Jumat, 04 April 2008

Solar Packed Dealer Nelayan Diresmikan


Sumber : http://www.badungkab.go.id/content/view/771/2/


Potensi sumber daya perikanan dan kelautan di Indonesia sangat besar sekali yang mencakup budidaya, penangkapan, jasa pariwisata bahari, namun belum tergarap secara maksimal. Kekayaan laut tersebut harus dapat dikelola dengan baik secara kreativitas, sehingga mampu meningkatkan perekonomian rakyat. Demikian disampaikan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Pusat Samsul M. Ma’arif saat Peresmian Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) dan Kedai Pesisir di Depan TPI Tanjung Benoa, Kec. Kuta Selatan, Sabtu (28/4). Hadir pada kesempatan tersebut pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Kadis Perikanan dan kelautan Pro. Bali, DPRD Badung, Kabag/Kadis, Camat Kuta Selatan, Lurah/Bendesa Adat Tanjung Benoa serta kelompok nelayan.

Lebih lanjut Samsul ma’arif mengatakan besarnya potensi perikanan dan kelautan tersebut hendaknya dapat dimanfaatkan oleh para nelayan dan masyarakat pesisir untuk meningkatan kesejahteraannya. Oleh karena itu, Departemen Perikanan dan Kelautan RI melalui Bidang Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan perhatian dan bantuan program kegiatan kepada nelayan dan masyarakat pesisir seperti berupa “Kedai Pesisir” dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari para nelayan untuk melaut dan menyiapkan kebutuhan sehari-hari para nelayan. Disamping itu, untuk pemberdayaan masyarakat pesisir sekaligus mengatasi dampak kenaikan harga BBM terhadap perekonomian masyarakat pesisir melalui program pembangunan SPDN serta program pengembangan sumber daya perikanan berupa pengembangan usaha ekonomi.

Samsul Ma’arif menjelaskan dengan pengelolaan kekayaan perikanan dan kelautan yang baik tentunya akan meningkatnya taraf hidup masyarakat serta mampu mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan perekonomian rakyat. Oleh karenanya, Departemen Perikanan dan kelautan RI tahun 2007 mulai banyak mencanangkan program-program yang menyentuh partisipasi dan peranserta masyarakat serta Pemda di seluruh Indonesia dalam rangka pengembangan usaha ekonomi masyarakat pesisir.

Sementara itu, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Badung I Wayan Suambara, SH.MM mewakili Bupati Badung menyampaikan Kabupaten Badung memiliki luas 418,52 Km2 dengan garis pantai yang panjangnya sekitar 63 Km mempunyai potensi sumber daya perikanan dan kelautan yang cukup besar. Di wilayah laut terdapat potensi budidaya, penangkapan, jasa lingkungan dengan komoditas berupa ikan, udang, rumput laut dan terumbu karang dengan biota laut lainnya serta potensi jasa-jasa lingkungan seperti rekreasi dan perkembangan wisata bahari. Sampai saat ini potensi yang dimiliki tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, yang diakibatkan adanya kendala berbagai faktor baik teknis, sosial, ekonomi maupun budaya. Selain itu kendala keterbatasan permodalan yang dimiliki oleh para petani nelayan, pelaku usaha perikanan dan kelautan.

Lebih lanjut Suambara memaparkan terkait dengan kendala-kendala itu, keberadaan SPDN dan Kedai Pesisir merupakan suatu terobosan yang sangat baik dalam rangka meminimalkan adanya kendala-kendala tersebut. Melalui Kedai Pesisir para nelayan dapat memenuhi kebutuhannya untuk melaut dan menyiapkan keperluan sehari-hari. Selain itu, dengan keberadaan SPDN masyarakat nelayan lebih mudah dan murah mendapatkan BBM. Pihaknya menyampaikan terima kasih kepada Dirjen Kelautan karena telah memberikan perhatian dan bantuan kepada masyarakat berupa “Kedai Pesisir” dan program pembangunan SPDN yang sangat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari para nelayan untuk melaut dan menyiapkan kebutuhan sehari-hari para nelayan.

Suambara berharap keberadaan SPDN dan Kedai Pesisir ini dapat meningkatkan pendapatan para nelayan dan masyarakat pesisir di Badung, sehingga bermuara pada peningkatan taraf hidupnya. Dengan adanya program dan kegiatan ini, Pemkab Badung memiliki komitmen tetap memperhatikan dan memberikan ruang pada sektor lainnya seperti sektor kelautan dan perikanan untuk saling bersinergi.

Kadis Perikanan dan Kelautan Badung Putu Oka Swadiana, A.PI,S.Sos melaporkan untuk pemberdayaan masyarakat pesisir dan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat pesisir terhadap BBM, maka Kab. Badung tahun anggaran 2006 memperoleh program pembangunan SPDN dari Dirjen Kelautan dengan dana Rp.525 juta dan pembangunanya menghabiskan biaya Rp. 996.115.000,- Selain itu, Dirjen Kelautan memberikan bantuan berupa Kedai Pesisir dalam rangka memenuhi kebutuhan nelayan sehari-hari untuk perbekalan melaut dan memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat pesisir dengan jumlah dana Rp.150 juta. Tahun 2007 Kab. Badung juga memperoleh program pengembangan sumber daya perikanan berupa pengembangan usaha ekonomi sebesar Rp.850 juta. Sedangkan untuk gedung Kedai Pesisir masih meminjam sementara di gedung TPI Tanjung Benoa.

Lebih lanjut Oka Swadiana menjelaskan pengelolaan SPDN dan Kedai Pesisir ini diserahkan kepada Koperasi nelayan Segaraning Harum Tanjung Benoa. Sementara dermaga pengisian BBM ke perahu nelayan dalam keadaan rusak , pihaknya berharap bantuan dari Dirjen Kelautan untuk membantu pembuatan dermaga yang lebih memadai.

Pada kesempatan itu, Dirjen kelautan Samsul Ma’arif didampingi Asisten Ekonomi dan Pembanguan Wayan Suambara mendatangani prasasti peresmian SPDN dan melakukan pengisian BBM disalah satu kapal nelayan.

