Rabu, 27 Juni 2007

PEMBERDAYAAN DAN PENINGKATAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI SULAWESI SELATAN

Tanggal : 27 Juni 2007
Sumber: http://rcucoremapsul-sel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=51&Itemid=56

Oleh : Yusran Nur Indar:

Pembangunan masyarakat, terutama masyarakat pesisir memasuki era transformasi dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik. Paradigma ini beralasan ketika napak tilas perjalanan pembelajaran pemberdayaan masyarakat, khususnya pada wilayah pesisir, menimbulkan acuan yang beragam, dan salah satu diantaranya adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam konteks pemberdayaan.


Dengan nuansa desentralistik sekarang ini, maka urgensi pemberdayaan masyarakat pesisir, termasuk didalamnya peningkatan kapasitasnya dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang menjadi tumpuan hidupnya. Berbagai program diinisiasi untuk maksud ini walau masih sarat dengan nuansa sentralistik, seperti program Coremap II yang di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan diterapkan di Kabupaten Pangkep dan Selayar. Namun demikian, walau dengan format sentralistik, setidaknya peluang pemberdayaan masyarakat lebih terbuka. untuk mengakomodasi karakter dan strategi masyarakat lokal dalarn partisipasinya dalam program bagi peningkatan kesejahteraannya.


Konteks pemberdayaan masyarakat pesisir dan pengelolaan terumbu karang dalam program Coremap II yang dititikberatkan kepada aspek berbasis masyarakat yang menggabungkan aspek teknis pengelolaan dan aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Kelompok masyarakat ini setidaknya mempunyai akses terbatas terhadap sumberdaya dan didorong untuk mandiri bagi peningkatan kesejahteraannya.

Esensinya, inisiasi pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat adalah pelibatan masyarakat pesisir yang termarginalkan, termasuk perempuan, di dalam hampir sebagian besar aktivitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya.

Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang merupakan suatu proses partisipasi dan kerjasama baik informal dan formal dalam membagi pengalaman clan pengetahuan dibanding sekadar melahirkan suatu konsep.



Membedah Pemberdayaan dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Program Coremap II

Pemberdayaan clan peningkatan kapasitas masyarakat adalah dua hal yang secara sekuen beriringan, dan pencapaian targetnya lebih banyak tergantung kepada karakter dan segala entitas yang dimiliki oleh masyarakatnya. Penggabungan antara kearifan lokal, sistem sosial, ekonomi dan budaya dan format pengelolaan terumbu karang yang akuntabel merupakan kombinasi ideal untuk tujuan tersebut. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pesisir didapatkan karena kedekatannya dengan sumberdaya yang kemudian dibingkai kedalam suatu sistem sosial, ekonomi dan budaya. Sistem sosial yang dimaksud adalah terdapatnya strata sosial, perbedaan akses dan kontrol tez'hadap sumberdaya akibat kuatnya peran etnisitas yang kemudian melahirkan kelompok pemanfaat dan marginal:

Dibalik itu, juga terdapat sistem kesepakatan, loyalitas dan kepatuhan yang sangat bermanfaat bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. Di aspek lain, sistem ekonomi tradisional seperti Ponggawa-Sawi tidak dapat disepelekan keberadaannya di tengah masyarakat pesisir. Pada hampir setiap program pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir, kelompok Ponggawa-Sawi di Sulawesi Selatan hampir tidak pernah dilibatkan partisipasinya, sebaliknya mereka berupaya dipersempit ruang geraknya atau bahkan dianggap penghalang pencapaian kesejahteraan sumberdaya dan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan.

a disarankan untuk mengakomodasi dan mengapresiasi dan mengajak partisipasi institusi tradisional ini didalam se Sayangnya, upaya ini belum mampu meredam atau meminimasi aktivitas institusi tradisional, bahkan akibat kompleksnya sistem administrasi pada kebanyakan program, maka masyarakat pesisir cendnxng berbalik kepada sistem ekonomi tradisional ini. Melihat realita ini, tiap upaya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat.

