbu karang, para nelayan juga telah sepakat tidak menggunakan patok untuk menanam terumbu karang. ”Para nelayan sepakat untuk menanam rumput laut dengan sistem apung. Mereka benar-benar telah sepakat untuk menjaga kelestarian lingkungannya,” cerita Iwan.

Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau

Sumber : http://www.coremap.or.id/print/article.php?id=466

RISET AGENDA 2005

Strategi Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Pulau Galang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau

Kota Batam sebagai salah satu wilayah Provinsi Kepulauan Riau merupakan sentra produksi dan sekaligus merupakan sentra pemasaran hasil perikanan. Salah satu kelurahan penyumbang komoditas perikanan terbesar di Kota Batam adalah Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang.

Ketergantungan masyarakat Kelurahan Pulau Abang terhadap sumberdaya perikanan sangat besar karena diperkirakan sekitar 93,65 % penduduknya bekerja sebagai nelayan, sedangkan disisi lain ada gejala hasil tangkapan nelayan cendrung menurun yang diduga kuat berdampak pada penurunan tingkat pendapatannya. Penurunan hasil tangkapan nelayan tersebut, disamping diperkirakan karena habitat sebagai tempat hidup sumberdaya perikanan tersebut mengalami degradasi dari waktu kewaktu, juga diduga karena pemanfaatannya melampaui potensi perairannya sebagai akibat banyaknya unit usaha penangkapan yang beroperasi.

Untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan keluarganya dari satu sisi dan mengurangi eksploitasi sumberdaya perikanan serta degradasi habiatnya khususnya terumbu karang di sisi lainnya, harus dikembangkan mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Namun untuk mengembangkan usaha alternatif tersebut memerlukan strategi mengingat dari satu sisi sangat tidak mudah untuk memulai sesuatu usaha yang baru bagi masyarakat nelayan yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi terhadap sumberdaya perikanan, sedangkan disisi lain suatu usaha yang baru bisanya juga rentan untuk bertahan. Strategi yang dimaksud antara lain: 1) Memilih usaha yang telah ada dilakukan oleh masyarakat di lokasi studi sehingga usaha tersebut paling tidak telah dikenal oleh masyarakat; 2) Memilih usaha disamping layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan variabel teknis, juga layak secara finansial, dimana hal ini diperkirakan suatu tolok ukur dari pada keberlangsungan atau kontinuitas komoditi yang dihasilkan dari suatu usaha yang akan dikembangkan; 3) Menentukan strategi pengembangannya berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternalnya yang merupakan langkah konkrit yang perlu dilakukan disamping untuk mewujudkan usaha-usaha tersebut, juga berkaitan dengan keberlangsungan dan pengembangannya. Untuk itu perlu dilakukan suatu studi yang secara umum untuk mengetahui strategi pengembangan usaha alternatif di lokasi studi. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk mengetahui : jenis-jenis mata pencaharian alternatif yang ada di Kelurahan Pulau Abang; jenis mata pencaharian yang layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan variabel teknis dan kelayakan finansial usaha dan strategi pengembangan usaha alternatif berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternalnya.


Metode Studi

Kegiatan studi ini dilakukan di wilayah Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Lokasi studi memfokuskan pada lokasi manajemen area Coremap II, yakni Pulau Abang Kecil dan Pulau Petong .

Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yakni: Studi Kepustakaan, Metode Survey dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, sedangkan data primer dikumpulkan melalui penelitian lapangan dengan menggunakan metode pengumpulan data Triangulation, yakni Indepth Interview, wawancara dengan menggunakan kuisioner, Focus Group Discussion (FGD) dan observasi.

Analisis data menggunakan gabungan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dianalisa secara deskriptif dengan penampilan dalam bentuk tabel, sedangkan data kuantitatif dilakukan penghitungan berdasarkan rumus-rumus tertentu.


Hasil Studi

Berdasarkan pertimbangan aspek teknis (minat masyarakat, ketersediaan bahan baku/sumberdaya alam, ketersediaan tenaga kerja, peluang pasar), usaha alternatif yang layak dikembangkan di lokasi studi Pulau Abang Kecil (RW 1 dan RW 2 Air Saga) adalah: usaha home industri kerupuk ikan, usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba, usaha ternak ayam dan usaha ternak itik. Sedangkan di lokasi studi Pulau Petong adalah: usaha home industri kerupuk ikan, usaha pengolahan ikan asin, usaha ternak ayam dan ternak itik.

Semua usaha alternatif yang layak dikembangkan secara teknis, baik di lokasi studi Pulau Abang Kecil, maupun di lokasi studi Pulau Petong, disamping dapat memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga nelayan, juga mempunyai kelayakan finansial untuk dikembangkan, yang dapat dipaparkan sebagai berikut: 1) Usaha ternak itik, dengan total investasi sebesar Rp. 3.410.900,- diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 6.434.065,-/tahun; BCR sebesar 1,51; ROI 188,68 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 6,4 bulan; 2) Usaha ternak ayam, dengan total investasi sebesar Rp. 4.457.200,-, diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 6.434.065,-/tahun; BCR sebesar 1,51; ROI 188,68 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 6,4 bulan; 3) Usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba, dengan total investasi sebesar Rp. 13.236.000,- diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 10.001.660,-/tahun; BCR sebesar 1,96; ROI 75,56 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 10,4 bulan; 4) Usaha kerupuk ikan, dengan total investasi sebesar Rp. 748.000,- diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 1.670.100,- /tahun; BCR sebesar 1,84; ROI 219,00 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 4,0 bulan; 5) Usaha pengolahan ikan asin, dengan total investasi sebesar Rp. 640.000,- diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 3.093.750,-/tahun; BCR sebesar 1,52; ROI 368,4 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 2,7 bulan.