Selasa, 25 Maret 2008

STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR NUSA PENIDA

Sumber : http://www.baliprov.go.id/tabloid/index.php?ed=1&th=07&id=7
Oleh: I Made Sudiarkajaya, S.IP., MM.
(Ka. Sub Bid. Litbang Bappeda Kab. Klungkung)

Pendahuluan

Nusa Penida merupakan salah satu kecamatan kepulauan di Bali yang secara geografis terletak di wilayah Kabupaten Klungkung yang terdiri dari 3 (tiga) pulau yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan. Sebagai kecamatan kepulauan, Nusa Penida dengan panjang garis pantai 104 Km berpasir putih, laut sekitarnya yang sangat jernih dengan berbagai jenis ikan warna-warni serta terumbu karang yang indah. Jumlah penduduk 46.749 jiwa (8.543 KK) terdiri dari 16 desa dinas dan 24 desa adat. Secara umum kondisi topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit. Desa-desa pesisir sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan 0-3 % dari ketinggian lahan 0-268 m. dpl. Semakin keselatan kemiringan lerengnya semakin bergelombang. Mata pencaharian utama penduduk adalah pada sector pertanian, perkebunan, peternakan (dengan produk unggulan sapi Bali) dan perikanan (dengan produk unggulan budi daya rumput laut). Kehidupan sehari-hari masyarakat masih kental diwarnai dengan adat dan tradisi lokal. Pulau Nusa Penida bisa ditempuh melalui Sanur dengan menumpang perahu yang ditempuh selama + 1,5 jam perjalanan, melalui Kusamba dengan menumpang jukung/perahu + 1jam, melalui Padang Bai dengan menumpang speed boat ditempuh + 1jam. Setiap harinya pulau ini disinggahi kapal pesiar dari Pelabuhan Benoa, seperti Quicksilver tujuan Pantai Toyopakeh, Balihay/Wakalouka/Aristoket tujuan Pantai Lembongan dan Jungut Batu, Bounty dengan tujuan Pantai Toyapakeh, menempuh perjalanan selama + 1jam.


Empowerment versus Planning Wilayah Pesisir (Coastal Zone)

Pulau Nusa Penida sebagai wilayah pesisir (Coastal Zone) merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik serta problema yang unik dan kompleks. Kompleksitas di wilayah pesisir ini ditandai pula dengan keberadaan berbagai pengguna serta berbagai entitas pengelola wilayah pesisir yang mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Nusa Penida. Dengan memahami karakteristik wilayah pesisir yang sarat dan rentan dengan problema yang unik serta kompleks, maka strategi pengembangan kawasan pesisir Nusa Penida harus mengikuti model perencanaan pengembangan kawasan terkini yang selalu berorientasi pada perencanaan berbasis masyarakat. Tetapi, bagaimana peran masyarakat itu diterjemahklan selalu menjadi persoalan yang sangat rumit. Masyarakat lokal sebagai penghuni kawasan pesisir memang sangat unik. Introduksi model-model perencanaan harus dilaksanakan secara hati-hati.

Untuk itu perlu diperhatikan tiga tingkatan peran masyarakat yaitu:

  1. Peran Filosofis
  2. Peran Konseptual
  3. Peran Teknis

Pada kebanyakan model perencanaan yang mengusung perencanaan partisipatif, peran-peran tersebut telah dimanipulasi dan diisolasi hanya pada tingkatan yang ketiga saja yaitu pada peran teknis. Coba kita pahami ketiga tingkatan peran masyarakat tersebut:

  1. Peran Filosofis
    Pada tingkatan ini, pengakuan dan penghormatan terhadap cara pandang masyarakat local terhadap ruang kelautan harus dilakukan dalam rangka perumusan konsep-konsep perencanaan yang kelak akan merubah tatanan dan wajah fisik tata ruang dimana saat ini mereka hidup. Perubahan-perubahan fisik hendaknya tidak berubah apalagi mencabut akar makna ruang kelautan bagi masyarakat local kawasan pesisir. Cara pandang mistisisme dan naturalisme hendaknya tidak dinegasi atau ditenggelamkan atas nama cara pandang fungsionalisme yang sangat rentan pada intervensi atau pemaksaan cara pandang eksternal terhadap cara pandang masyarakat local. Sering terjadi manipulasi atau pembelokan kepentingan-kepentingan luar atas nama kepentingan masyarakat lokal.
  2. Peran Konseptual
    Pada tingkatan ini para planner yang diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat local kawasan pesisir harus mampu membaca dan mengkonstruksikan konsep-konsep hubungan antar kelompok (kluster) masyarakat, kepentingan-kepentingan, tabu-tabu dan keberatan-keberatan, serta seting naturalis hubungan antar penghuni lokal dengan ruang natularnya. Dalam konteks dan tingkatan ini konsep-konsep perencanaan yang muncul harus mengarah pada misi untuk menganyam dan memperkuat jaringan-jaringan kluster system nilai (sosial, ekonomi, budaya dan keruangan) yang telah hidup dan eksis dalam waktu yang panjang. Konsep-konsep perencanaan hendaknya tidak membuat perubahan ruang kelautan menjadi asing bagi masyarakat local penghuni kawasan pesisisr.
  3. Peran Teknis
    Peran teknis yang dimaksud adalah peran kasat mata masyarakat local dalam proses pembuatan rencana pembangunan kawasan pesisir dimana mereka hidup. Peran ini sangat penting dalam rangka mengajak masyarakat local dapat mengetahui, merasakan dan membayangkan perubahan-perubahan ruang hidupnya di masa mendatang.