Institusi tradisional ini lebih mengetahui dinamika sumberdaya dan masyarakat pesisir, termasuk sejumlah strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Intinya, peran sentral sosial, ekonomi dan budaya sistem ekonomi tradisional ini merupakan entry point bagi upaya pencapaian pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dalam mengelola clan memanfaatkan ekosistem bernilai ekonomi penting seperti terumbu karang. Sayangnya, dalam konsep program Coremap II, urgensi muatan sosial, ekonomi dan budaya masih mempunyai porsi yang sedikit dibandingkan dengan aspek teknis pengelolaan clan pemanfaatan ekosistem terumbu karang; atau bahkan ruang peluang partisipasi sistem ekonomi tradisional seperti Ponggawa-Sawi tidak terdapat sama sekali.


Langkah Pemberdayaan dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pesisir

Sebelum pelaksanaan program Coremap II, sebaiknya dikreasi peningkatan kepedulian seluruh anggota masyarakat dengan mengemukakan pentingnya peran mereka, terutama pada mereka yang kemungkinan memegang peran kunci dalam aspek pengelolaan, mobilisasi, dan pengambilan keputusan. Hal ini bermanfaat untuk mengenali secara dini kemungkinan peran dan tanggung jawab setiap anggota masyarakat sehingga muatan partisipasi secara bertahap dibangun. Pembentukan team work yang terdiri dari berbagai latar belakang disipilin ilmu sangat diperlukan pada tahap awal pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Kelompok kerja tersebut kemudian merancang strategi bagi peningkatan rasa kepemilikan terhadap sumberdaya secara berkelanjutan didalam program Coremap II, seperti :
(1) menganalisa kehidupan masyarakat pesisir dan masalahnya;
(2) menemukan solusi masalah masyarakat yang dihadapi; mengembangkan dan menginisiasi aktivitas, mengkaji hasilnya, kemudian merancang alternatif solusinya;
(4) memobilisasi potensi lokal (kearifan lokaJ, kapasitas sosiaJ, budaya dan ekonomi, dan pengalaman dan pengetahuan masyarakat);
merancang sistem dan mekanisme akses dan kontrol terhadap sumberdaya, termasuk didalamnya sistem bagi hasil bagi pemanfaatan sumberdaya.

Upaya sungguh-sungguh mutlak dilakukan dalam mengajak partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengelolaan terumbu karang, karena dalam sejarahnya, masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan masih minim pengetahuannya tentang urgensi pengelolaan sumberdaya berkelanjutan dibanding praktek eksploitasi sumberdaya untuk tujuan ekonomi.

k Mengajak masyarakat pesisir untuk berpartisipasi pada program Coremap II sebenamya bukan hal yang sulit dilakukan karena pada dasarnya mereka lebih banyak tergantung kepada sediaan sumberdaya. Namun, timbulnya ketidak konsistenan tujuan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat, besarnya intervensi dan ketidakjelasan manfaat akhir dari partisipasi seringkali menyebabkan masyarakat pesisir pesimis terlibat didalamnya.

Kalau pun terlibat, maka kemungkinan hanya motivasi ekonomi sehingga keluhan habis program habis juga partisipasi kemungkinan akan muncul
.
Artinya, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dalam program Coremap II hanya akan berhasil jika sejak awal ditanamkan dilaksanakan secara •konsisten akan prinsip-prinsip pentingnya masyarakat pesisir, terutama kelompok miskin, marginal dan buta huruf menjadi target pemberdayaan dan peningkatan kapasitas; membangun kerjasama diantara kelompok masyarakat dan mengembangkan kapasitas institusinya; memobilisasi dan menanamkan optimisme akan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan; mengurangi ketergantungan masyarakat akan sumberdaya yang kondisinya kritis dan dalam tahapan pemulihan; membagi secara proporsional akan kewenangan dan tanggung jawab diantara masyarakat pesisir dan pelaksana program Coremap II

Kamis, 07 Juni 2007

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi

Tanggal : 7 September 2007
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_214.ubh