Strategi pengembangan usaha alternatif berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternal secara umum mencakup: 1) Membentuk kelompok usaha bersama, sesuai dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan; 2) Mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja keluarga, dimana selama ini tenaga keluarga ini masih belum banyak dimanfaatkan; 3) Melakukan penyuluhan dan pelatihan: manajemen usaha dan oraganisasi, serta teknik usaha sesuai dengan usaha alternatif yang dikembangkan; 4) Melakukan pilot project dari masing-masing usaha alternatif yang akan dikembangkan jika memungkinkan, terutama untuk pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba dan ternak itik; 5) Melakukan pendampingan secara kontinyu dan sebaiknya menggunakan tenaga pendamping lapangan yang telah bertugas sejak awal proyek, karena mereka telah membaur dan dikenal oleh masyarakat sehingga diharapkan lebih efektif dan efisien; 6) Memanfaatkan cadangan dana bantuan pinjaman modal dari pemerintah untuk usaha kecil dan menengah atau ekonomi kerakyatan secara optimal dari pemerintah; 7) Perlu mendapatkan dukungan dan fasilitasi dari dinas pemerintah terkait sesuai dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan, seperti Disperindag, Dinas Kelautan dan Perikanan; Dinas Peternakan, dan Dinas Koperasi, dan lain sebagainy; 8) Membangun pola kemitraan bisnis yang memungkinkan untuk memperoleh penyediaan modal dan akses pasar serta untuk kestabilan harga.

Rekomendasi

  1. Usaha alternatif yang direkomendasikan untuk dikembangkan di lokasi studi Pulau Abang Kecil (RW I dan RW II Air Saga, Kelurahan Pulau Abang): usaha home industri Kerupuk Ikan, usaha Budidaya Ikan Kerapu dalam keramba, usaha Ternak Ayam, dan usaha Ternak Itik
  2. Usaha alternatif yang direkomendasikan untuk dikembangkan di lokasi studi Pulau Petong (RW III Kelurahan Pulau Abang) adalah: usaha home industri Kerupuk Ikan, usaha home industri Pengolahan Ikan Asin, usaha Ternak Ayam, dan usaha ternak Itik.
  3. Usaha home industri Kerupuk Ikan dapat dijadikan perioritas pertama untuk dikembangkan, karena disamping usaha ini dapat dimulai dalam bentuk skala kecil dan hampir tidak punya risiko, juga untuk pengembangannya tidak memerlukan modal yang besar.
  4. Pengembangan usaha alternatif dapat dimulai secara berkelompok dengan sistem tanggung renteng. Pada tahap awal pengembangan usaha alternatif tersebut, diperlukan pendampingan secara kontinyu yang dapat merupakan bagian dari program pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk pendampingan ini sebaiknya menggunakan tenaga pendamping lapangan yang telah bertugas sejak awal proyek. Disamping itu perlu melakukan Penyuluhan dan Pelatihan: manajemen usaha dan oraganisasi, serta teknik usaha sesuai dengan usaha alternatif yang dikembangkan;
  5. Perlu upaya untuk mendapatkan dukungan dan fasilitasi dari dinas pemerintah yang terkait dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan, seperti Disperindag, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Peternakan, Dinas Koperasi dan lain sebagainya. Upaya ini diperkirakan dapat dilakukan oleh pihak CBM bersama-sama dengan masyarakat.
  6. Perlu upaya untuk membangun pola kemitraan bisnis yang memungkinkan untuk memperoleh penyediaan modal dan akses pasar serta kestabilan harga terhadap usaha alternatif yang akan dikembangkan.
  7. Pembentukan kelompok usaha bersama; penyuluhan dan pelatihan; pembinaan dan pendampingan; serta upaya untuk mendapatkan dukungan dan fasilitasi dari pemerintah, dan upaya untuk membangun pola kemitran bisnis diperkirakan dapat dilakukan oleh pihak CBM dan pihak terkait lainnya bersama-sama dengan masyarakat.

PEMBERDAYAAN KELOMPOK MANGROVE

Sumber : http://mangrove.unila.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=1


a. Pengembangan Sumberdaya Alam

Potensi jalur hijau (green belt) seluas 700 hektar merupakan sebuah peluang untuk meningkatkan daya dukung lingkungan khususnya di sektor perikanan. Terciptanya ekosistem yang seimbang memberikan kesempatan bagi hewan-hewan laut dan pesisir untuk berkembang biak di kawasan jalur hijau. Melalui fenomena tersebut jalur hijau atau hutan mangrove dapat dijadikan peluang usaha bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan pendapatan keluarganya.

Keberadaan hutan mangrove yang terpelihara dapat dimanfaatkan secara optimal bagi setiap masyarakat untuk mengusahakan perikanan budidaya maupun perikanan tangkap. Kegiatan perekonomian masyarakat pesisir perlu diarahkan pada diversifikasi usaha sektor pesisir, sehingga mereka tidak lagi menggantungkan sumber pendapatan keluarganya dari sektor tambak yang diidentifikasi dapat merusak lingkungan terutama Hutan Mangrove.