    Pemanfaatan dan peruntukan kawasan peisisr Kecamatan Nusa Penida saat ini hanya sebatas untuk Kawasan Pariwisata, berdasarkan Peraturan daerah Provinsi bali Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi bali ditetapkan nama-nama Kawasan Pariwisata serta Obyek dan daya Tarik Wisata Khusus (ODTWK) di Provinsi Bali, yang mana kawasan pariwisata Kabupaten Klungkung ditetapkan 7 (tujuh) kawasan pariwisata yang semuanya terdapat di Kepulauan Nusa Penida yaitu meliputi : Desa Suana, Batununggal, Ped, Toyapakeh, Sakti, Lembongan dan Desa Jungutbatu. Dari 7 (tujuh) desa yang ditetapkan sebagai kawasan pariwisata tersebut, hanya 1 (satu) desa sebagai kawasan pariwisata yang bukan kawasan pesisir yaitu Desa Sakti.

    Untuk meminimize permasalahan yang muncul akibat Pemanfaatan dan peruntukan kawasan pesisir yang tidak berpihak pada kepentingan dan empowerment masyarakat local, maka pentingnya sikap dan tindakan yang diperlukan bagi actor dalam kegiatan management sumber daya alam dan lingkungan yang terintergrasi (Born dan Margerum, 1995). Born dan Margerum menekankan diperlukannya tiga pendekatan pokok dalam proses pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang terintegrasi, yaitu inclusiveness, interaction dan strategic. Inclusiveness, merupakan pendekatan proses perencanaan dan pengelolaan yang berpandangan secara menyeluruh dan luas yang melihat fungsi, peran dan tindakan serta kaitan antar factor-faktor internal pokok (di dalam wilayah pesisir), maupun keterkaitan antara faktor internal dengan faktor eksternal di dalam ekosistem yang lebih luas di luar wilayah kendali (kontrol) pengelolaan. Walupun demikian, pendekatan ini tidak mensyaratkan untuk memasukkan seluruh faktor perencanaan, namun lebih dibatasi pada faktor pokok/kunci yang terkait.

    Disamping itu perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi, mensyaratkan adanya interaksi yang terus menerus diantara berbagai stakeholders (aktor-aktor yang dapat mempengaruhi proses maupun hasil perencanaan/pengelolaan secara berarti) di dalam proses pengelolaan. Interaksi tersebut dilakukan melalui proses pertukaran informasi, konsultasi, maupun negosiasi dan tawar menawar. Untuk dapat mencapai proses negosiasi serta tawar menawar pihak-pihak yang saling berselisih (konflik) harus mempunyai kekuatan politik (political power dan support) yang secara relatif berimbang. Oleh karenanya, secara implisit pendekatan yang secara interaktif ini menyarankan proses pemberdayaan bagi golongan-golongan marginal yang dapat dengan mudah tergusur dari wilayah pesisir oleh rekyasa pihak-pihak yang mempunyai kekuatan yang lebih besar.

    Pendekatan yang bersifat strategic di dalam perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi menekankan pada 2 (dua) hal pokok yaitu:

  4. Secepatnya mengarah atau berfokus pada isu-isu pokok atau kunci
  5. Berorientasi pada program-program aksi.

Secara tidak langsung, pendekatan ini menekankan pada proses reduksi (reduction process) yang tertuju pada isu-isu kunci dan tidak secara panjang lebar membahas isu dan masalah bukan pokok. Pendekatan strategic mengarah pada program-program aksi, artinya proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir (coastal zone) haruslah berorientasi pada pelaksanaan (implementasi). Patton (1985), mengungkapkan bahwa perencanaan yang berorientasi pada implementasi adalah merupakan suatu proses perencanaan dimana setiap pada tahapnya selalu mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dapat atau tidaknya usulan-usulan yang disajikan untuk dapat dilaksanakan berdasar kondisi teknis, ekonomis, sosial, fisik lingkungan, administratif dan politik yang melingkupinya.


Implementasi Akibat Karakteristik Wilayah Pesisir (Coastal Zone)

Seperti yang telah diuraikan, secara ekologi bahwa wilayah pesisir (coastal zone) atau kawasan pesisir laut, sebagai entitas kawasan mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan daratan. Perbedaan tersebut mulai dari karakter fisikal-natural, karakter pemanfaatan sampai ke cara pandang dari pengguna. Perbedaan tersebut muncul karena kawasan ini merupakan interface dari sua sistem kehidupan yang berbeda, oleh karenanya secara ekologis kawasan ini sangat rentan terhadap perubahan.

Perubahan yang menonjol pada komponen dan rantai interaksi utama ekosistem pantai, terutama diakibatkan oleh proses pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam pantai, yang dapat mengakibatkan terganggunya proses dan integritas ekosistem. Di kawasan ekologi tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar yaitu:

  1. Potensi terbarukan (renewable), seperti hutan mangrove, coral reef, sea grass. Algae, bioactive substances
  2. Potensi tak terbarukan (non renewable), seperti bahan mineral (kelas A, B dan kelas C)
  3. Jasa lingkungan (environmental services), seperti industri maritime, pariwisata.

Karena banyaknya pengguna (multiple resources users), cara pandang kawasan pesisir laut juga berbeda-beda. Sebagai akibat dari karakteristik yang rentan, selalu berubah dipadukan dengan cara pandang seperti tersebut diatas, maka adalah sangat wajar kalau dari tahun ke tahun kawasan ini ekosistemnya semakin rusak. Hal tersebut juga disebabkan oleh miss use dan over use yang mencakup over laping berbagai kepentingan dari aktor/institusi pengguna sumber daya kawasan pesisir laut. Seperti kawasan pesisir Pulau Lembongan untuk kawasan pariwisata yang telah berkembang pesat terjadi konflik kepentingan antara nelayan lokal dengan penyedia pariwisata. Karena banyaknya aktor maka berakibat terhadap munculnya multiple management entities, yang akan diikuti oleh fregmentasi di dalam pengambilan keputusan. Di dalam khasanah administrasi publik, situasi tersebut akan menimbulkan tidak efektif dan tidak efisiennya pengelolaan wilayah pesisir (coastal zone).