Sebagai satu-satunya kawasan konservasi penyu di Pulau Sumatera Pemkab Pesisir Selatan (Pessel), Sumbar, akan membuka objek wisata penyu bertelur untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara, sekaligus sebagai upaya pelestarian hewan tersebut dari ancaman kepunahan. Pulau ini ditetapkan sebagai kawasan pusat konservasi melalui SK Bupati Pessel pada Maret 2006 dengan payung hukum UU No.31/2004 tentang perikanan. "Konsep wisata tersebut sedang susun dan diharapkan segera terealisasi menjadi objek baru yang menarik untuk dikunjungi wisatawan," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumbar, Ir. Yosmeri di Painan, Pessel seperti yang dikutib dari Antara beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnya bagaimanakah pengembangan yang paling baik bagi ekowisata penyu laut ini agar bisa memadukan kepentingan ekonomi dan ekologi? .Padahal ekowisata berbasis penyu dianggap menjadi piranti yang tepat sebagai sumber pendapatan alternatif berdasarkan Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu Laut pada tahun 2001 (RAN-2001).

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi oleh Indrawadi, S.Pi
Ekowisata berbasis penyu laut tepat diterapkan di Perairan Sumatera Barat, khsususnya di Pesisir Selatan. Selain akan membuat Pesisir Selatan menjadi destinasi wisata dengan keunikan tersendiri, ekowisata berbasis penyu juga akan berperan penting dalam melestarikan kekayaan hayati. Hal itu diungkapkan Kasubdin Penangkapan Dinas Perikanan Pesisir Selatan, Ir. Edwil ,di sela-sela kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Habitat Perairan, Pesisir dan Kelautan Pascasarjana UBH, Sabtu (1/8-07) kemarin, mendukung gagasan Yosmeri yang sampai saat ini masih sebagai kepala Dinas Perikanan Pessel.

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi oleh Indrawadi, S.Pi
Menurutnya, perairan Indonesia dikaruniai enam spesies dari tujuh spesies penyu laut yang masih tersisa di bumi. Namun, seperti halnya di negara-negara lain, populasi yang ada di Indonesia juga tidak luput dari ancaman kepunahan. Peraturan pemerintah (PP) untuk melindungi keberadaan penyu laut ini pun agaknya tidak mempan untuk menurunkan dan mencegah terjadinya perdagangan penyu dan telurnya. Bahkan, karena tingginya perhatian internasional terhadap satwa yang masuk dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Apendix 1.


Dari kaca mata industri pariwisata, Perairan Sumbar khususnya Pesisir Selatan relatif masih perawan dan belum tersentuh eksploitasi mega proyek seperti yang dialami Bali. Dengan kekayaan yang cukup lestari, Pessel lebih gampang memulai dan mengembangkan ekowisata dibandingkan Bali. Ekowisata ini menjadi penting karena sejumlah pulau di daerah ini sebagai daerah peneluran dan penetasan penyu laut.


''Tiap upaya konservasi penyu laut berpeluang besar memperoleh perhatian dan dukungan dari dunia internasional. Exspose di tingkat global, tentunya akan sangat menguntungkan bagi industri pariwisata Sumatera Barat,'' kata Edwil seraya menambahkan, ekowisata berbasis penyu pun menjadi lahan subur sumber pendapatan alternatif masyarakat.

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi oleh Indrawadi, S.Pi
Pada dasarnya pengambilan penyu dan telurnya secara untuk diperdagangkan, sebaiknya jangan. Sebab, menurut Manajer Konservasi Penyu Laut World Wildlife for Nature (WWF) drh. IB Windia Adnyana, Ph.D., keunikan siklus hidup penyu laut sangat menjanjikan untuk dijadikan daya tarik pariwisata. ''Makin tingginya kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan, kebutuhan untuk menikmati objek wisata yang ramah lingkungan makin besar,'' paparnya. Dikatakan Windia, aktivitas yang sifatnya konvensional seperti pengamatan aktivitas perkawinan saja sudah mampu menarik minat wisatawan. Apalagi, jika kemasannya memadai dan bernilai jual tinggi, tentu paket-paket wisata penyu laut ini akan makin diminati. Saat ini beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Australia sudah berhasil mengembangkan ekowisata penyu laut,(dari berbagai sumber).


