Rabu, 19 Desember 2007

Komoditas Pertanian yang Potensial untuk Dikembangkan di Bangka Belitung

Tanggal : 19 Desember 2007
Sumber : http://www.bangkatengahkab.go.id/artikel.php?id_artikel=10


Sebagai Negara Kepulauan yang besar, Indonesia memiliki keluasan daratan yang mencapai sekitar 188,20 juta hektar. Lebih dari 50% atau sekitar 100,80 juta hektar lahan tersebut telah dikembangkan sebagai lahan pertanian yang menjadi sumber mata pencaharian utama rakyatnya sehingga Indonesia pun lebih dikenal dengan Negara Agraris (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006). Setiap wilayah propinsi telah dikembangkan dengan penanaman komoditas pertanian yang unggul sekaligus sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) propinsi serta dapat tumbuh dengan optimal di lahan-lahan wilayah tersebut.

Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang telah lama berperan sebagai wilayah yang turut menyumbangkan devisa kepada Negara melalui sektor pertanian walaupun baru berusia 7 tahun. Jauh sebelum berstatus sebuah propinsi, komoditas andalannya, “The Muntok White Pepper”, telah lama dikenal pasar lada internasional sebagai salah satu komoditas tanaman rempah-rempah yang membawa nama Indonesia ke pentas perdagangan rempah-rempah dunia.

Selain tanaman lada, Bangka Belitung juga turut andil sebagai penghasil kelapa sawit dan karet. Walaupun masih belum mengalami peningkatan pada setiap tahun ekspor, sejak tahun 2005 ketiga komoditas pertanian utama ini selalu menunjukkan angka volume dan nilai ekspor yang signifikan (Tabel 1.). Data tersebut mengilustrasikan bahwa antusiasme masyarakat, kalangan industri pertanian dan pemerintah daerah masyarakat masih tinggi untuk tetap mengutamakan pertanian sebagai sektor yang menjanjikan bagi sumber mata pencaharian kehidupan, sekaligus sebagai sektor industri yang masih mampu memberikan keuntungan dan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berarti di samping sektor pertambangan timah.

pic_tbl1_400

Di tengah banyaknya masyarakat yang beralih pada penambangan timah inkonvensional (TI) sejak beberapa tahun silam, komoditas pertanian, khususnya lada, tetap masih bisa menyumbangkan bagian persentase yang besar dalam PAD Bangka Belitung. Walaupun harga lada tidak setinggi di saat masa kejayaannya, masyarakat masih mampu berpikir bijak dan mengambil keputusan yang tepat untuk tetap mempertahankan komoditas ini. Pemerintah daerah pun, melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan Bangka Belitung, telah berkolaborasi dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bangka Belitung dalam mengembangkan inovasi teknologi penanaman lada terutama pengadaan bibit lada yang bebas penyakit untuk mencegah penyebaran penyakit kuning (sebagai penyakit utama tanaman lada di Bangka Belitung) serta pengembangan lada dengan panjatan hidup untuk mengurangi biaya produksi.

Tanaman kelapa sawit juga telah berperan aktif sebagai penyumbang bagi PAD Bangka Belitung. Beberapa perusahaan perkebunan swasta yang bergerak di bidang industri kelapa sawit telah lama berkiprah sebagai penyerap tenaga kerja bagi masyarakat di sekitar perkebunan dan sekaligus sebagai sumber pemasukan pendapatan bagi pemerintah daerah setempat. Sampai tahun 2007 ini, Bangka Belitung telah mampu menembus pasar internasional untuk mengekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke Vietnam, Malaysia, dan India. Program-program yang mengarahkan pada pengembangan komoditas ini juga sudah mulai diluncurkan oleh pemerintah daerah, seperti pengadaan bibit kelapa sawit yang berkualitas dari luar Bangka Belitung untuk petani, contohnya dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan serta peningkatan keterampilan dan kualitas petani melalui pembentukan kelompok tani mandiri.

Perhatian pemerintah daerah juga mulai tercurahkan untuk pengembangan tanaman karet. Baru-baru ini Pemerintah Bangka Tengah melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanannya telah meluncurkan suatu program pembagian sejuta bibit tanaman karet kepada masyarakat yang berkeinginan mengusahakan tanaman ini tetapi mengalami kesulitan permodalan awal. Masyarakat juga mulai perlahan-lahan beralih konsentrasi pada tanaman penghasil getah ini karena harganya pun telah menggiurkan dan bisa diharapkan sebagai alternatif mata pencaharian pengganti andaikan pendapatan dari penambangan timah yang sudah mulai berkurang. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh kalangan industri pertanian dan pengolahan hasil pertanian untuk mendirikan pabrik pengolahan getah karet seperti di Desa Petaling untuk dikembangkan di wilayah lain di Bangka Belitung. Selain ketiga komoditas utama tersebut, tidak sedikit juga masyarakat yang telah mengusahakan tanaman pertanian lainnya. Walaupun belum bisa memenuhi permintaan pasar lokal untuk konsumsi masyarakat Bangka Belitung, tanaman sayur-mayur dan buah-buahan lokal telah banyak dikembangkan oleh masyarakat petani dan ini dapat membantu mengurangi volume impor kedua komoditas tersebut dari luar Bangka Belitung. Bahkan Bangka Belitung telah memiliki kawasan yang dijadikan lumbung beras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di pasar lokal sekaligus meminimalisir volume impor dari luar propinsi.

BPTP Bangka Belitung telah mengembangkan inovasi pengusahaan tanaman sayuran di lahan bekas tambang yang telah dipulihkan kembali tingkat kesuburannya. Tanaman buah lokal, terutama jeruk, telah banyak dikembangkan di berbagai wilayah di Bangka Belitung. Sebagai produsen utama beras di Bangka Belitung, pemerintah daerah telah mencanangkan Desa Rias di Kabupaten Bangka Selatan sebagai pusat lumbung beras karena tingkat kesesuaian lahan di sana memang lebih cocok untuk pengembangan tanaman padi.

Komoditas lain yang juga potensial untuk dikembangkan di Bumi Serumpun Sebalai ini adalah kelapa, jarak pagar dan buah naga. Sekiranya masyarakat, kalangan industri dan pemerintah daerah mampu mengadopsi inovasi teknologi pengolahan virgin coconut oil (VCO) (minyak kelapa murni yang merupakan produk hilir multi khasiat dari buah kelapa) yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), tentu saja tanaman kelapa yang berderetan tumbuh di sepanjang pesisir pantai Bangka Belitung ini dapat ditingkatkan nilai ekonominya.

Untuk pengembangan tanaman jarak pagar di Bangka Belitung, pada tahun 2006 Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPPP) telah memetakan sekitar 156.319 hektar lahan di Bangka Belitung ini yang potensial untuk penanaman komoditas biodiesel ini. Perhatian pemerintah daerah dan kalangan peneliti akademisi pun sudah begitu besar. Belum lama ini Pemerintah Kabupaten Bangka telah menjalin kerja sama dengan PT Timah Tbk, Universitas Bangka Belitung (UBB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk penelitian dan pengembangan tanaman ini.

Walaupun belum ada bukti konkrit di lapangan di Bangka Belitung dalam pengembangan tanaman buah naga, tetapi tanaman buah berkhasiat tinggi ini telah banyak dikembangkan di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Bukan tidak mungkin jika suatu saat tanaman ini potensial untuk dikembangkan secara optimal di lahan pesisir pantai seperti yang dikembangkan di Pantai Glagah Sari, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan tanaman ini juga potensial untuk dikembangkan di atas lahan bekas tambang yang telah diolah dengan bahan organik, seperti keberhasilan pengembangan tanaman ini di lahan bekas penambangan timah di beberapa negeri di Malaysia.

Begitu besar potensi pengembangan pertanian di propinsi ini yang dapat terus ditingkatkan. Dengan ditopang dan dikompilasikan dengan pengembangan sektor-sektor potensial lainnya, seperti sektor perikanan, perindustrian dan pariwisata, peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat akan dapat terselamatkan dari kekhawatiran sulitnya sumber mata pencaharian pasca berkurangnya timah. Pencapaian cita-cita untuk memakmurkan kehidupan masyarakat pada pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung ini hanya akan dapat terwujud apabila pengelolaan berbagai sektor potensial tersebut senantiasa dilandasi keluhuran moral serta mantapnya tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tertanam dalam setiap diri masyarakat, kalangan akademisi, pihak swasta, dan aparat pemerintah daerah, yang terorganisir dalam suatu kerja sama yang sinergis.