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pengembangan pariwisata/wisata bahari seyogyanya berbasis masyarakat, sehingga mampu mengurangi kemiskinan dan diharapkan bahwa pengembangan wisata bahari di Nusa Penida akan dapat merupakan strata penopang ekonomi masyarakat Nusa Penida yang biasanya masyarakat sebagai “stakeholders” diharapkan dapat menjadi “shareholders”. Sebagaimana diketahui masyarakat Nusa Penida memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Kabupaten Klungkung. Berdasarkan data kantor Kesatuan Bangsa dan Pemberdayaan Masyarakat dan Kantor Keluarga Berencana Kabupaten Klungkung tahun 2004 dari 9.494 jiwa penduduk miskin di Kabupaten Klungkung, 3.469 jiwa terdapat di Nusa Penida. Disamping itu sekaligus melakukan konservasi lingkungan, sebagai wadah dari segala sesuatu kehidupan dan karunia Tuhan. Namun sebagai manusia yang mengandalkan perjuangan sebagai pola kelanjutan mempertahankan hidup maka apabila pola mempertahanklan hidup ini tidak disertai dengan tata krama yang benar, maka lingkungan dan keseimbangan ekosistem akan menjadi target dan dampak dari aktifitas pertahanan hidup masyarakat. Dalam hal ini keadaan ekonomi masyarakat mempunyai peran yang sangat penting. Secara umum pola kehidupan masyarakat pesisir kurang peduli terhadap lingkungan, yang sangat ironis adalah bahwa mereka sebenarnya dihidupkan oleh lingkungan yang mereka tempati termasuk laut yang mereka arungi. Dalam strategi ini dituntut kemitraan dan partisipasi masyarakat sejak dini.

Senin, 24 Maret 2008

Program Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP)

Sumber : http://www.bappenas.go.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=27

Pemerintah dalam hal ini Bappenas akan melaksanakan program Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP) sebagai program percontohan di 6 propinsi yaitu propinsi Sumatra Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Banten, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Program MFCDP ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengatasi akar permasalahan penyebab kemiskinan.


Program Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP)
Kerjasama antara Bappenas dan World Bank

Latar Belakang
Sebagai respon terhadap permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat di kawasan pesisir, pemerintah dalam hal ini Bappenas akan melaksanakan program Marginal Fishing Community Development Pilot (MFCDP) sebagai program percontohan di 6 (enam) propinsi yang terdiri dari Propinsi Sumatra Utara (di Kabupaten Tapanuli Tengah), Propinsi Nusa Tenggara Barat (di Kabupaten Dompu), Propinsi Sulawesi Utara (di Kabupaten Kepulauan Sangihe), Propinsi Banten (di Kabupaten Serang), Propinsi Sulawesi Selatan (di Kabupaten Bantaeng) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (di Kabupaten Muna). Program MFCDP ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengatasi akar permasalahan penyebab kemiskinan.
Lahirnya program MFCDP selain didasari atas persoalan kemiskinan juga didasari atas isu-isu strategis tentang pengelolaan kawasan pesisir, seperti eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan daya produksi alam, terbatasnya sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik, rendahnya penggunaan teknologi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya posisi tawar nelayan kecil, ketergantungan kepada pasar dan kurang berperannya nelayan kecil dalam kelembagaan masyarakat desa serta tumpang tindihnya kebijakan yang mengatur kehidupan masyarakat pesisir dan perikanan.
Selain isu dan persoalan diatas, lahirnya program MFCDP juga didasari atas keberhasilan program kemiskinan sebelumnya yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PPK merupakan program pengentasan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan, merupakan tindak lanjut dari program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Program IDT menekankan pada tiga komponen utama yaitu penyediaan dana bergulir sebagai modal usaha ekonomi produktif, penyediaan tenaga pendamping dan pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal. Selain menekankan tiga komponen utama tersebut, program PPK juga menekankan pada model pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (Community Driven Development).
Pelaksanaan program PPK meskipun sudah menyentuh masyarakat pesisir, namun baru sebagian kecil masyarakat pesisir yang dapat memanfaatkannya. Sebagai pengembangan dan tindak lanjut program PPK, Bappenas melaksanakan program MFCDP. Sumber dana berasal dari hibah Japan Social Development Fund (JSDF) No. TF. 026799, dengan nilai sebesar Rp. 1.133.000.000,- ( satu milyar seratus tiga puluh tiga juta rupiah) per kabupaten.

Program MFCDP
Inti dari pelaksanaan program MFCDP ini adalah pemberian Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada nelayan kecil yang hidupnya tergantung dengan sumberdaya pesisir serta mempunyai usaha potensial untuk dikembangkan. Bantuan tersebut akan diperuntukkan untuk pembangunan sarana prasarana sosial ekonomi dan teknologi untuk usaha nelayan, yang peruntukkannya didasarkan atas kebutuhan masyarakat setempat yang disepakati secara musyawarah dan mufakat dan dituangkan di dalam dokumen RPP dan RPKP.
Keberpihakan kepada nelayan kecil, partisipatif, desentralisasi keterpaduan, karaktersitik lokal dan keberlanjutan merupakan pendekatan yang akan dipergunakan didalam pelaksanaan Program MFCDP. Prinsip pelaksanaan kegiatan adalah good governance meliputi transparancy dan accountable.

Tujuan
Secara umum tujuan Program MFCDP adalah untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam mengelola sumberdaya perikanan yang lebih baik melalui upaya pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

Hasil yang diharapkan
Hasil atau output yang diharapkan dari program ini adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berbasis kesepakatan antara pengguna sumberdaya pesisir dan laut yang dituangkan dalam dokumen RPP (Rencana Pengembangan Perikanan) dan RPKP (Rencana Pengembangan Kawasan Pesisir) , terwujudnya sarana dan prasarana sosial ekonomi sebagai pendukung usaha nelayan, terwujudnya pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan, terwujudnya jaringan akses pasar bagi nelayan, meningkatnya kemampuan nelayan dalam melakukan usaha serta terwujudnya dan berkembangnya kebijakan baru tentang pengelolaan kawasan dan sumberdaya pesisir berdasarkan partisipasi masyarakat lokal.

Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari program MFCDP ini antara lain nelayan kecil dapat mengelola usaha secara mandiri dan berkelanjutan, nelayan merasakan kemudahan dan kelancaran dalam melaksanakan kegiatan usaha, pendapatan usaha nelayan kecil meningkat, kualitas hasil usaha menjadi lebih baik dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, mengurangi resiko nelayan dalam memasarkan hasil usahanya dan dapat memenuhi permintaan pasar, nelayan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga siap bersaing dengan pihak lain dan mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam melaksanakan dan mengembangkan usaha secara berkelanjutan.

Pelaksanaan Kegiatan
Beberapa kegiatan Program MFCDP akan dilaksanakan di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Kegiatan di tingkat pusat akan dilaksanakan oleh Sekretariat Program MFCDP yang didukung oleh Konsultan Manajemen ingkat Pusat atau National Management Consultant (NMC), Sedangkan pelaksanaan kegiatan di daerah akan dilaksanakan oleh Lembaga Fasilitator Kabupaten (LF-Kab) di masing-masing daerah. Didalam pelaksanaanya, LF-Kab akan berkoordinasi secara rutin dengan NMC.
Kegiatan di tingkat Pusat terdiri dari Workshop dan Sosialisasi Nasional, TOT bagi fasilitator tingkat kabupaten dan kawasan, supervisi daerah, penyusunan studi kasus, penyusunan buku best practices, verifikasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), monitoring dan evaluasi dan penyusunan laporan khusus tentang terjadinya kecurangan dan penyelewengan dana program. Di dalam implementasi kegiatan, NMC akan selalu berkoordinasi dengan sekretariat program dan Kelompok Kerja (Pokja) Nasional, yang telah dibentuk oleh Bappenas. Anggota Pokja Nasional terdiri dari para birokrat dari Kantor Menteri PPN/ Bappenas dan departemen terkait (Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri) dengan total anggota 19 orang yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana.
Sedangkan kegiatan yang akan dilaksanakan di tingkat daerah adalah sosialisasi daerah, melaksanakan studi (jaringan pasar, teknologi dan kebijakan), penyusunan dokumen RPP dan RPKP yang merupakan dokumen pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, pelatihan bagi fasilitator daerah, pelatihan bagi kelompok sasaran, penyaluran BLM dan lokakarya evaluasi. Di dalam implementasi kegiatan, LF-Kab selain akan berkoordinasi rutin dengan Pokja Daerah yang ditunjuk oleh Bupati yang terdiri dari beberapa dinas terkait juga akan berkoordinasi dengan lembaga lokal yang telah dibentuk oleh Program PPK yaitu Penanggung jawab Administrasi Kegiatan (PjAK), Penanggung jawab Operasional Kegiatan (PjOK) dan Unit Pengelola Kegiatan (UPK). Ketiga lembaga tersebut akan melakukan fungsi dan tugasnya sebagai pengelola dan penyalur BLM yang diperuntukkan untuk pembangunan sarana dan prasarana sosial ekonomi dan teknologi untuk nelayan.

Penutup
Dengan dilaksanakannya kegiatan Sosialisasi Nasional Program MFCDP ini, sebagai salah satu bentuk transparansi pemerintah di dalam melaksanakan sebuah program yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan. Diharapkan dengan dipublikasikannya program ini, masyarakat dan stakeholder terkait baik di tingkat Pusat maupun Daerah akan membantu mensukseskan program ini sekaligus akan memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program dari tahap awal sampai tahap akhir.
Program ini sebagai bukti bahwa pemerintah masih peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan negara, khususnya permasalahan kemiskinan di kawasan pesisir. Program MFCDP memang bukan program pertama pemerintah dan tidak akan mampu menyelesaikan secara utuh problem kemiskinan yang sedang kita dihadapi. Untuk itu marilah kita bersama-sama membantu pemerintah dengan menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia, agar permasalahan kemiskinan dapat segera diatasi bersama. Permasalahan tersebut bukan tugas pemerintah pusat saja, tetapi juga merupakan tugas pemerintah daerah, swasta, pihak perbankan, lembaga-lembaga ekonomi dan sosial kemasyarakatan serta masyarakat itu sendiri.

Ecological Assesment Of Banda

Sumber : http://www.terangi.or.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=1


UNESCO bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kedutaan Belanda, dan beberapa institusi di Indonesia, telah mengadakan survei ekologi sumber alam Kepulauan Banda. Tujuan utama dari analisa ini adalah untuk mengumpulkan daftar yang lengkap dari komunitas karang dan ekosistem pesisir lainnya di Kepulauan Banda.

UNESCO bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kedutaan Belanda, dan beberapa institusi di Indonesia, telah mengadakan survei ekologi sumber alam Kepulauan Banda. Tujuan utama dari analisa ini adalah untuk mengumpulkan daftar yang lengkap dari komunitas karang dan ekosistem pesisir lainnya di Kepulauan Banda. Hasil ini juga akan memberikan sumbangan untuk:

  • Meningkatkan pengertian ilmiah dari proses alam, budaya, dan sosial, yang melibatkan interaksi manusia dengan lingkungan pesisir
  • Memberikan informasi untuk pengambilan keputusan di tingkat propinsi dan daerah mengenai penggunaan sumber daya pesisir.
  • Membangun rangka kerja untuk perlindungan dan pembangunan yang berkesinambungan
  • Mengidentifikasi pendapatan alternatif untuk mengurangi dampak dari kegiatan penduduk setempat pada komunitas pesisir
  • Menguatkan kerjasama rangka kerja regional

Studi yang dilakukan bertujuan untuk memperlihatkan pentingnya analisa ekologi sebagai alat dalam merencanakan zona pesisir. Data yang terkumpul akan menjadi dasar yang signifikan bagi perumusan masa depan Rencana Pengelolaan Pesisir Terpadu Kepulauan Banda. UNESCO bekerja sama dengan Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) telah mulai mengerjakan kumpulan data sekunder yang meliputi topik-topik sebagai berikut:

  • Geografi Fisik
  • Ekosistem Pesisir dan Lautan
  • Taksa Hewan Laut yang utama
  • Habitat daratan
  • Keanekaragaman Hayati dan Biogeografi
  • Manusia dan Lingkungan Laut
  • Sasi - pengelolaan sumberdaya tradisional
  • Konservasi sumberdaya kelautan

PROGRAM PEMBINAAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR

Sumber : http://www.malangkab.go.id/dinaskelautan/index.cfm?id=Pesisir.html

Wilayah Kabupaten Malang memiliki 6 Kecamatan Pantai, yaitu Donomulyo, Bantur, Gedangan, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo dan Ampelgading yang mempunyai arti strategis dengan potensi sumberdaya alam dan jasa linkungan yang terkandung di dalamnya. Dengan panjang garis pantai Kabupatren Malang 85,92 km atau menempati urutan ke-3 di Jawa Timur, ditambah luas perairan laut yang menempati ranking ke- 3 setelah Kabupaten Banyuwangi dan Jember, seharusnya masyarakat pesisir Kabupaten Malang merupakan masyarakat yang dapat mengoptimalkan potensi diatas dan menjadi sejahtera karenanya. Namun pada kenyataannya hingga saat ini sebagian besar masyarakat pesisir, terutama nelayan masih merupakan bagian masyarakat tertinggal dibanding kelompok masyarakat lain.

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir di Kabupaten Malang telah dilakukan melalui berbagai bidang kegiatan baik yang bersifat konstruktrif maupun pembinaan SDM secara keseluruhan sesuai skala prioritas Pembangunan Kelautan dan Pesisir di Kabupaten Malang .

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan pengembangan usaha mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir dan memantapkan potensi kinerja dan usaha dari lembaga keuangan pesisir, Seksi Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir melaksanakan Kegiatan Pembinaan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan diskripsi sebagai berikut :

  • Pembinaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir sebanyak 4 kali. 2 kali dilaksanakan di Desa Pujiharjo Kecamatan Tirtoyudo masing-masing diikuti 55 orang dan 50 orang, 1 kali di Desa Purwodadi Kecamatan Tirtoyudo diikuti 60 orang dan 1 kali di Desa Tambakrejo Kecamatan Sumbermanjing Wetan diikuti 40 orang peserta.
  • Pendampingan Peningkatan Kinerja Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir yang dilaksanakan oleh Konsultan dari Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) Universitas Negeri Malang pada Koperasi “MINA BAHARI” Desa Pujiharjo Kecamatan Tirtoyudo dan LEPP-M3 “MALANG SELATAN JAYA” Desa Tambakrejo Kecamatan Sumbermanjing Wetan.

KENDALA

  • Masih terbatasnya frekwensi pembinaan dan sosialisasi dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan maupun pembinaan lain yaqng sifatnya terintegrasi antar instansi terkait.
  • Pengetahuan dan kemampuan masyarakat pesisir untuk menyerap / memahami materi pembinaan masih jauh dari harapan.
  • Sulitnya melaksanakan kegiatan tepat waktu karena pencairan dana tidak sesuai dengan rencana pengajuan pencairan.
  • Belum tampaknya partisipasi masyarakat pesisir dalam pelaksanaan kegiatan kelembagaan ekonomi dilokasi sasaran.
  • Belum adanya Tata Ruang pembangunan wilayah pesisir.

SOLUSI

  • Melaksanakan pembinaan secara kontinyu dan stimulan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir sehingga diharapkan menghasilkan perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam pengelolaan wilayah pesisir.
  • Adanya pelatihan teknis berkelanjutan tentang pengembangan usaha bagi masyarakat pesisir dengan harapan terdapat perubahan tingkat produktivitas dan pendapatan.
  • Perlu adanya kegiatan pendampingan untuk peningkatan kinerja lembaga keuangan pesisir dalam rangka membuka wawasan kelembagaan, manajerial organisasi dan keuangan serta perluasan unit usaha di lembaga tersebut yang tidak cukup dilaksanakan satu kali, mengingat tingkat SDM pesisir masih relatif perlu diberdayakan.
  • Diperlukan keselarasan waktu antara jadwal pelaksanaan kegiatan dan pencairan dana agar tercapai efektif, efisien kinerja pada pelaksana dan pelaksanaan kegiatan Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang.

Rumput Laut Pengganti Bom Ikan

Sumber : http://www.balebengong.net/2008/01/11/rumput-laut-pengganti-bom-ikan/

Keakraban Daeng Hayak (71 tahun) dengan bom ikan dan potasium, kini tinggal sejarah. Padahal, keseharian Daeng di masa lalu tak pernah lepas dari bom ikan dan potas. Pria keturunan bugis yang lahir dan besar di Desa Sumberkima Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali itu, dulunya termasuk salah satu nelayan pencari ikan dengan bom. Meski ia mengaku punya alasan untuk itu. ”Sebab saya dulu nggak tahu harus bekerja apa lagi. Sementara anak-anak harus makan dan tetap sekolah,” kenang ayah dari 10 anak itu.

Beda dulu, beda sekarang. ”Sekarang saya tahu kalau itu (bom ikan,red) merusak,” ujarnya. Daeng Hayak kini memang sudah tidak lagi menggantungkan hidupnya dari mengebom ikan. Ia kini menggantungkan hidup pada budidaya rumput laut, usaha yang kini juga diikuti oleh sekitar 180 orang nelayan lain di pesisir Gerokgak, Buleleng, Bali.

Budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian baru yang memberi keuntungan ekonomis bagi para nelayan Gerokgak. Setidaknya, keuntungan itulah yang dirasakan Daeng Hayak, sejak merintis budidaya rumput laut tersebut tahun 2005 lalu. ”Baru beberapa bulan saya tanam rumput laut, saya sudah bisa jual enam juta rupiah. Jauh lebih untung dibandingkan cari ikan pakai bom,” terang Daeng Hayak. Sejak tahun 2005 itu pula, banyak nelayan pencari ikan dengan bom dan potas di wilayah Gerokgak yang beralih ke budidaya rumput laut.