b. Pengembangan SDM

Aktivitas pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dikatakan berhasil apabila ada perubahan yang signifikan secara fisik dan secara non fisik. Aspek penting non fisik yang harus berubah adalah system nilai budaya atau cultural value system dan sikap atau attitudes yang disebabkan oleh system nilai budaya dan pengetahuan yang sempit atau rendah. Kedua hal itu menyebabkan timbulnya pola-pola cara berfikir tertentu yang akan mempengaruhi tindakan dan kelakuan mereka baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hal membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. System nilai budaya yang mementingkan pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek/masa sekarang merupakan penghambat pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia yang memiliki rasa percaya diri sendiri atau self confidence; memberikan perhatian secara adil, menumbuhkan kemampuan (empowerment) dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Dari aktivitas ini akan muncul kelompok critical mass yang mempunyai kemampuan untuk menciptakan keinginan ke arah perbaikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove merupakan akselerasi dari masyarakat yang menginginkan agar hutan mangrove dapat pulih kembali dan berfungsi dengan baik. Kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove ini harus dikali dengan aspek legislasi yang kuat, diberi mandat khusus, tugas khusus mengelola hutan mangrove. Pembentukan kelompok masyarakat juga diperlukan guna menangkap adanya manfaat sosial ekonomi dari adanya karakteristik ekonomi skala (economic of scale and economies of size). Kesadaran individu tentang pentingnya upaya rehabilitasi hutan mangrove sudah mulai tumbuh, namun kesadaran tersebut masih belum mampu membangun tindakan bersama (collective action) para masyarakat untuk merehabilitasi seluruh kawasan jalur hijau, dalam hal ini rasa kebersamaan, loyalitas, dan komitmen para masyarakat khususnya yang tergabung ke dalam kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove perlu untuk ditingkatkan.

Dalam perkembangannya seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengelola hutan mangrove, di Desa Margasari telah terbentuk 7 kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove. Kelompok tersebut merupakan kumpulan dari masyarakat yang memiliki visi yang sama untuk melestarikan kawasan hutan mangrove.


c. Pengembangan Usaha

Diversifikasi usaha pengelolaan di kawasan hutan mangrove perlu dikembangkan dan diatur dalam sebuah undang-undang/peraturan untuk mengantisipasi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya yang ada. Usaha yang dapat dikembangkan dari kawasan hutan mangrove antara lain penangkapan kepiting bakau, penangkapan udang rebon, penangkapan ikan, budidaya tambak bandeng, budidaya kepiting bakau.

Peluang usaha yang dapat dikembangkan dari kawasan hutan mangrove berupa ikan asin

Pengembangan usaha diarahkan pada pengolahan sumber daya alam yang ada, yang nantinya dapat dijadikan sebuah potensi andalan yang berasal dari potensi alternatif yang ada seperti pemanfaatan buah dan biji mangrove, pohon deruju (Acanthus sp), dan cacing laut. Diversifikasi produk yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai peluang usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir khususnya bagi para perempuan supaya lebih diberdayakan. Produk olahan yang dapat dikembangkan dari potensi alternatife tersebut antara lain pembuatan keripik dari daun deruju (Acanthus sp), pembuatan manisan mangrove dari buah bogem, pembuatan peyek biji api-api, dan sebagainya.

Minggu, 23 Maret 2008

Menyisir 3 Desa di Delta Mahakam

Sumber : http://cenil.wordpress.com/

Perjalanan ini dilaksanakan pada tanggal 23-26 Februari 2008, saya berangkat dari rumah sekitar pukul 07.30 Wita, kebetulan pergi menuju delta mahakam adalah pengalaman pertama saya sejak bergabung dalam project PMD (Pemberdayaan Masyarakat Delta) Mahakam. Project yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi yang berusaha memperbaiki kawasan Delta Mahakam yang menurut data terbaru mengalami kerusakan sekitar 56% (Sumaryono, Dkk. 2007).

Tepat pukul 8 kurang saya tiba di pelabuhan pasar pagi, sambil menunggu tumpangan, kami sarapan terlebih dahulu, yang kebetulan difasilitasi oleh Total Indonesia, mereka menamakan kendaraan ini adalah sea truck (bahasa Indonesia; truk laut), ketika kendaraan datang, saya takjub juga melihatnya ternyata yang dinamakan sea truck ini benar-benar besar, dengan kekuatan mesin diesel dua buah, sudah pasti kebayang berapa cepat kendaraan ini bisa melaju.

Setelah siap berangkat kami menuju Desa Sepatin yang jaraknya sekitar sekita 2 jam dari pelabuhan pasar pagi, tepat pukul 12.05 Wita kami sampai di desa sepatin, saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa desa Sepatin ternyata memiliki aktifitas ekonomi yang cukup tinggi, terutama dari perdagangan komoditas yang berasal dari laut, desa ini didominasi oleh suku yang berasal dari Sulawesi Selatan, mata pencaharian utama adalah nelayan dan petambak. Ternyata untuk mencapai desa ini diperlukan keahlian khusus terutama jika hendak masuk ke kawasan desa ini karena banyak jebakan-jebakan, jika salah jalan maka perahu atau speedboat bisa kandas dan harus menunggu air pasang jika hendak melanjutkan perjalanan, belum lagi bahaya binatang buas yang mengintai yaitu buaya.

Setelah ditemui oleh Sekretaris Desa Sepatin, kebetulan Kepala Desa tidak ditempat, kami dijamu makan siang dan diajak berkeliling Desa Sepatin, yang semua jalan setapaknya terbuat dari kayu ulin, kami menerangkan kepada perangkat desa maksud dan tujuan kami mengunjungi Desa Sepatin, permasalahan utama desa ini adalah menurunnya hasil tambak, dikarenakan penyakit, kualitas bibit dan juga permasalahan-permasalahan lainnya, kami berkesempatan mengunjungi salah satu tambak, selintas saya lihat pintu air tambak yang kami kunjungi hanya satu, sementara tambak yang diusahakan sedemikian luas, butuh waktu yang lama jika ingin menguras atau memasukkan air, belum lagi sungai yang digunakan untuk mengairi terhubung dengan tambak-tambak lain, tentu saja jika satu tambak kena penyakit akan dengan mudah menyebar.