Rabu, 27 Juni 2007

PEMBERDAYAAN DAN PENINGKATAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI SULAWESI SELATAN

Tanggal : 27 Juni 2007
Sumber: http://rcucoremapsul-sel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=51&Itemid=56

Oleh : Yusran Nur Indar:

Pembangunan masyarakat, terutama masyarakat pesisir memasuki era transformasi dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik. Paradigma ini beralasan ketika napak tilas perjalanan pembelajaran pemberdayaan masyarakat, khususnya pada wilayah pesisir, menimbulkan acuan yang beragam, dan salah satu diantaranya adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam konteks pemberdayaan.


Dengan nuansa desentralistik sekarang ini, maka urgensi pemberdayaan masyarakat pesisir, termasuk didalamnya peningkatan kapasitasnya dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang menjadi tumpuan hidupnya. Berbagai program diinisiasi untuk maksud ini walau masih sarat dengan nuansa sentralistik, seperti program Coremap II yang di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan diterapkan di Kabupaten Pangkep dan Selayar. Namun demikian, walau dengan format sentralistik, setidaknya peluang pemberdayaan masyarakat lebih terbuka. untuk mengakomodasi karakter dan strategi masyarakat lokal dalarn partisipasinya dalam program bagi peningkatan kesejahteraannya.


Konteks pemberdayaan masyarakat pesisir dan pengelolaan terumbu karang dalam program Coremap II yang dititikberatkan kepada aspek berbasis masyarakat yang menggabungkan aspek teknis pengelolaan dan aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Kelompok masyarakat ini setidaknya mempunyai akses terbatas terhadap sumberdaya dan didorong untuk mandiri bagi peningkatan kesejahteraannya.

Esensinya, inisiasi pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat adalah pelibatan masyarakat pesisir yang termarginalkan, termasuk perempuan, di dalam hampir sebagian besar aktivitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya.

Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang merupakan suatu proses partisipasi dan kerjasama baik informal dan formal dalam membagi pengalaman clan pengetahuan dibanding sekadar melahirkan suatu konsep.



Membedah Pemberdayaan dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Program Coremap II

Pemberdayaan clan peningkatan kapasitas masyarakat adalah dua hal yang secara sekuen beriringan, dan pencapaian targetnya lebih banyak tergantung kepada karakter dan segala entitas yang dimiliki oleh masyarakatnya. Penggabungan antara kearifan lokal, sistem sosial, ekonomi dan budaya dan format pengelolaan terumbu karang yang akuntabel merupakan kombinasi ideal untuk tujuan tersebut. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat pesisir didapatkan karena kedekatannya dengan sumberdaya yang kemudian dibingkai kedalam suatu sistem sosial, ekonomi dan budaya. Sistem sosial yang dimaksud adalah terdapatnya strata sosial, perbedaan akses dan kontrol tez'hadap sumberdaya akibat kuatnya peran etnisitas yang kemudian melahirkan kelompok pemanfaat dan marginal:

Dibalik itu, juga terdapat sistem kesepakatan, loyalitas dan kepatuhan yang sangat bermanfaat bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. Di aspek lain, sistem ekonomi tradisional seperti Ponggawa-Sawi tidak dapat disepelekan keberadaannya di tengah masyarakat pesisir. Pada hampir setiap program pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir, kelompok Ponggawa-Sawi di Sulawesi Selatan hampir tidak pernah dilibatkan partisipasinya, sebaliknya mereka berupaya dipersempit ruang geraknya atau bahkan dianggap penghalang pencapaian kesejahteraan sumberdaya dan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan.

a disarankan untuk mengakomodasi dan mengapresiasi dan mengajak partisipasi institusi tradisional ini didalam se Sayangnya, upaya ini belum mampu meredam atau meminimasi aktivitas institusi tradisional, bahkan akibat kompleksnya sistem administrasi pada kebanyakan program, maka masyarakat pesisir cendnxng berbalik kepada sistem ekonomi tradisional ini. Melihat realita ini, tiap upaya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat.

Institusi tradisional ini lebih mengetahui dinamika sumberdaya dan masyarakat pesisir, termasuk sejumlah strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Intinya, peran sentral sosial, ekonomi dan budaya sistem ekonomi tradisional ini merupakan entry point bagi upaya pencapaian pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dalam mengelola clan memanfaatkan ekosistem bernilai ekonomi penting seperti terumbu karang. Sayangnya, dalam konsep program Coremap II, urgensi muatan sosial, ekonomi dan budaya masih mempunyai porsi yang sedikit dibandingkan dengan aspek teknis pengelolaan clan pemanfaatan ekosistem terumbu karang; atau bahkan ruang peluang partisipasi sistem ekonomi tradisional seperti Ponggawa-Sawi tidak terdapat sama sekali.


Langkah Pemberdayaan dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pesisir

Sebelum pelaksanaan program Coremap II, sebaiknya dikreasi peningkatan kepedulian seluruh anggota masyarakat dengan mengemukakan pentingnya peran mereka, terutama pada mereka yang kemungkinan memegang peran kunci dalam aspek pengelolaan, mobilisasi, dan pengambilan keputusan. Hal ini bermanfaat untuk mengenali secara dini kemungkinan peran dan tanggung jawab setiap anggota masyarakat sehingga muatan partisipasi secara bertahap dibangun. Pembentukan team work yang terdiri dari berbagai latar belakang disipilin ilmu sangat diperlukan pada tahap awal pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Kelompok kerja tersebut kemudian merancang strategi bagi peningkatan rasa kepemilikan terhadap sumberdaya secara berkelanjutan didalam program Coremap II, seperti :
(1) menganalisa kehidupan masyarakat pesisir dan masalahnya;
(2) menemukan solusi masalah masyarakat yang dihadapi; mengembangkan dan menginisiasi aktivitas, mengkaji hasilnya, kemudian merancang alternatif solusinya;
(4) memobilisasi potensi lokal (kearifan lokaJ, kapasitas sosiaJ, budaya dan ekonomi, dan pengalaman dan pengetahuan masyarakat);
merancang sistem dan mekanisme akses dan kontrol terhadap sumberdaya, termasuk didalamnya sistem bagi hasil bagi pemanfaatan sumberdaya.

Upaya sungguh-sungguh mutlak dilakukan dalam mengajak partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengelolaan terumbu karang, karena dalam sejarahnya, masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan masih minim pengetahuannya tentang urgensi pengelolaan sumberdaya berkelanjutan dibanding praktek eksploitasi sumberdaya untuk tujuan ekonomi.

k Mengajak masyarakat pesisir untuk berpartisipasi pada program Coremap II sebenamya bukan hal yang sulit dilakukan karena pada dasarnya mereka lebih banyak tergantung kepada sediaan sumberdaya. Namun, timbulnya ketidak konsistenan tujuan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat, besarnya intervensi dan ketidakjelasan manfaat akhir dari partisipasi seringkali menyebabkan masyarakat pesisir pesimis terlibat didalamnya.