Naiknya popularitas rumput laut di kalangan nelayan sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) itu, tak cuma memberi harapan ekonomis yang tinggi bagi masyarakat pesisir Bali Barat. Setidaknya, ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di wilayah TNBB juga telah berkurang. Berdasarkan catatan WWF-Indonesia, tutupan karang yang tersisa dalam kondisi baik pada 1998 hanya sekitar 25 persen. Hal tersebut diduga karena banyaknya aktivitas pengeboman ikan. Padahal, TNBB merupakan bank bagi semua spesies hewan dan tanaman laut Bali.

Kegiatan budidaya rumput laut mulai digiatkan di kawasan Bali barat sejak Agustus 2003 oleh masyarakat bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) dan WWF-Indonesia. FKMPP merupakan forum yang terbentuk pada 2002 sebagai respon atas banyaknya bentrokan-bentrokan kepentingan antara nelayan, masyarakat, industri pariwisata, dan kegiatan pelestarian lingkungan TNBB. “Kegiatan ini dipilih sebagai mata pencaharian alternatif yang tidak membahayakan kawasan TNBB setelah melalui proses pengkajian yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat,” jelas Misnawiyanto, Ketua FKMPP.

Lahan seluas 40 Ha di perairan Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan, kini telah ditutupi budidaya rumput laut. Panen yang dihasilkan pun lumayan, mencapai 12 ton per bulan. Potensi budidaya rumput laut di kawasan luar TNBB itu pun masih terbuka lebar. Berdasarkan perhitungan, potensi lahan budidaya rumput laut di sekitar kawasan TNBB bisa mencapai sekitar 298 Ha, dengan potensi menghasilkan rumput laut kering sebesar 500-750 ton setiap panen.

Menurut aktivis lingkungan yang juga pengamat terumbu karang, Putu Iwan Dewantama, alih mata pencaharian masyarakat dari nelayan pengebom ikan menjadi petani rumput laut telah terbukti mampu mengembalikan kelestarian ekosistem bawah laut perairan Gerokgak. Dikatakan Iwan, hasil riset terakhir mencatat bahwa tutupan karang di perairan Gerokgak sudah meningkat menjadi 40 persen. Sebagai upaya membantu pelestarian terumbu karang, para nelayan juga telah sepakat tidak menggunakan patok untuk menanam terumbu karang. ”Para nelayan sepakat untuk menanam rumput laut dengan sistem apung. Mereka benar-benar telah sepakat untuk menjaga kelestarian lingkungannya,” cerita Iwan.

Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau

Sumber : http://www.coremap.or.id/print/article.php?id=466

RISET AGENDA 2005

Strategi Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Pulau Galang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau

Kota Batam sebagai salah satu wilayah Provinsi Kepulauan Riau merupakan sentra produksi dan sekaligus merupakan sentra pemasaran hasil perikanan. Salah satu kelurahan penyumbang komoditas perikanan terbesar di Kota Batam adalah Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang.

Ketergantungan masyarakat Kelurahan Pulau Abang terhadap sumberdaya perikanan sangat besar karena diperkirakan sekitar 93,65 % penduduknya bekerja sebagai nelayan, sedangkan disisi lain ada gejala hasil tangkapan nelayan cendrung menurun yang diduga kuat berdampak pada penurunan tingkat pendapatannya. Penurunan hasil tangkapan nelayan tersebut, disamping diperkirakan karena habitat sebagai tempat hidup sumberdaya perikanan tersebut mengalami degradasi dari waktu kewaktu, juga diduga karena pemanfaatannya melampaui potensi perairannya sebagai akibat banyaknya unit usaha penangkapan yang beroperasi.

Untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan keluarganya dari satu sisi dan mengurangi eksploitasi sumberdaya perikanan serta degradasi habiatnya khususnya terumbu karang di sisi lainnya, harus dikembangkan mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Namun untuk mengembangkan usaha alternatif tersebut memerlukan strategi mengingat dari satu sisi sangat tidak mudah untuk memulai sesuatu usaha yang baru bagi masyarakat nelayan yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi terhadap sumberdaya perikanan, sedangkan disisi lain suatu usaha yang baru bisanya juga rentan untuk bertahan. Strategi yang dimaksud antara lain: 1) Memilih usaha yang telah ada dilakukan oleh masyarakat di lokasi studi sehingga usaha tersebut paling tidak telah dikenal oleh masyarakat; 2) Memilih usaha disamping layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan variabel teknis, juga layak secara finansial, dimana hal ini diperkirakan suatu tolok ukur dari pada keberlangsungan atau kontinuitas komoditi yang dihasilkan dari suatu usaha yang akan dikembangkan; 3) Menentukan strategi pengembangannya berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternalnya yang merupakan langkah konkrit yang perlu dilakukan disamping untuk mewujudkan usaha-usaha tersebut, juga berkaitan dengan keberlangsungan dan pengembangannya. Untuk itu perlu dilakukan suatu studi yang secara umum untuk mengetahui strategi pengembangan usaha alternatif di lokasi studi. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk mengetahui : jenis-jenis mata pencaharian alternatif yang ada di Kelurahan Pulau Abang; jenis mata pencaharian yang layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan variabel teknis dan kelayakan finansial usaha dan strategi pengembangan usaha alternatif berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternalnya.


Metode Studi

Kegiatan studi ini dilakukan di wilayah Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Lokasi studi memfokuskan pada lokasi manajemen area Coremap II, yakni Pulau Abang Kecil dan Pulau Petong .

Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yakni: Studi Kepustakaan, Metode Survey dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, sedangkan data primer dikumpulkan melalui penelitian lapangan dengan menggunakan metode pengumpulan data Triangulation, yakni Indepth Interview, wawancara dengan menggunakan kuisioner, Focus Group Discussion (FGD) dan observasi.