Setelah bermalam sehari di Desa Sepatin, kami melanjutkan ke Desa Muara Pantuan, kali ini kami ditemani oleh Pegawai Cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kertanegara Pak Suryanto dan Pak Asdar. Setelah air pasang kami melanjutkan ke Desa Muara Pantuan, ternyata tidak begitu lama kami sampai di Desa Muara Pantuan kira-kira 1 jam perjalanan, kami diterima oleh Kepala Desa Muara Pantuan Pak Haji Rasyid, begitu sampai di rumah kepala desa kami dijamu dengan makan siang berupa sari laut.

Setelah selesai makan kami berkesempatan mengunjungi areal reboisasi yang dilaksanakan oleh Bapedalda Kutai Kartanegara seluas 30 ha, dan tambahan 10 ha yang dilakukan melalui swadaya masyarakat, serta ada juga yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan seluas 100 ha, tetapi kami tidak sempat melihat karena waktu yang menjelang malam. Desa Muara Pantuan merupakan desa yang paling ramai dari 2 desa yang kami kunjungi yaitu Sepatin dan Tani Baru.

Keesokan harinya setelah acara sosialisasi Program PMD Mahakam selesai kami berangkat menuju desa terakhir yaitu Desa Tani Baru, berangkat pukul 17.00 Wita dan tiba di Tani Baru pulul 17.30 wita, hanya memerlukan waktu sekitar setengah jam menuju Desa Tani Baru. Begitu sampai kami disambut oleh Kepala Desa Tani Baru yaitu Bapak H. Kahar Edi, dan kami diperkenankan menginap di tempat beliau.

Kondisi Desa Tani Baru tidak seramai desa sebelumnya, karena keadaan geografi desa yang dipisahkan oleh sungai yang lumayan besar tidak seperti Desa Sepatin dan Muara Pantuan jadi tidak ada jembatan penghubung antara beberapa rumah yang terpisah. Fasilitas sekolah, kantor lurah, kesehatan terpisah-pisah, sehingga jika dibandingkan dengan Desa Sepatin, Desa Tani Baru relatif sepi. Setelah acara sosialisasi di Desa Tani Baru selesai kami pulang menuju Samarinda dan turun di Pelabuhan Sungai Meriam, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara.

Ada beberapa kesimpulan yang bisa saya sampaikan dari perjalanan saya menyisir 3 Desa di Delta Mahakam, yaitu;


Permasalahan tambak;

  1. Pintu tambak hanya 1, dengan luasan tambak yang sangat besar maka memerlukan waktu yang lama jika ingin menguras atau mengganti air, padahal tambak sangat rentan dengan kualitas air.
  2. Terjadi penurunan kualitas dan kuantitas tambak.
  3. Masyarakat belum mengenal cara bertambak yang baik dan ramah lingkungan.


Alternatif Income:

  1. Industri rumah tangga; kerupuk udang, ikan asin dan Ebi (udang kering).
  2. Pengembangan kepiting keramba.


Beberapa kriteria petambak;

  1. Pemilik tambak; dikelola dan dimiliki oleh petambak itu sendiri.
  2. Penjaga tambak; yang hanya menjaga tambak dan mengelola tambak, sedangkan modal berasal dari pemilik tambak.
  3. Pemodal tambak; tambak dikelola bukan oleh para pemilik tambak tetapi oleh pemodal (biasanya punggawa) atau biasanya pemilik tambak berhutang untuk mengelola tambak dan semua aturan harga dikuasai oleh pemodal tambak.

Memulihkan Mata Pencaharian Lewat Bantuan Desa

Sumber : http://www.binaswadaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=150&Itemid=46&lang=in_ID

Salah satu desa yang berkategori parah akibat hantaman tsunami akhir Desember 2004 yang lalu di Kabupaten Aceh Besar adalah Desa Kareung. Desa yang merupakan bagian dari Kecamatan Lhoong ini berada di pinggir pantai. Hampir semua rumah masyarakat yang ada di sini hancur. Masyarakat nelayan juga nyaris kehilangan pekerjaan. Paling tidak itulah sedikit gambaran yang disampaikan oleh salah satu anggota subkelompok Lobster kepada Tim Info Pemberdayaan saat menghadiri penyerahan bantuan.

Asian Development Bank (ADB) adalah salah satu lembaga donor yang peduli dengan musibah ini. Dengan persyaratan tertentu, Desa Kareung terpilih menjadi salah satu desa yang mendapat bantuan dari sektor perikanan terutama untuk subkomponen 1 (Bantuan Desa). Selama tujuh bulan proses bantuan ini dijalani oleh sub-subkelompok yang ada di desa ini. Tujuh bulan itu terhitung semenjak assessment (8 Februari 2007), sosialisasi awal (27 Februari 2007), pembentukan kelompok desa (15 Maret 2007) hingga proses pengadaan barang (7-15 Agustus 2007).

Menurut Community Fasilitator Windo GP, Desa Kareung adalah desa pertama yang menerima bantuan untuk tahun 2007. Faktor penyebabnya adalah karena masyarakat desa ini terutama sub-subkelompok sangat antusias menerima bantuan ADB. Dengan alasan itu mereka selalu mengadakan rapat-rapat untuk menjalankan proses pemberian bantuan tersebut. Siang itu, Rabu, (15/8) terjawab sudah penantian anggota kelompok selama ini. Penantian selama tujuh bulan bisa saja menimbulkan pesimisme yang pada akhirnya kelompok menjadi malas melakukan pertemuan, namun tidak begitu halnya dengan kelompok yang ada di desa ini.