Kalau pun terlibat, maka kemungkinan hanya motivasi ekonomi sehingga keluhan habis program habis juga partisipasi kemungkinan akan muncul
.
Artinya, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dalam program Coremap II hanya akan berhasil jika sejak awal ditanamkan dilaksanakan secara •konsisten akan prinsip-prinsip pentingnya masyarakat pesisir, terutama kelompok miskin, marginal dan buta huruf menjadi target pemberdayaan dan peningkatan kapasitas; membangun kerjasama diantara kelompok masyarakat dan mengembangkan kapasitas institusinya; memobilisasi dan menanamkan optimisme akan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan; mengurangi ketergantungan masyarakat akan sumberdaya yang kondisinya kritis dan dalam tahapan pemulihan; membagi secara proporsional akan kewenangan dan tanggung jawab diantara masyarakat pesisir dan pelaksana program Coremap II

Kamis, 07 Juni 2007

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi

Tanggal : 7 September 2007
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_214.ubh

Sebagai satu-satunya kawasan konservasi penyu di Pulau Sumatera Pemkab Pesisir Selatan (Pessel), Sumbar, akan membuka objek wisata penyu bertelur untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara, sekaligus sebagai upaya pelestarian hewan tersebut dari ancaman kepunahan. Pulau ini ditetapkan sebagai kawasan pusat konservasi melalui SK Bupati Pessel pada Maret 2006 dengan payung hukum UU No.31/2004 tentang perikanan. "Konsep wisata tersebut sedang susun dan diharapkan segera terealisasi menjadi objek baru yang menarik untuk dikunjungi wisatawan," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumbar, Ir. Yosmeri di Painan, Pessel seperti yang dikutib dari Antara beberapa waktu yang lalu.

Sebenarnya bagaimanakah pengembangan yang paling baik bagi ekowisata penyu laut ini agar bisa memadukan kepentingan ekonomi dan ekologi? .Padahal ekowisata berbasis penyu dianggap menjadi piranti yang tepat sebagai sumber pendapatan alternatif berdasarkan Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu Laut pada tahun 2001 (RAN-2001).

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi oleh Indrawadi, S.Pi
Ekowisata berbasis penyu laut tepat diterapkan di Perairan Sumatera Barat, khsususnya di Pesisir Selatan. Selain akan membuat Pesisir Selatan menjadi destinasi wisata dengan keunikan tersendiri, ekowisata berbasis penyu juga akan berperan penting dalam melestarikan kekayaan hayati. Hal itu diungkapkan Kasubdin Penangkapan Dinas Perikanan Pesisir Selatan, Ir. Edwil ,di sela-sela kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Habitat Perairan, Pesisir dan Kelautan Pascasarjana UBH, Sabtu (1/8-07) kemarin, mendukung gagasan Yosmeri yang sampai saat ini masih sebagai kepala Dinas Perikanan Pessel.

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi oleh Indrawadi, S.Pi
Menurutnya, perairan Indonesia dikaruniai enam spesies dari tujuh spesies penyu laut yang masih tersisa di bumi. Namun, seperti halnya di negara-negara lain, populasi yang ada di Indonesia juga tidak luput dari ancaman kepunahan. Peraturan pemerintah (PP) untuk melindungi keberadaan penyu laut ini pun agaknya tidak mempan untuk menurunkan dan mencegah terjadinya perdagangan penyu dan telurnya. Bahkan, karena tingginya perhatian internasional terhadap satwa yang masuk dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Apendix 1.


Dari kaca mata industri pariwisata, Perairan Sumbar khususnya Pesisir Selatan relatif masih perawan dan belum tersentuh eksploitasi mega proyek seperti yang dialami Bali. Dengan kekayaan yang cukup lestari, Pessel lebih gampang memulai dan mengembangkan ekowisata dibandingkan Bali. Ekowisata ini menjadi penting karena sejumlah pulau di daerah ini sebagai daerah peneluran dan penetasan penyu laut.


''Tiap upaya konservasi penyu laut berpeluang besar memperoleh perhatian dan dukungan dari dunia internasional. Exspose di tingkat global, tentunya akan sangat menguntungkan bagi industri pariwisata Sumatera Barat,'' kata Edwil seraya menambahkan, ekowisata berbasis penyu pun menjadi lahan subur sumber pendapatan alternatif masyarakat.

Ekowisata Berbasis Penyu, Di Pesisir Selatan, Padukan Kepentingan Ekonomi dan Ekologi oleh Indrawadi, S.Pi
Pada dasarnya pengambilan penyu dan telurnya secara untuk diperdagangkan, sebaiknya jangan. Sebab, menurut Manajer Konservasi Penyu Laut World Wildlife for Nature (WWF) drh. IB Windia Adnyana, Ph.D., keunikan siklus hidup penyu laut sangat menjanjikan untuk dijadikan daya tarik pariwisata. ''Makin tingginya kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan, kebutuhan untuk menikmati objek wisata yang ramah lingkungan makin besar,'' paparnya. Dikatakan Windia, aktivitas yang sifatnya konvensional seperti pengamatan aktivitas perkawinan saja sudah mampu menarik minat wisatawan. Apalagi, jika kemasannya memadai dan bernilai jual tinggi, tentu paket-paket wisata penyu laut ini akan makin diminati. Saat ini beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Australia sudah berhasil mengembangkan ekowisata penyu laut,(dari berbagai sumber).


Sejalan dengan RAN-2001, pengembangan ekowisata berbasis penyu sudah mulai dilakukan di beberapa daerah yang menjadi tempat pendaratan penyu, di antaranya di Taman Nasional Meru Betiri (TMNB), Kepulauan Derawan, Tanjung Benoa dan Serangan (Bali) serta Sukabumi. Namun, berdasarkan data dari berbagai sumber , belum ada satu daerah pun yang berhasil memadukan kegiatan pariwisata dan ekologi dengan memuaskan. Padahal, dengan melihat makin menurunnya populasi penyu yang ada di Indonesia, upaya tersebut sangat penting untuk dilakukan.


Rencana ekowisata berbasis penyu di Pesisir Selatan ini sebagai wisata penyu bertelur sejalan dengan ditetapkannya Pessel sebagai pusat konservasi penyu di wilayah Indonesia bagian Barat oleh pemerintah. Terkait penetapan itu, di Pulau Karebak Ketek Pessel kini telah dibangun berbagai fasilitas penangkaran penyu dan melestarikan pantai-pantai di pulau itu sebagai tempat penyu bertelur. Selain fasilitas penangkaran, juga telah dibangun dua unit rumah penginapan untuk wisatawan yang datang. Pembangunan kawasan konservasi dan dipadukan objek wisata tersebut didanai dengan dana APBN 2006 mencapai Rp1 miliar. Pulau Kerabak Ketek dengan luas sekitar empat hektar juga telah dibebaskan Pemkab Pessel dari pemilik ulayatnya dengan dana pembelian sebesar Rp200 juta pada tahun 2006.


Menurut Yosmeri rata-rata ada satu hingga tiga ekor induk penyu yang bertelur di pulau tersebut tiap malamnya. Angka ini relatif kecil mengingat satu ekor penyu betina bisa menghasilkan telur sekitar 100 butir. Meski dari segi populasi cenderung menurun, sektor pariwisatanya cukup menjanjikan. Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.


Edwil juga menambahkan bahwa program penangkaran yang dilakukan di Pulau Karabak berjalan cukup baik. Terjadi peningkatan jumlah penyu betina yang mendarat, jumlah telur serta jumlah tukik yang berhasil ditetaskan dan dilepaskan ke laut. Diakuinya, selama ini Dinas Perikanan Pessel baru melakukan ekowisata secara terbatas, karena pada mulanya kegiatan penangkaran tersebut belum ada maksud untuk dikembangkan sebagai atraksi pariwisata. Namun, melihat tingginya potensi keuntungan ekonomi dari kegiatan wisata alam ini, DKP berencana akan meningkatkan kegiatan yang sifatnya pariwisata dengan tetap memperhatikan lingkungan.


Agaknya penanganan penyu laut sebagai ekowisata perlu dilakukan secara berkoordinasi, tidak mungkin membangun ekowisata di lokasi-lokasi peneluran, karena di beberapa pulau-pulau kecil lainnya di perairan Sumatera Barat juga terdapat lokasi tempat penyu bertelur. Sehingga pengembangan industri pariwisata yang memadukan ekonomi dan ekologi bisa tercapai. Dalam hal ini, pemerintah pusat pun mempunyai peran yang sangat sentral mengingat diperlukan peraturan-peraturan yang lebih tegas untuk mengurangi adanya perdagangan penyu secara ilegal. Jadi melalui pengembangan ekowisata berbasis penyu yang melibatkan semua stake holders keinginan untuk memanfaatkan penyu secara ekstraktif bisa dikurangi, bahkan dihentikan. Kegiatan ekowisata ini sekaligus juga memberikan dana bagi pengawasan dan pembudidayaan penyu laut tersebut.