Analisis data menggunakan gabungan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dianalisa secara deskriptif dengan penampilan dalam bentuk tabel, sedangkan data kuantitatif dilakukan penghitungan berdasarkan rumus-rumus tertentu.


Hasil Studi

Berdasarkan pertimbangan aspek teknis (minat masyarakat, ketersediaan bahan baku/sumberdaya alam, ketersediaan tenaga kerja, peluang pasar), usaha alternatif yang layak dikembangkan di lokasi studi Pulau Abang Kecil (RW 1 dan RW 2 Air Saga) adalah: usaha home industri kerupuk ikan, usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba, usaha ternak ayam dan usaha ternak itik. Sedangkan di lokasi studi Pulau Petong adalah: usaha home industri kerupuk ikan, usaha pengolahan ikan asin, usaha ternak ayam dan ternak itik.

Semua usaha alternatif yang layak dikembangkan secara teknis, baik di lokasi studi Pulau Abang Kecil, maupun di lokasi studi Pulau Petong, disamping dapat memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga nelayan, juga mempunyai kelayakan finansial untuk dikembangkan, yang dapat dipaparkan sebagai berikut: 1) Usaha ternak itik, dengan total investasi sebesar Rp. 3.410.900,- diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 6.434.065,-/tahun; BCR sebesar 1,51; ROI 188,68 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 6,4 bulan; 2) Usaha ternak ayam, dengan total investasi sebesar Rp. 4.457.200,-, diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 6.434.065,-/tahun; BCR sebesar 1,51; ROI 188,68 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 6,4 bulan; 3) Usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba, dengan total investasi sebesar Rp. 13.236.000,- diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 10.001.660,-/tahun; BCR sebesar 1,96; ROI 75,56 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 10,4 bulan; 4) Usaha kerupuk ikan, dengan total investasi sebesar Rp. 748.000,- diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 1.670.100,- /tahun; BCR sebesar 1,84; ROI 219,00 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 4,0 bulan; 5) Usaha pengolahan ikan asin, dengan total investasi sebesar Rp. 640.000,- diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 3.093.750,-/tahun; BCR sebesar 1,52; ROI 368,4 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 2,7 bulan.

Strategi pengembangan usaha alternatif berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternal secara umum mencakup: 1) Membentuk kelompok usaha bersama, sesuai dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan; 2) Mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja keluarga, dimana selama ini tenaga keluarga ini masih belum banyak dimanfaatkan; 3) Melakukan penyuluhan dan pelatihan: manajemen usaha dan oraganisasi, serta teknik usaha sesuai dengan usaha alternatif yang dikembangkan; 4) Melakukan pilot project dari masing-masing usaha alternatif yang akan dikembangkan jika memungkinkan, terutama untuk pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba dan ternak itik; 5) Melakukan pendampingan secara kontinyu dan sebaiknya menggunakan tenaga pendamping lapangan yang telah bertugas sejak awal proyek, karena mereka telah membaur dan dikenal oleh masyarakat sehingga diharapkan lebih efektif dan efisien; 6) Memanfaatkan cadangan dana bantuan pinjaman modal dari pemerintah untuk usaha kecil dan menengah atau ekonomi kerakyatan secara optimal dari pemerintah; 7) Perlu mendapatkan dukungan dan fasilitasi dari dinas pemerintah terkait sesuai dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan, seperti Disperindag, Dinas Kelautan dan Perikanan; Dinas Peternakan, dan Dinas Koperasi, dan lain sebagainy; 8) Membangun pola kemitraan bisnis yang memungkinkan untuk memperoleh penyediaan modal dan akses pasar serta untuk kestabilan harga.

Rekomendasi

  1. Usaha alternatif yang direkomendasikan untuk dikembangkan di lokasi studi Pulau Abang Kecil (RW I dan RW II Air Saga, Kelurahan Pulau Abang): usaha home industri Kerupuk Ikan, usaha Budidaya Ikan Kerapu dalam keramba, usaha Ternak Ayam, dan usaha Ternak Itik
  2. Usaha alternatif yang direkomendasikan untuk dikembangkan di lokasi studi Pulau Petong (RW III Kelurahan Pulau Abang) adalah: usaha home industri Kerupuk Ikan, usaha home industri Pengolahan Ikan Asin, usaha Ternak Ayam, dan usaha ternak Itik.
  3. Usaha home industri Kerupuk Ikan dapat dijadikan perioritas pertama untuk dikembangkan, karena disamping usaha ini dapat dimulai dalam bentuk skala kecil dan hampir tidak punya risiko, juga untuk pengembangannya tidak memerlukan modal yang besar.
  4. Pengembangan usaha alternatif dapat dimulai secara berkelompok dengan sistem tanggung renteng. Pada tahap awal pengembangan usaha alternatif tersebut, diperlukan pendampingan secara kontinyu yang dapat merupakan bagian dari program pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk pendampingan ini sebaiknya menggunakan tenaga pendamping lapangan yang telah bertugas sejak awal proyek. Disamping itu perlu melakukan Penyuluhan dan Pelatihan: manajemen usaha dan oraganisasi, serta teknik usaha sesuai dengan usaha alternatif yang dikembangkan;
  5. Perlu upaya untuk mendapatkan dukungan dan fasilitasi dari dinas pemerintah yang terkait dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan, seperti Disperindag, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Peternakan, Dinas Koperasi dan lain sebagainya. Upaya ini diperkirakan dapat dilakukan oleh pihak CBM bersama-sama dengan masyarakat.
  6. Perlu upaya untuk membangun pola kemitraan bisnis yang memungkinkan untuk memperoleh penyediaan modal dan akses pasar serta kestabilan harga terhadap usaha alternatif yang akan dikembangkan.
  7. Pembentukan kelompok usaha bersama; penyuluhan dan pelatihan; pembinaan dan pendampingan; serta upaya untuk mendapatkan dukungan dan fasilitasi dari pemerintah, dan upaya untuk membangun pola kemitran bisnis diperkirakan dapat dilakukan oleh pihak CBM dan pihak terkait lainnya bersama-sama dengan masyarakat.