Bertempat di Balai Desa Kareung, serah terima bantuan pun berlangsung. Selain Ketua Kelompok Desa dan Ketua sub-subkelompok beserta anggotannya, hadir juga dalam acara ini Tim NACA, Tim Bina Swadaya, perwakilan Satker, Keuchik dan warga yang ingin melihat serah terima bantuan tersebut. Sementara sub-subkelompok yang mendapat bantuan ada enam, yaitu Kelompok Lumba-lumba (Muge Ikan, 7 orang), Ikan Paus (Nelayan Pancing, 9 orang), Lobster (Jaring Lobster, 14 orang), Matahari (Jemur Ikan, 5 orang), Mutiara Karang (Depot Mini, 5 orang), Mandi Lumpur (Pertambakan, 5 orang).

Dalam kata sambutannya, Keuchik Desa Kareung mengucapkan terima kasih kepada ADB dan semua pihak yang terlibat atas proses yang telah dilakukan sehingga bantuan ini bisa diberikan kepada kelompok yang ada di desa ini. Ia berharap kepada anggota kelompok penerima bantuan supaya bantuan yang diterima tersebut berdayaguna sehingga mampu meningkatkan mata pencaharian.”Kami berharap dana bantuan ini bisa bersifat berkelanjutan sehingga generasi berikutnya bisa memanfaatkan bantuan tersebut,” demikian kata Rofiana, DIU Aceh Besar, ketika memberikan kata sambutannya. Ia mengingatkan anggota kelompok agar jangan menjadikan bantuan ini untuk kepentingan pribadi sebab bantuan tersebut adalah aset kelompok.

Ketika ditanya bagaimana mengelola bantuan, Ketua subkelompok Lobster M. Amin Idrus menjawab, kami berharap kelak jangan sampai terjadi konflik di antara anggota, dan penggunaannya dilakukan secara bergilir karena jumlah bantuan dengan anggota tidak sama. Pembagian keuntungan dilakukan dengan cara prosentase. Ada kesepakatan dari kelompok, lanjutnya, bahwa 2,5% dari keuntungan bersih akan diserahkan kepada kelompok untuk pengembangan usaha dan memenuhi kebutuhan kelompok yang dibutuhkan di kemudian hari.

Di samping bantuan bisa berkembang dan berlanjut, ia juga berharap agar ada bimbingan kepada kelompok nelayan (capacity building) untuk meningkatkan mata pencaharian mereka. Artinya setelah bantuan diberikan mereka berharap jangan dibiarkan begitu saja.

PENGENALAN MODEL IMPLEMENTASI PENATAAN RUANG KAWASAN PESISIR MELALUI KEGIATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PLBPM)

Sumber : http://suaraindonesiaraya.com/index.php?USRTYPE=&ACT=NEWS_DETAIL&newsid=106

Jakarta, 26/04/07. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) pada Departemen Kelautan dan Perikanan sangat berkepentingan dalam tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan pembinaan pembangunan wilayah pesisir. Berbagai kegiatan selama ini telah dilakukan melalui pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), konservasi, penataan ruang, pemberdayaan pulau-pulau kecil, dan program pengelolaan pesisir lainnya. Upaya untuk dapat meningkatkan pembinaan terus dilakukan. Dalam rangka penataan dan peningkatan kondisi lingkungan pesisir, maka dilakukan kegiatan pengelolaan lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat (PLBPM). Kegiatan PLBPM ini digagas pertama kali oleh Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang pada waktu itu masih dijabat Ir. Widi Agoes Pratikto, Phd.

Esensi PLBPM terutama terletak pada pendekatan pelaksanaannya di lapangan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat, sejak dari perencanaan sampai kepada pelaksanaannya dengan dibantu melalui kegiatan-kegiatan pembinaan / pembimbingan, pendampingan, dan pengendalian. Pendekatan ini cukup efektif dalam menumbuhkan partisipasi aktif di kalangan masyarakat target group, respon yang positif serta komitmen dukungan dari stake holders, Pemerintah Daerah, dan lembaga / institusi lain terkait.

Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan nelayan dan berbagai kepentingan pengembangan. Oleh karena itu wilayah pesisir juga cenderung mengalami tekanan pembangunan yang kadang melampaui dayadukungnya. Kegiatan pemanfaatan ruang berpotensi konflik dan menimbulkan dampak degradasi lingkungan seperti rusaknya kawasan mangrove, karang, dan habitat perikanan lain, proses abrasi pantai, serta pencemaran.

Pada sisi lain, masyarakat pesisir yang sebagian besar terdiri dari para kaum nelayan, pada umumnya memiliki kehidupan ekonomi yang relatif lemah dan kurang tersentuh oleh perhatian pembangunan. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang menyatu dengan permasalahan lingkungan. Kondisi rumah yang tidak sehat, lingkungan permukiman yang tidak tertata serta tidak didukung oleh prasarana secara memadai tergambar dari buruknya sistem sanitasi (drainase, persampahan, air bersih, MCK), jalan lingkungan, serta terbatasnya prasarana lingkungan dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi setempat.

Kita melihat bagaimana fenomena masalah kemiskinan masyarakat pesisir tersebut sudah menjadi suatu trade mark tersendiri. Berbagai program pembangunan telah banyak dilakukan dalam upaya memajukan kawasan pesisir, tetapi sangat jarang adanya program yang secara langsung menyentuh pada tataran masyarakatnya.