Kamis, 26 April 2007

PENGENALAN MODEL IMPLEMENTASI PENATAAN RUANG KAWASAN PESISIR MELALUI KEGIATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PLBPM)

Tanggal : 26 April 2007
Sumber : http://suaraindonesiaraya.com/index.php?USRTYPE=&ACT=NEWS_DETAIL&newsid=106

Jakarta, 26/04/07. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) pada Departemen Kelautan dan Perikanan sangat berkepentingan dalam tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan pembinaan pembangunan wilayah pesisir. Berbagai kegiatan selama ini telah dilakukan melalui pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), konservasi, penataan ruang, pemberdayaan pulau-pulau kecil, dan program pengelolaan pesisir lainnya. Upaya untuk dapat meningkatkan pembinaan terus dilakukan. Dalam rangka penataan dan peningkatan kondisi lingkungan pesisir, maka dilakukan kegiatan pengelolaan lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat (PLBPM). Kegiatan PLBPM ini digagas pertama kali oleh Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang pada waktu itu masih dijabat Ir. Widi Agoes Pratikto, Phd.

Esensi PLBPM terutama terletak pada pendekatan pelaksanaannya di lapangan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat, sejak dari perencanaan sampai kepada pelaksanaannya dengan dibantu melalui kegiatan-kegiatan pembinaan / pembimbingan, pendampingan, dan pengendalian. Pendekatan ini cukup efektif dalam menumbuhkan partisipasi aktif di kalangan masyarakat target group, respon yang positif serta komitmen dukungan dari stake holders, Pemerintah Daerah, dan lembaga / institusi lain terkait.

Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan nelayan dan berbagai kepentingan pengembangan. Oleh karena itu wilayah pesisir juga cenderung mengalami tekanan pembangunan yang kadang melampaui dayadukungnya. Kegiatan pemanfaatan ruang berpotensi konflik dan menimbulkan dampak degradasi lingkungan seperti rusaknya kawasan mangrove, karang, dan habitat perikanan lain, proses abrasi pantai, serta pencemaran.

Pada sisi lain, masyarakat pesisir yang sebagian besar terdiri dari para kaum nelayan, pada umumnya memiliki kehidupan ekonomi yang relatif lemah dan kurang tersentuh oleh perhatian pembangunan. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang menyatu dengan permasalahan lingkungan. Kondisi rumah yang tidak sehat, lingkungan permukiman yang tidak tertata serta tidak didukung oleh prasarana secara memadai tergambar dari buruknya sistem sanitasi (drainase, persampahan, air bersih, MCK), jalan lingkungan, serta terbatasnya prasarana lingkungan dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi setempat.

Kita melihat bagaimana fenomena masalah kemiskinan masyarakat pesisir tersebut sudah menjadi suatu trade mark tersendiri. Berbagai program pembangunan telah banyak dilakukan dalam upaya memajukan kawasan pesisir, tetapi sangat jarang adanya program yang secara langsung menyentuh pada tataran masyarakatnya.

Model kegiatan Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PLBPM) mungkin akan mengubah paradigma kita dalam pelaksanaan program, dari pendekatan ‘proyek’ kepada suatu proses pengelolaan dari dan oleh masyarakat sendiri. PLBPM diharapkan dapat menjadi suatu program yang tidak saja manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, tetapi juga masyarakat sendiri yang mengelola dan menentukan keputusan pilihannya, bahkan memberikan sharing dan partisipasi dalam pelaksanaannya. Kita optimis bahwa program yang bertumpu pada masyarakat seperti itu akan memberikan efektifitas serta dampak kemanfaatan yang lebih besar dalam upaya memajukan kawasan pesisir di masa mendatang.

Jiwa PLBPM terletak pada esensinya dalam memberikan pembelajaran secara tidak langsung kepada masyarakat pesisir agar mereka dapat menemukan cara-cara pemecahan permasalahan dan kebutuhannya dari diri mereka sendiri dengan memberdayakan segenap potensi yang ada, sehingga pada saatnya diharapkan terjadi keberlanjutan pengelolaan oleh masyarakat; serta Pemerintah Daerah bersama stake holders terkait lainnya mengambil peran pengembangan keberlanjutan tersebut ke dalam proses pembangunan wilayah Daerahnya. Keberlanjutan seperti itu dapat dicontohkan di Kabupaten Bengkalis, dimana hasil PLBPM telah diakomodir oleh Pemerintah Daerah ke dalam suatu rencana pembangunan kawasan dengan visi yang lebih luas untuk lima tahun ke depan.

Kegiatan PLBPM difokuskan pada hasil (output) fisik yang betul-betul memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir sesuai dengan permasalahan dan prioritas kebutuhan mereka di lapangan saat pelaksanaan. Kegiatan fisik tersebut meliputi peningkatan / perbaikan ekosistem pesisir; peningkatan / perbaikan / pembangunan infrastruktur lingkungan permukiman; serta peningkatan / perbaikan / pembangunan rumah.

Kelompok sasaran (target group) PLBPM adalah masyarakat pesisir yang sebagian besar meliputi nelayan dan pembudidaya ikan, serta masyarakat pesisir lainnya yang bermukim sebagai satu komunitas di kawasan pesisir dengan taraf ekonomi relatif lemah atau miskin, mempunyai kondisi lingkungan permukiman yang buruk, serta diutamakan berada pada kawasan yang mengalami permasalahan degradasi lingkungan pesisir. Kelompok sasaran tersebut bermukim pada satu kawasan target group yang berskala lingkungan, dengan luasan sekitar satu desa / kelurahan; atau dapat merupakan bagian dari desa / kelurahan.

Dalam mekanisme anggaran program, DIPA PLBPM diturunkan langsung kepada masing-masing Kabupaten / Kota cq. Dinas Kelautan dan Perikanan. Penyaluran anggaran kepada desa / kelurahan lokasi target group dilakukan secara bertahap, dari KPPN ke dalam rekening bank setempat lembaga kemasyarakatan yang merupakan lembaga formal yang betul-betul dekat / mewakili target group serta mempunyai kredibilitas tanggungjawab yang dapat dipercaya. Dalam PP No.72 / 2005 tentang Desa, yang dimaksud dengan Lembaga Kemasyarakatan misalnya RT, RW, PKK, Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat atau sebutan lain.

Lembaga kemasyarakatan tersebut akan bertanggungjawab dalam pencairan / penggunaan / penyaluran dana untuk pelaksanaan kegiatan target group melalui pemberdayaan masyarakat. Mekanisme penyaluran dana dituangkan melalui SPK (Surat Perjanjian Kerja) antara PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dengan lembaga kemasyarakatan.

Pelaksanaan program PLBPM secara keseluruhan dikendalikan agar mencapai esensi tujuannya melalui pembinaan / pembimbingan, pengarahan, pendampingan, pemantauan, dan evaluasi dari Pusat (Ditjen. KP3K) dan Daerah, baik dari Provinsi (melalui pelibatan peran Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi) maupun di Kabupaten / Kota bersangkutan (oleh Forum Koordinasi Teknis Daerah; Tenaga Ahli Pendamping; Tim Teknis Pengendali Daerah).

Pada tahun anggaran 2006, PLBPM telah dilaksanakan di 20 Kabupaten / Kota. Hasilnya menunjukkan adanya respon yang sangat positif dan mencerminkan tercapainya esensi tujuan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat pesisir telah didorong tumbuh. Berbagai bentuk sharing telah diberikan oleh masyarakat di seluruh daerah lokasi PLBPM, seperti berupa sumbangan material, tenaga kerja yang tidak diupah, dan lahan yang disediakan untuk pembangunan fasilitas umum. Di Kabupaten Serdang Bedagai misalnya, masyarakat secara swadaya membangun MCK dan melakukan renovasi rumah. Hal yang sama dilakukan oleh warga di Kabupaten Bengkalis yang berswadaya membangun jalan. Di Kota Bima warga merelakan tanahnya untuk pelebaran jalan. Di Kabupaten Ciamis, Jepara, dan Tegal masyarakat memberikan sumbangan material berupa semen, batu, dan pasir yang tidak sedikit nilainya, serta banyak lagi bentuk-bentuk sharing masyarakat di lokasi lainnya.