Sejalan dengan RAN-2001, pengembangan ekowisata berbasis penyu sudah mulai dilakukan di beberapa daerah yang menjadi tempat pendaratan penyu, di antaranya di Taman Nasional Meru Betiri (TMNB), Kepulauan Derawan, Tanjung Benoa dan Serangan (Bali) serta Sukabumi. Namun, berdasarkan data dari berbagai sumber , belum ada satu daerah pun yang berhasil memadukan kegiatan pariwisata dan ekologi dengan memuaskan. Padahal, dengan melihat makin menurunnya populasi penyu yang ada di Indonesia, upaya tersebut sangat penting untuk dilakukan.


Rencana ekowisata berbasis penyu di Pesisir Selatan ini sebagai wisata penyu bertelur sejalan dengan ditetapkannya Pessel sebagai pusat konservasi penyu di wilayah Indonesia bagian Barat oleh pemerintah. Terkait penetapan itu, di Pulau Karebak Ketek Pessel kini telah dibangun berbagai fasilitas penangkaran penyu dan melestarikan pantai-pantai di pulau itu sebagai tempat penyu bertelur. Selain fasilitas penangkaran, juga telah dibangun dua unit rumah penginapan untuk wisatawan yang datang. Pembangunan kawasan konservasi dan dipadukan objek wisata tersebut didanai dengan dana APBN 2006 mencapai Rp1 miliar. Pulau Kerabak Ketek dengan luas sekitar empat hektar juga telah dibebaskan Pemkab Pessel dari pemilik ulayatnya dengan dana pembelian sebesar Rp200 juta pada tahun 2006.


Menurut Yosmeri rata-rata ada satu hingga tiga ekor induk penyu yang bertelur di pulau tersebut tiap malamnya. Angka ini relatif kecil mengingat satu ekor penyu betina bisa menghasilkan telur sekitar 100 butir. Meski dari segi populasi cenderung menurun, sektor pariwisatanya cukup menjanjikan. Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.


Edwil juga menambahkan bahwa program penangkaran yang dilakukan di Pulau Karabak berjalan cukup baik. Terjadi peningkatan jumlah penyu betina yang mendarat, jumlah telur serta jumlah tukik yang berhasil ditetaskan dan dilepaskan ke laut. Diakuinya, selama ini Dinas Perikanan Pessel baru melakukan ekowisata secara terbatas, karena pada mulanya kegiatan penangkaran tersebut belum ada maksud untuk dikembangkan sebagai atraksi pariwisata. Namun, melihat tingginya potensi keuntungan ekonomi dari kegiatan wisata alam ini, DKP berencana akan meningkatkan kegiatan yang sifatnya pariwisata dengan tetap memperhatikan lingkungan.


Agaknya penanganan penyu laut sebagai ekowisata perlu dilakukan secara berkoordinasi, tidak mungkin membangun ekowisata di lokasi-lokasi peneluran, karena di beberapa pulau-pulau kecil lainnya di perairan Sumatera Barat juga terdapat lokasi tempat penyu bertelur. Sehingga pengembangan industri pariwisata yang memadukan ekonomi dan ekologi bisa tercapai. Dalam hal ini, pemerintah pusat pun mempunyai peran yang sangat sentral mengingat diperlukan peraturan-peraturan yang lebih tegas untuk mengurangi adanya perdagangan penyu secara ilegal. Jadi melalui pengembangan ekowisata berbasis penyu yang melibatkan semua stake holders keinginan untuk memanfaatkan penyu secara ekstraktif bisa dikurangi, bahkan dihentikan. Kegiatan ekowisata ini sekaligus juga memberikan dana bagi pengawasan dan pembudidayaan penyu laut tersebut.