Model kegiatan Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PLBPM) mungkin akan mengubah paradigma kita dalam pelaksanaan program, dari pendekatan ‘proyek’ kepada suatu proses pengelolaan dari dan oleh masyarakat sendiri. PLBPM diharapkan dapat menjadi suatu program yang tidak saja manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, tetapi juga masyarakat sendiri yang mengelola dan menentukan keputusan pilihannya, bahkan memberikan sharing dan partisipasi dalam pelaksanaannya. Kita optimis bahwa program yang bertumpu pada masyarakat seperti itu akan memberikan efektifitas serta dampak kemanfaatan yang lebih besar dalam upaya memajukan kawasan pesisir di masa mendatang.

Jiwa PLBPM terletak pada esensinya dalam memberikan pembelajaran secara tidak langsung kepada masyarakat pesisir agar mereka dapat menemukan cara-cara pemecahan permasalahan dan kebutuhannya dari diri mereka sendiri dengan memberdayakan segenap potensi yang ada, sehingga pada saatnya diharapkan terjadi keberlanjutan pengelolaan oleh masyarakat; serta Pemerintah Daerah bersama stake holders terkait lainnya mengambil peran pengembangan keberlanjutan tersebut ke dalam proses pembangunan wilayah Daerahnya. Keberlanjutan seperti itu dapat dicontohkan di Kabupaten Bengkalis, dimana hasil PLBPM telah diakomodir oleh Pemerintah Daerah ke dalam suatu rencana pembangunan kawasan dengan visi yang lebih luas untuk lima tahun ke depan.

Kegiatan PLBPM difokuskan pada hasil (output) fisik yang betul-betul memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir sesuai dengan permasalahan dan prioritas kebutuhan mereka di lapangan saat pelaksanaan. Kegiatan fisik tersebut meliputi peningkatan / perbaikan ekosistem pesisir; peningkatan / perbaikan / pembangunan infrastruktur lingkungan permukiman; serta peningkatan / perbaikan / pembangunan rumah.

Kelompok sasaran (target group) PLBPM adalah masyarakat pesisir yang sebagian besar meliputi nelayan dan pembudidaya ikan, serta masyarakat pesisir lainnya yang bermukim sebagai satu komunitas di kawasan pesisir dengan taraf ekonomi relatif lemah atau miskin, mempunyai kondisi lingkungan permukiman yang buruk, serta diutamakan berada pada kawasan yang mengalami permasalahan degradasi lingkungan pesisir. Kelompok sasaran tersebut bermukim pada satu kawasan target group yang berskala lingkungan, dengan luasan sekitar satu desa / kelurahan; atau dapat merupakan bagian dari desa / kelurahan.

Dalam mekanisme anggaran program, DIPA PLBPM diturunkan langsung kepada masing-masing Kabupaten / Kota cq. Dinas Kelautan dan Perikanan. Penyaluran anggaran kepada desa / kelurahan lokasi target group dilakukan secara bertahap, dari KPPN ke dalam rekening bank setempat lembaga kemasyarakatan yang merupakan lembaga formal yang betul-betul dekat / mewakili target group serta mempunyai kredibilitas tanggungjawab yang dapat dipercaya. Dalam PP No.72 / 2005 tentang Desa, yang dimaksud dengan Lembaga Kemasyarakatan misalnya RT, RW, PKK, Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat atau sebutan lain.

Lembaga kemasyarakatan tersebut akan bertanggungjawab dalam pencairan / penggunaan / penyaluran dana untuk pelaksanaan kegiatan target group melalui pemberdayaan masyarakat. Mekanisme penyaluran dana dituangkan melalui SPK (Surat Perjanjian Kerja) antara PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dengan lembaga kemasyarakatan.

Pelaksanaan program PLBPM secara keseluruhan dikendalikan agar mencapai esensi tujuannya melalui pembinaan / pembimbingan, pengarahan, pendampingan, pemantauan, dan evaluasi dari Pusat (Ditjen. KP3K) dan Daerah, baik dari Provinsi (melalui pelibatan peran Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi) maupun di Kabupaten / Kota bersangkutan (oleh Forum Koordinasi Teknis Daerah; Tenaga Ahli Pendamping; Tim Teknis Pengendali Daerah).

Pada tahun anggaran 2006, PLBPM telah dilaksanakan di 20 Kabupaten / Kota. Hasilnya menunjukkan adanya respon yang sangat positif dan mencerminkan tercapainya esensi tujuan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat pesisir telah didorong tumbuh. Berbagai bentuk sharing telah diberikan oleh masyarakat di seluruh daerah lokasi PLBPM, seperti berupa sumbangan material, tenaga kerja yang tidak diupah, dan lahan yang disediakan untuk pembangunan fasilitas umum. Di Kabupaten Serdang Bedagai misalnya, masyarakat secara swadaya membangun MCK dan melakukan renovasi rumah. Hal yang sama dilakukan oleh warga di Kabupaten Bengkalis yang berswadaya membangun jalan. Di Kota Bima warga merelakan tanahnya untuk pelebaran jalan. Di Kabupaten Ciamis, Jepara, dan Tegal masyarakat memberikan sumbangan material berupa semen, batu, dan pasir yang tidak sedikit nilainya, serta banyak lagi bentuk-bentuk sharing masyarakat di lokasi lainnya.