Beberapa Daerah menunjukkan komitmennya terhadap kegiatan PLBPM dengan menyediakan anggaran pendamping. Dukungan juga diperoleh dari instansi lain seperti Kementerian Perumahan Rakyat, beberapa Dinas Teknis, serta lembaga / institusi yang berada di Daerah setempat berupa kolaborasi program yang diintegrasikan pelaksanaannya dengan lokasi PLBPM, seperti di Kab. Nunukan, Kab. Bengkalis, Kab. Ciamis, dan beberapa lagi di Kabupaten lainnya. Adanya berbagai bentuk partisipasi, sharing, kolaborasi, dan bahkan tindaklanjut pengembangan terhadap hasil-hasil PLBPM seperti itulah yang justru kita harapkan, sehingga pada saatnya pemberdayaan pengelolaan berjalan secara berkelanjutan oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Kita bersyukur bahwa pada tahun anggaran 2007 ini dapat melaksanakan kembali program PLBPM. Rasanya ada suatu tanggungjawab moril yang melekat, dan ada suatu kepuasan bathin yang tidak dapat dinilai secara materiil pada kita dalam melaksanakan program ini. Untuk tahun anggaran 2007, PLBPM dilaksanakan di 23 Kabupaten / Kota, yaitu 8 (delapan) Kabupaten / Kota merupakan lokasi baru; dan 15 (lima belas) Kabupaten / Kota merupakan lokasi tindaklanjut PLBPM tahun 2006.

Pada Kabupaten / Kota lokasi tindaklanjut PLBPM tahun 2006, kegiatan diarahkan untuk menindaklanjuti komponen fisik yang masih belum selesai atau belum berfungsi atau belum dapat dimanfaatkan.
Misalnya, untuk melanjutkan pembangunan jalan lingkungan yang di tahun 2006 baru sebagian dibangun, padahal jalan tersebut semestinya baru dapat berfungsi apabila sudah dibangun seluruhnya. Atau misalnya, untuk melanjutkan kekurangan jumlah pembangunan / rehabilitasi rumah yang sudah dilakukan di tahun 2006. Kegiatan pembangunan fisik yang sifatnya baru juga dapat dipilih sejauh merupakan kebutuhan prioritas yang disepakati bersama oleh masyarakat target group.

Selain diarahkan untuk menindaklanjuti kegiatan fisik, juga dilakukan pembinaan dalam rangka melembagakan keberlangsungan pemberdayaan masyarakat. Misalya, kegiatan yang ditujukan untuk penguatan kelembagaan / kelompok masyarakat, pembinaan motivator, penyuluhan masyarakat, penyusunan / penetapan suatu Peraturan Desa / Kelurahan mengenai pengelolaan PLBPM, dan lain-lainnya.

Sejalan dengan itu, disusun desain tata ruang kawasan target group ke depan, serta bagaimana mengintegrasikannya dengan konsep tata ruang wilayah yang lebih luas, sehingga kawasan target group akan menjadi bagian dari proses pengembangan dan pembangunan wilayah Kabupaten / Kota. Desain atau konsep tersebut perlu dibicarakan bersama sejak penyusunannya pada tataran rembug desa / kelurahan. Bagaimana mengisinya, dibahas dalam Forum Koordinasi Teknis Daerah. Pada kesempatan tersebut diharapkan dapat digalang komitmen mengenai peran dan tanggung jawab masing masing pihak di Daerah Kabupaten / Kota, Provinsi, Kecamatan, Desa / Kelurahan, masyarakat target group, dan stakeholders terkait lain (investor / swasta) dalam pemeliharaan dan pengelolaan hasil PLBPM yang telah dibangun, termasuk pengembangannya. Komitmen dapat berupa sharing program, penganggaran pembangunan di Daerah, ataupun akomodasi hasil PLBPM ke dalam satu konsep / rencana pembangunan kawasan dengan dimensi yang lebih luas.

Pelaksanaan PLBPM diharapkan memberikan dampak kemanfaatan terhadap empat hal, yaitu:

(1) Tersedianya kesempatan kerja alternatif khususnya bagi masyarakat nelayan pesisir yang sementara waktu tidak dapat melaut akibat dampak kenaikan harga BBM ataupun pada saat cuaca buruk. Masyarakat dapat memperoleh upah kerja pada pekerjaan-pekerjaan fisik dalam pelaksanaan kegiatan PLBPM, seperti pembangunan rumah, infrastruktur lingkungan, dan penanaman mangrove;

(2) Terciptanya kondisi lingkungan pesisir yang lebih baik dan mendukung bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan pendapatan dan kegiatan ekonominya, seperti dengan dibangunnya tambatan perahu, jalan lingkungan / jalan poros, sumber air bersih, listrik desa, dan rumah serbaguna.

(3) Pebaikan kondisi ekosistem pesisir yang mengalami degradasi, seperti dengan kegiatan penanaman mangrove, transplantasi karang, dan pembangunan talud untuk mengurangi abrasi pantai;

(4) Kegiatan ekonomi masyarakat pesisir yang meningkat dan secara tidak langsung akan masuk ke dalam mekanisme pertumbuhan ekonomi kawasan / wilayah.

Pada akhirnya yang terpenting dan perlu kita garisbawahi, bahwa dalam membangun kawasan pesisir tentunya PLBPM tidak dapat berdiri sendiri dan perlu bersama-sama dengan kegiatan program sektor lain berintegrasi ke dalam satu kerangka program pembangunan ekonomi wilayah / Daerah. Oleh karena itu pembinaan keberlangsungan terhadap hasil kegiatan PLBPM yang telah dicapai sangat diperlukan. Diharapkan masing-masing pihak dapat mengambil peran dan tanggungjawabnya untuk itu, baik di Pusat maupun Daerah (Provinsi, Kabupaten / Kota, Kecamatan) serta Masyarakat bersangkutan (Desa / Kelurahan, Kelompok Masyarakat, Motivator).

Selasa, 24 April 2007

Konsep Desa Mandiri E3i

Tanggal : 24 April 2007
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=131233

Sektor pertanian dan pedesaan telah terbukti mampu bertahan selama krisis ekonomi 1997. Karena itu, upaya-upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor ini perlu ditingkatkan. Salah satunya melalui rancang bangun infrastruktur pedesaan yang dapat menciptakan suatu kawasan 'mandiri' yang ideal baik untuk kawasan industri, untuk peningkatan nilai tambah produk unggulan daerah maupun sebagai kawasan permukiman yang indah, segar, dan nyaman. Dengan demikian diharapkan akan terjadi arus balik (U-turn) dari kota ke desa yang dapat mengurangi masalah urbanisasi yang telah menyebabkan daya dukung kota-kota besar terlampaui, seperti terjadinya kemacetan lalu lintas yang boros BBM padahal harganya makin mahal dan kawasan permukiman yang makin padat sehingga sering terjadi masalah-masalah sosial yang makin rawan.

Konsep desa mandiri E3I (empowering, energy, economics and environment and independent) diharapkan dapat menciptakan desa-desa yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat melalui penerapan teknologi bersih yang secara sosioekonomis dapat diterima masyarakat setempat dan sumbernya juga tersedia secara melimpah seperti energi surya, angin, biomassa, hidro skala kecil, panas bumi, dan bahkan tenaga laut untuk daerah pesisir. Penataan tata ruang yang asri, segar, dan nyaman, jarak ke tempat kerja yang relatif dekat tentunya dapat pula mengurangi eksodus tenaga kerja ke luar negeri yang menimbulkan masalah yang dilematis. Antara lain berkurangnya tenaga muda yang produktif di pedesaan dikhawatirkan pekerjaan pertanian akan bergantung kepada mereka yang sudah uzur yang mengakibatkan menurunnya kemampuan produksi walaupun sistem mekanisasi akan diterapkan.