Beberapa Daerah menunjukkan komitmennya terhadap kegiatan PLBPM dengan menyediakan anggaran pendamping. Dukungan juga diperoleh dari instansi lain seperti Kementerian Perumahan Rakyat, beberapa Dinas Teknis, serta lembaga / institusi yang berada di Daerah setempat berupa kolaborasi program yang diintegrasikan pelaksanaannya dengan lokasi PLBPM, seperti di Kab. Nunukan, Kab. Bengkalis, Kab. Ciamis, dan beberapa lagi di Kabupaten lainnya. Adanya berbagai bentuk partisipasi, sharing, kolaborasi, dan bahkan tindaklanjut pengembangan terhadap hasil-hasil PLBPM seperti itulah yang justru kita harapkan, sehingga pada saatnya pemberdayaan pengelolaan berjalan secara berkelanjutan oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Kita bersyukur bahwa pada tahun anggaran 2007 ini dapat melaksanakan kembali program PLBPM. Rasanya ada suatu tanggungjawab moril yang melekat, dan ada suatu kepuasan bathin yang tidak dapat dinilai secara materiil pada kita dalam melaksanakan program ini. Untuk tahun anggaran 2007, PLBPM dilaksanakan di 23 Kabupaten / Kota, yaitu 8 (delapan) Kabupaten / Kota merupakan lokasi baru; dan 15 (lima belas) Kabupaten / Kota merupakan lokasi tindaklanjut PLBPM tahun 2006.

Pada Kabupaten / Kota lokasi tindaklanjut PLBPM tahun 2006, kegiatan diarahkan untuk menindaklanjuti komponen fisik yang masih belum selesai atau belum berfungsi atau belum dapat dimanfaatkan.
Misalnya, untuk melanjutkan pembangunan jalan lingkungan yang di tahun 2006 baru sebagian dibangun, padahal jalan tersebut semestinya baru dapat berfungsi apabila sudah dibangun seluruhnya. Atau misalnya, untuk melanjutkan kekurangan jumlah pembangunan / rehabilitasi rumah yang sudah dilakukan di tahun 2006. Kegiatan pembangunan fisik yang sifatnya baru juga dapat dipilih sejauh merupakan kebutuhan prioritas yang disepakati bersama oleh masyarakat target group.

Selain diarahkan untuk menindaklanjuti kegiatan fisik, juga dilakukan pembinaan dalam rangka melembagakan keberlangsungan pemberdayaan masyarakat. Misalya, kegiatan yang ditujukan untuk penguatan kelembagaan / kelompok masyarakat, pembinaan motivator, penyuluhan masyarakat, penyusunan / penetapan suatu Peraturan Desa / Kelurahan mengenai pengelolaan PLBPM, dan lain-lainnya.

Sejalan dengan itu, disusun desain tata ruang kawasan target group ke depan, serta bagaimana mengintegrasikannya dengan konsep tata ruang wilayah yang lebih luas, sehingga kawasan target group akan menjadi bagian dari proses pengembangan dan pembangunan wilayah Kabupaten / Kota. Desain atau konsep tersebut perlu dibicarakan bersama sejak penyusunannya pada tataran rembug desa / kelurahan. Bagaimana mengisinya, dibahas dalam Forum Koordinasi Teknis Daerah. Pada kesempatan tersebut diharapkan dapat digalang komitmen mengenai peran dan tanggung jawab masing masing pihak di Daerah Kabupaten / Kota, Provinsi, Kecamatan, Desa / Kelurahan, masyarakat target group, dan stakeholders terkait lain (investor / swasta) dalam pemeliharaan dan pengelolaan hasil PLBPM yang telah dibangun, termasuk pengembangannya. Komitmen dapat berupa sharing program, penganggaran pembangunan di Daerah, ataupun akomodasi hasil PLBPM ke dalam satu konsep / rencana pembangunan kawasan dengan dimensi yang lebih luas.

Pelaksanaan PLBPM diharapkan memberikan dampak kemanfaatan terhadap empat hal, yaitu:

(1) Tersedianya kesempatan kerja alternatif khususnya bagi masyarakat nelayan pesisir yang sementara waktu tidak dapat melaut akibat dampak kenaikan harga BBM ataupun pada saat cuaca buruk. Masyarakat dapat memperoleh upah kerja pada pekerjaan-pekerjaan fisik dalam pelaksanaan kegiatan PLBPM, seperti pembangunan rumah, infrastruktur lingkungan, dan penanaman mangrove;

(2) Terciptanya kondisi lingkungan pesisir yang lebih baik dan mendukung bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan pendapatan dan kegiatan ekonominya, seperti dengan dibangunnya tambatan perahu, jalan lingkungan / jalan poros, sumber air bersih, listrik desa, dan rumah serbaguna.

(3) Pebaikan kondisi ekosistem pesisir yang mengalami degradasi, seperti dengan kegiatan penanaman mangrove, transplantasi karang, dan pembangunan talud untuk mengurangi abrasi pantai;

(4) Kegiatan ekonomi masyarakat pesisir yang meningkat dan secara tidak langsung akan masuk ke dalam mekanisme pertumbuhan ekonomi kawasan / wilayah.

Pada akhirnya yang terpenting dan perlu kita garisbawahi, bahwa dalam membangun kawasan pesisir tentunya PLBPM tidak dapat berdiri sendiri dan perlu bersama-sama dengan kegiatan program sektor lain berintegrasi ke dalam satu kerangka program pembangunan ekonomi wilayah / Daerah. Oleh karena itu pembinaan keberlangsungan terhadap hasil kegiatan PLBPM yang telah dicapai sangat diperlukan. Diharapkan masing-masing pihak dapat mengambil peran dan tanggungjawabnya untuk itu, baik di Pusat maupun Daerah (Provinsi, Kabupaten / Kota, Kecamatan) serta Masyarakat bersangkutan (Desa / Kelurahan, Kelompok Masyarakat, Motivator).




Budidaya Ikan dan Rumput Laut di Kepulauan Seribu Makin Berkembang

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2004/0703/ukm4.html

JAKARTA – Gugusan pulau yang terletak di Jakarta Utara, ternyata menyimpan potensi usaha di bidang kelautan misalnya budidaya ikan dan rumput laut. Di Pulau Panggang yang masuk dalam Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, terdapat 20 kelompok petani yang membudidayakan rumput laut.

Hasil produksinya, menurut Kepala Suku Dinas Perikanan Pemkab Kepulauan Seribu, Sutrisno mencapai 100 kilogram hingga dua ton. Menurut salah seorang anggota Kelompok Petani, Amin (70) tahun kepada SH Selasa (15/6), dia membudidayakan rumput laut ini semenjak tujuh tahun belakangan ini atau dimulainya sekitar tahun 1997 lalu.

Usaha budidaya rumput laut ini, menurutnya, sebagai pengganti usaha menangkap ikan apabila ikan yang ditangkap oleh nelayan sepi. “Kalau pencarian ikan sedang susah, ya kita punya usaha alternatif,” katanya.

Kapasitas produksi rumput laut yang dibudidayakan mencapai satu kwintal atau 100 kilogram sekali panen. Dari bibit rumput laut hingga siap dipanen, hanya dipelihara selama empat bulan.
Tetapi itu tergantung dari kondisi perairan laut. “Apabila kondisi air laut bagus maka panen sekitar empat bulan. Tapi kalau sedang jelek bisa lebih dari empat bulan,” katanya.

Beberapa bulan belakangan ini, menurutnya, produksi rumput lautnya sangat sedikit, bahkan jauh di bawah kapasitas produksi normalnya yang mencapai satu kuintal karena kondisi air laut yang kurang baik.

“Kondisi air laut yang kurang bagus juga bisa disebabkan karena sampah yang bertebaran di laut maupun yang berasal dari warga pulau Panggang,” ungkapnya.

Hasil panen rumput laut ini, dijual Amin hanya Rp 500-1000 per kg dalam kondisi basah sedangkan kalau kondisi kering bisa mencapai di kisaran Rp 4.000 – 5.000 per kg. Karena hasil budidaya rumput laut yang menurun belakangan ini, Amin terpaksa harus melaut atau menjadi nelayan tangkap.

Di Perairan Pulau Panggang juga terdapat kompleks nelayan modern yang cukup luas milik Hendrik. Kompleks nelayan modern ini, membudidayakan ikan kerapu Macan dan Bebek yang harga ekspornya mencapai Rp 380.000 per kg untuk kerapu bebek dan Rp 180.000 untuk kerapu macan.

Keramba Apung

Budidaya ikan kerapu juga bisa ditemui di perairan Pulau Kelapa dan Harapan. Menurut pengamatan SH, sedikitnya ada sekitar 7-8 keramba apung di perairan kedua pulau ini. Ikan yang dibudidayakan juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di perairan Pulau Panggang.

Menurut Berry, salah seorang nelayan keramba apung, ikan yang dipeliharanya adalah jenis kerapu macan. Memelihara ikan kerapu macan ini membutuhkan waktu hingga setahun dari bibit berukuran dua hingga lima centimeter.

Kapasitas produksinya untuk sekali panen, tambah Berry, mencapai satu kwintal. Untuk ikan kerapu macan yang dipeliharanya memang tidak diekspornya atau hanya untuk konsumsi pasar domestik saja. Namun, harga perkilogram-nya memang menggiurkan sebesar Rp 60.000 per kg.

Bibit ikan kerapu macan, menurut Berry, didapatkan dari Bali seharga Rp 1.000-2.000 per centimeter. Ikan tersebut akan dijual setelah ukuran berat mencapai setengah hingga satu kilogram per ekor. Masa panen ikut kerapu macan, menurutnya, tergantung dari air lautnya juga. Apabila air lautnya mengandung banyak oksigen dan plankton yang menjadi pakan ikan, dalam jangka waktu 12 bulan ikan sudah siap panen.

Sementara, budidaya rumput laut dan ikan kerapu ini, menurut Sutrisno —salah seorang nelayan— dikembangkan agar warga Kepulauan Seribu yang 70 persen notabene mata pencahariannya adalah nelayan bisa lebih maju.


Pernyataan senada juga disampaikan oleh Wakil Bupati Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Djoko Ramadhan. Pihaknya kini tengah mendorong warga untuk mengembangkan sea farming atau pertanian laut.

Sea farming ini menurut Djoko, berupa budidaya rumput laut dan budidayaiIkan dalam keramba apung maupun keramba tancap. Konsep sea farming ini sendiri menurutnya dikembangkan karena potensi perairan Kepulauan Seribu yang sangat mendukung konsep ini.

Pelaksanaan konsep sea farming ini sendiri, menurut Djoko, jug akan dikembangkan di Pulau Semak Daun yang letaknya tidak berjauhan dengan Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Mengapa dipilih pulau Semak Daun, menurutnya, karena Pulau Semak Daun. Luas pulaunya hanya setengah hektar namun perairan sekitarnya dangkal atau lebih dikenal dengan daerah gosong yang sangat luas yaitu sekitar 315 hektare.

Pemkab Kepulauan Seribu sendiri,menurutnya, tengah mengkaji perairan pulau Semak Daun untuk kelayakan budidaya rumput laut dan ikan kerapu. “Kami tengah mengkaji,” kata Djoko.

(SH/thomas bernadus)