Saat ini berkembang beberapa pengertian tentang desa mandiri. Ada yang menamakannya desa mandiri energi, eco-village, atau desa mandiri saja. Dalam tulisan ini desa E3I diartikan sebagai desa yang mampu memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan dan memanfaatkan energi bersih itu untuk keperluan industri dan koperasi yang dapat dikelola tenaga terdidik dan terlatih. Dengan demikian, akan tercipta desa mandiri yang berwawasan lingkungan dengan masyarakat yang ramah karena hidup di lingkungan yang nyaman, segar, dan asri sepanjang tahun.

Tata ruang

Rancangan infrastruktur pertanian dan pedesaan dapat dimulai dengan menerapkan sistem 30:30:30, yaitu 30% penutupan lahan oleh hutan, 30% untuk permukiman dan industri, serta 30% untuk lahan pertanian/peternakan, agar tercipta tapak untuk berproduksi yang relatif aman dari bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Usaha industrialisasi yang memang sudah berjalan dapat difokuskan terus untuk meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor unggulan daerah seperti jagung bagi daerah Gorontalo, sayur-mayur di Riau, Brastagi, Puncak, Lembang, dan lain-lain. Kopi dan kakao di Sulawesi, Lampung, Sumut, Bali, Nusa Tenggara, dan lain-lain. Industri perikanan memanfaatkan daerah pesisir yang merupakan kawasan terpanjang nomor dua di dunia. Di samping itu infrastruktur dasar untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-harinya perlu dilengkapi agar para penghuni betah tinggal di desanya. Sarana umum seperti sekolah, puskesmas, institusi perbankan, kios, atau toko pemasok kebutuhan sehari-hari sarana ibadah di samping tentunya akses ke lokasi industri tempat bekerja yang mudah terjangkau. Letaknya ditata sehingga tidak mengganggu kenyamanan kawasan permukiman.

Sumber penggerak

Proses peningkatan nilai tambah memerlukan teknologi dan teknologi memerlukan energi untuk menggerakkan berbagai peralatan proses produksi tersebut. Karena kebanyakan sentra produksi, terutama sektor pertanian dan kelautan umumnya berada jauh di pedalaman dan belum terjangkau listrik (saat ini baru antara 50%-60% desa teraliri listrik PLN) dan sumber energi fosil, opsi alternatif energi yang paling memungkinkan adalah dengan memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan seperti energi surya, angin, hidro skala kecil(di atas 30 Mw), dan biomassa yang sudah tersedia di lokasi daerah produksi. Selain itu, beberapa teknologi konversinya sudah dapat dilaksanakan bangsa kita sendiri tanpa bantuan tenaga asing. Sampai saat ini pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan masih belum maksimal, hanya sekitar 3,3% dari potensi sebesar 162,2 Gwe (Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005). Diharapkan, pada 2025 pangsa sumber energi terbarukan dapat melebihi 15% (termasuk sumber energi panas bumi dan energi laut) dari total kebutuhan energi nasional.

Teknologi energi terbarukan hasil penelitian dalam negeri sebenarnya sudah mampu menyediakan akses rumah tangga dan industri kecil di pedesaan dalam bentuk energi listrik, energi mekanis dan energi termal. Berbagai proyek percontohan baik atas inisiatif pemerintah, bantuan LN, maupun para peneliti telah mencoba menerapkan teknologi terbarukan di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Beberapa di antaranya tidak dapat diteruskan karena biaya operasi atau modal kerja tersedia, tidak tersedianya manual dan akses kepada pasokan suku cadang sehingga bila terjadi kerusakan tidak segera diperbaiki. Kadang karena kurang pengertian masyarakat pengguna memanfaatkan beberapa bagian dari komponen pembangkit energi untuk keperluan lain sehingga akhirnya sistem tidak berjalan sesuai rancangan aslinya.

Akhir-akhir ini setelah kita mengalami krisis energi yang serius, dengan tiap harinya dibutuhkan sekitar 450 ribu bbl BBM yang harganya terus berfluktuasi sejalan dengan dinamika geopolitik dunia, perhatian terhadap pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan meningkat drastis. Apalagi setelah pemerintah meratifikasi Protokol Kyoto dengan dikeluarkannya UU No 17/2004 dan PP No 5/2006 pengadaan pengganti BBM seperti program biodiesel, bioetanol, dan panas bumi yang sedikitnya harus mencapai di atas 10% dari total kebutuhan energi nasional. Di samping itu upaya pengganti minyak tanah untuk memasak dan proses pemanasan, pengeringan dan pendinginan terus diteliti antara lain dengan memanfaatkan teknologi konversi energi surya maupun biomassa (baik berupa bahan bakar padat, cair, dan gas).

Beberapa contoh alat tersebut termasuk hasil penelitian penulis sudah dimanfaatkan koperasi desa di Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pembangkit listrik dan panas (CHP atau co-generation) dengan daya sampai 100 kwe dapat memanfaatkan sumber biomassa yang banyak terdapat di Tanah Air dan dapat digunakan untuk membangkit listrik dan sumber panas bagi berbagai kegiatan industri seperti untuk memasak, pengeringan maupun pendinginan. Energi surya elektrik (solar cell atau solar PV), umpamanya, dapat dikombinasikan dengan mesin pengering tenaga surya hibrida dengan tungku biomassa, sebagai kegiatan bisnis produktif dan dapat memperpanjang masa simpan produk dan mengurangi kerugian pascapanen yang dapat mencapai 30%. Banyak produk unggulan daerah tidak termanfaatkan dan dibiarkan membusuk karena sarana untuk pemrosesan tidak tersedia atau teknologinya belum dikenal masyarakat. Usaha-usaha bisnis seperti pengeringan, pendinginan produk segar, dan pembekuan sebenarnya sudah dapat dikerjakan bila ditunjang fasilitas keuangan yang inovatif, akses pasar hasil pemrosesan baik untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri sehingga sumber pendapatan masyarakat setempat dapat tersedia secara berkelanjutan dan biaya investasi untuk membangun berbagai usaha produktif seperti disebutkan di atas tadi dapat terbayar. Dengan menggunakan energi surya elektrik itu dapat juga dimanfaatkan untuk membekukan zigot mutiara di daerah produksi terpencil yang belum terjangkau grid nasional. Pendinginan nokturnal sebagai salah satu bentuk pendinginan tenaga surya pasif dapat pula membantu dalam mengurangi beban pendinginan dengan mesin pendingin konvensional. Penelitian penulis bersama mahasiswa sebelumnya menunjukkan besarnya daya pendinginan secara alami ini bisa mencapai antara 40-70 w/m2 pada malam yang cerah.

Bila sumber-sumber energi yang bersih dan akrab lingkungan itu dapat digunakan untuk tujuan produktif, sebagai sumber utama pengembangan industri di daerah terpencil pedesaan dan daerah nelayan, diharapkan akan tumbuh berbagai industri di pedesaan dengan komponen lokal relatif tinggi. Akibatnya, lapangan pekerjaan di daerah pedesaan makin tersedia sehingga daya beli masyarakat pedesaan dapat meningkat dan masyarakat desa tidak perlu lagi berbondong-bondong melakukan urbanisasi atau menjadi buruh kasar di luar negeri. Dengan demikian akan tercipta desa-desa mandiri yang dapat berfungsi seterusnya sebagai pemasok kebutuhan pokok masyarakat akan pangan sandang dan papan termasuk kebutuhan manusia akan obat-obatan alami serta energi terbarukan.

Selama ini teknologi energi terbarukan sulit berkembang karena tidak dikaitkan dengan jelas untuk tujuan-tujuan produktif berupa kegiatan peningkatan nilai tambah produk yang umumnya berasal dari sumber daya alam terutama dari sektor pertanian dan kelautan. Dengan mengaitkan kegiatan pengadaan dan penerapan teknologi energi terbarukan dengan kegiatan ekonomi biaya investasi akan dapat terbayarkan apabila pemerintah dapat memberikan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih operasional untuk desiminasi teknologi energi terbarukan. Pemerintah beberapa negara maju, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang, menutup sebagian biaya produksi energi terbarukan sehingga menjadi kompetitif seperti kebijakan feed-tariff atau insentif pajak untuk pembangkit listrik. Di ASEAN khususnya Thailand telah menerapkan sistem itu. Pemerintah membantu US$0,001-US$0,002 per kwh listrik yang dihasilkan dari sumber-sumber energi terbarukan. Kebijakan lain yang dapat diterapkan berkaitan dengan skim pendanaan adalah pemberian kredit dengan grace period cukup lama, umpama lima tahun sehingga pengusaha dengan sumber energi terbarukan dapat mengembalikan modalnya tepat waktu walaupun dengan tingkat suku bunga komersial.

Perumahan pedesaan

Umumnya desa-desa di pedalaman belum memanfaatkan potensi keindahan alam yang terhampar luas. Tata letak bangunan umumnya belum diatur dengan rapi. Fasilitas dasar seperti kebutuhan AC untuk kenyamanan hunian masih jauh dari pemikiran pemukim. Begitu pula penataan lanskap yang hijau, pohon-pohon yang tertata rapi serta bunga-bunga yang cemerlang memberikan suasana segar, indah, dan nyaman. Tentunya potensi itu nantinya merupakan aset nasional untuk program pariwisata baik domestik maupun luar negeri. Kalau untuk desa-desa yang sudah ada penataannya akan mengalami hambatan, mungkin pembentukan desa mandiri dapat dimulai dengan desa baru yang akan dihuni para pensiunan sebagai contoh awal. Para pensiunan umumnya mempunyai kondisi ekonomi yang lebih baik dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi sehingga apresiasi terhadap estetika pun lebih baik. Rumah-rumah tradisional setempat dapat dirancang ulang seperti rumah kayu kelapa dari Manado, rumah Melayu, atau rumah Bali agar selain lebih menarik dapat juga menyediakan fasilitas dasar agar wisatawan betah tinggal.

Rabu, 07 Maret 2007

Panduan Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat

Tanggal : 7 Maret 2007
Sumber : http://www.uem-pmd.info/index.php?option=com_content&task=view&id=31&Itemid=44


Kesejahteraan masyarakat merupakan amanat Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 3 (tiga) yang berbunyi “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu…”. Amanat tersebut dipertegas dalam Bab XIV pasal 33 ayat 1 “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Salah satu permasalahan pembangunan nasional yang terpenting adalah masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 meliputi 5 (lima) sasaran pokok dengan prioritas dan arah kebijakannya sebagai berikut: 1) Menurunkan jumlah penduduk miskin; 2) Berkurangnya kesenjangan antar wilayah dengan meningkatkan peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi; 3) Meningktkan kualitas manusia secara menyeluruh, baik dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM); 4) Memperbaiki mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan; serta 5) Membaiknya infrastruktur dengan meningkatknya kuantitas dan kualitas sarana penunjang pembangunan. Hal ini juga sejalan dengan pelaksanaan salah satu komitmen global yang tercantum dalam dokumen Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals atau MDGs).

Perubahan sistem pemerintahan dari pola sentralisasi ke desentralisasi dalam kerangka demokratisasi Pemerintahan Daerah ditandai dengan revisi isi kebijakan (content of policy) dan konteks pelaksanaan (context of implementation) kebijakan Otonomi Daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999. Pemberian otonomi kepada daerah ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini berarti perwujudan tujuan Otonomi Daerah dapat dicapai melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan suatu model manajemen pembangunan desa yang mampu mengakomodasi dan mengartikulasi peran aktif masyarakat sehingga masyarakat senantiasa memiliki dan turut bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama. Dengan keterangan tersebut di atas maka peran dan fungsi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Departemen Dalam Negeri sangatlah strategis.

Untuk memperkuat dan mempelancar tugas tersebut maka Direktorat Usaha Ekonomi Masyarakat (UEM) sebagai salah satu unit kerja di Ditjen PMD sangatlah penting peranannya dalam penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di bidang pengembangan usaha ekonomi masyarakat dan desa. Direktorat UEM dalam melaksanakan tugas tersebut mempunyai fungsi: 1) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan usaha pertanian dan pangan; 2) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan usaha perkreditan dan simpan pinjam; 3) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan pengembangan produksi dan pemasaran; 4) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan usaha ekonomi keluarga; dan 5) Perumusan kebijakan dan fasilitasi pelaksanaan pengembangan ekonomi perdesaan dan masyarakat tertinggal. Agar mudah melaksanakan tugas dan fungsinya serta tercapai maksud dan tujuannya, Direktorat UEM melakukan akselerasi pembinaan usaha ekonomi masyarakat dengan 7 agenda utama, yaitu: 1) Reorientasi Konsep Baru Pembinaan UEM; 2) Reposisi peran koordinasi dan fasilitasi UEM; 3) Reformulasi kebijakan dan strategi UEM; 4) Rekonsolidasi potensi peluang kerjasama; 5) Revitalisasi publikasi dan manajemen interaksi; 6) Reorganisasi pola pembinaan manajemen UEM; serta 7) Resosialisasi rencana aksi dan sistem evaluasi. Manajemen Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat (PUEM) merupakan formulasi integral dari hasil penterjemahan ulang visi dan misi serta hasil proses kolaborasi dan pembelajaran positif dari strategi, kebijakan dan program Direktorat UEM. Beberapa program dan kegiatan tersebut antara lain: Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Desa/Kelurahan (LPMD/K) dan Usaha Pertanian Melalui Agropolitan, Pengembangan UPMP dari Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM), Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP), Program Pengembangan Informasi dan Diversifikasi Pasar, Program Penanggulangan Kemiskinan dan Program Pemberdayaan Masyarakat Untuk Pembangunan Desa (PMPD)/Community Empowerment for Rural Development (CERD). Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat (PUEM) merupakan salah satu kegiatan pokok pemberdayaan masyarakat dalam Tugas Pokok dan Fungsi Ditjen PMD yang dilaksanakan oleh Direktorat UEM. Manajemen PUEM dibutuhkan agar berbagai usaha masyarakat dapat tumbuh dan berkembang secara lebih efisien dan efektif dalam kerangka Kebijakan Otonomi Daerah sesuai dengan spirit UU Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan serta Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa berdasarkan Kepmendagri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri dan Kepmendagri Nomor 164 Tahun 2004 tentang Uraian Tugas Subbagian, Seksi dan Subbidang di Lingkungan Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan kondisi tersebut dan untuk memperbaiki sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat UEM, Pemerintah Daerah, dan berbagai lembaga dalam pemberdayaan masyarakat, dan agar terjadi interaksi yang tentu didasari oleh kebutuhan untuk ingin saling memperoleh respon dan informasi serta pengakuan peran kontributif antar kelompok yang berbeda kepentingannya dalam mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya sama, maka diperlukan Kebijakan Umum Usaha Ekonomi Masyarakat yang memuat konsep dan filosofi, kebijakan, strategi, hingga kegiatan dilapangan serta peran masing-masing pihak yang terkait didalamnya. Sehingga pendekatan pemberdayaan masyarakat yang menjunjung konteks keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dapat terwujud dengan baik. Kawasan Perdesaan Pada tahun 2005, penduduk Indonesia telah mencapai kurang lebih 220 juta jiwa, sebagian besar (71 persen) bertempat tinggal di kawasan perdesaan.

Selama ini kawasan perdesaan didefinisikan antara lain sebagai: a. Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 8 Tahun 2005); b. Kawasan yang bukan tergolong sebagai perkotaan (urban) atau wilayah di sekitar kota (sub-urban); c. Kawasan dengan hamparan tanah yang peruntukannya didominasi oleh sektor pertanian (agraris) dan bukan merupakan kawasan industri; d. Suatu kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Sutardjo Kartohadikusumo, 1965); Podes 2003 menyuguhkan 56.838 desa di wilayah pedesaan (83 persen dari keseluruhan 68.813 desa/kelurahan), pada Podes 2005 jumlahnya meningkat menjadi 57.666 desa (tetap berposisi 82 persen dari 69.956 desa/kelurahan).

Dalam periode yang sama luas desa meningkat dari 162.332.665,6 hektare (rata-rata 2.856 hektare/desa) menjadi 182.819.735 hektare (rata-rata 3.170 hektare/desa). Penambahan jumlah berikut luas desa menunjukkan desa baru dibangun di tanah kosong, misalnya hutan. Sangat mungkin penyebabnya peningkatan tekanan penduduk, untuk kemudian mengeksploitasi lingkungan menjadi desa. Penduduk desa tahun 2005 berjumlah 127.435.933 jiwa, meningkat dari 125.291.758 jiwa pada tahun 2003. Infrastruktur ekonomi merekam capaian pembangunan. Jalan aspal dinikmati 51 persen desa, sedangkan jalan yang diperkeras bebatuan mendominasi 30 persen desa lainnya. Listrik menyala di 91 persen desa, dan televisi ditonton di 63 persen desa. Infrastruktur air bersih memadai di 63 persen desa. Sisa tantangan ekonomis ialah kebutuhan bangunan pasar bagi 10 persen desa. Tantangan lebih berat muncul pada aspek sosiologis. Masih ada saja desa tanpa SD.

Sebanyak 34 persen desa belum dijamah bidan, bahkan 11 persen desa tidak mampu menyelenggarakan Posyandu. Sejalan dengan itu, sampah sekedar dibuang ke lobang atau dibakar di 67 persen desa, bahkan 46 persen desa tidak memiliki tempat buang air besar. Rumah kumuh tumbuh di 7 persen desa. Kayu bakar masih digunakan mayoritas penduduk di 77 persen desa. Ironisnya di 4 persen desa terdapat rumahtangga yang tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. Pada saat ini jumlah desa tertinggal mencapai 8.198 desa. Desa tertinggal tersebut tersebar di seluruh provinsi, kecuali DKI Jakarta. Adapun jumlah kabupaten/kota yang memiliki desa tertinggal mencapai 327 kabupaten/kota.

Keseluruhan desa tertinggal tersebut dihuni oleh 8.742.868 jiwa. Secara khusus, penduduk pertanian mencakup 1.883.462 jiwa. Keseluruhan desa tertinggal mencakup wilayah seluas 41.785.188 Ha. Rendahnya tingkat produktifitas tenaga kerja di perdesaan bisa dilihat dari besarnya tenaga kerja yang di tampung disektor pertanian (46,26 persen dari 90,8 juta penduduk yang bekerja), padahal sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional menurun menjadi 15,9 persen (Susenas, 2003). Sementara tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan bisa ditinjau baik dari indikator jumlah dan persentase penduduk miskin, maupun tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin adalah 37,3 juta jiwa (17,4 persen), di mana presentase penduduk miskin di perdesaan 20,2 persen, lebih tinggi dari perkotaan yang mencapai 13,6 persen.

Secara umum, kawasan perdesaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: rendahnya tingkat produktifitas tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan pemukiman perdesaan. Permasalahan Kawasan Perdesaan Pembangunan perdesaan yang relatif tertinggal disebabkan oleh masih banyaknya permasalahan yang dihadapi diantaranya: a. Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketrampilan rendah (low skilled). b. Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan. c. Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas. d. Rendahnya tingkat pelayanan sosial. e. Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup serta meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis untuk peruntukan lain. f. Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat. g. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial. h. Belum optimalnya pemanfaatan peluang di era globalisasi dan liberalisasi perdagangan serta antisipasi risiko yang menyertainya. i. Timbulnya hambatan distribusi dan perdagangan antar daerah. j. Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan. Arah Kebijakan Pembangunan Perdesaan Kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2004-2009 diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: a. Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, dan penguasaan aset produktif, disertai dengan penguatan kelembagaan dan jaringan kerjasama untuk memperkuat posisi tawar; b. Memperluas akses masyarakat, terutama kaum perempuan, ke sumberdaya-sumberdaya produktif untuk pengembangan usaha seperti lahan, prasarana sosial ekonomi, permodalan, informasi, teknologi dan inovasi; serta pelayanan publik dan pasar; c. Mendorong terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan dengan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha pertanian, merangsang pertumbuhan aktivitas ekonomi non pertanian (industri perdesaan), dan memperkuat keterkaitan kawasan perdesaan dan perkotaan; d. Meningkatkan promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya dengan meningkatkan kualitas dan kontinuitas suplai khususnya ke pasar perkotaan terdekat serta industri olahan berbasis sumber daya lokal; e. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan memenuhi hak-hak dasar atas pelayanan pendidikan dan kesehatan serta meminimalkan risiko kerentanan baik dengan mengembangkan kelembagaan perlindungan masyarakat petani maupun dengan meningkatkan modal sosial masyarakat perdesaan; f. Mengembangkan praktek-praktek budidaya pertanian dan usaha non pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pembelajaran Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan Beberapa hal yang dapat dipetik dari proses pembelajaran lapang dari pemberdayaan ekonomi di perdesaan adalah: a. Teori keseimbangan antara Ekonomi dan Politik di dalam lingkup negara juga dirasakan pentingnya di desa. Secara praktis, hal tersebut dapat dipraktekan dengan mencoba menyeimbangkan Pemberdayaan Ekonomi dan Penguatan Kelembagaan (self-governance) masyarakat; b. Pemberdayaan ekonomi tanpa pemberdayaan kelembagaan hanya akan membuat perubahan jangka pendek karena sama sekali tidak memberikan pondasi yang kuat bagi keberlanjutannya; c. Pemberdayaan Kelembagaan tanpa Pemberdayaan Ekonomi hanya akan membuat masyarakat jenuh. Perubahan yang terjadi karena pemberdayaan kelembagaan bukanlah perubahan yang dapat dirasakan secara nyata dan langsung (agak abstrak). Jika kondisi ini dibiarkan terus tanpa dilanjutkan dengan pemberdayaan ekonomi maka masyarakat biasanya akan bersifat skeptis terhadap aktifitas dalam pemberydayaan kelembagaan tersebut; d. Antara Pemberdayaan Kelembagaan dan Pemberdayaan Ekonomi, kita juga perlu mendukung hal-hal yang bersifat penguatan kecakapan (skill); e. Di dalam penguatan kecakapan, lebih baik berprinsip kepada “mulailah dari apa yang masyarakat tahu dan mengerti”. Walaupun demikian, bukan berarti tidak boleh memulai hal yang baru sama sekali. Hal yang baru dapat dilakukan jika memang masyarakat benar-benar membutuhkan.

Salah satu indikator bahwa masyarakat benar-benar memerlukan adalah tingkat pemahaman masyarakat terhadap seluruh aspek dari tawaran hal baru tersebut baik aspek negatif maupun positif dan kemudian secara demokratis dan terbuka mereka memutuskan untuk mengambil pilihan baru tersebut; f. Dengan demikian maka Pemberdayaan Ekonomi tidak sama dengan Peningkatan Pendapatan (income generating). Pemberdayaan ekonomi adalah sebuah sistem dimana antara satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan dan saling terkait. Peningkatan pendapatan hanyalah salah satu bagian dalam Pemberdayaan Ekonomi; g. Peningkatan pendapatan jauh lebih baik dimulai dari apa yang masyarakat sudah miliki baik dari sisi keahlian, dukungan budaya, bahan baku, alat-alat dan lain-lain daripada memulai dengan sesuatu yang benar-benar baru. Kearifan lokal menjadi hal yang utama untuk membangun kekuatan dari sumber daya lokal; h. Perbaikan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat seringkali seperti leher botol (bottle neck) dimana jika pasar tidak merespon positif maka seluruh program pemberdayaan akan terancam ‘gagal’; i. Pasar seringkali menjadi hal penting, tapi kita harus tetap ingat bahwa itu bukan satu-satunya. Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang tidak penting. Seluruh sub sitem dalam sistem Pemberdayaan Ekonomi adalah penting untuk diseriusi; j. Persoalan modal juga penting, tapi hal ini lebih banyak kepada masalah kebijakan. Kawasan Perkotaan Pembangunan nasional yang telah dilakukan selama ini secara umum telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, namun demikian pembangunan tersebut ternyata menimbulkan kesenjangan perkembangan antar wilayah.

Ketimpangan pembangunan terutama terjadi antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antar kota-kota dan antara kota-desa. Pada beberapa wilayah, ketimpangan pembangunan telah berakibat langsung pada munculnya semangat kedaerahan yang pada titik yang paling ekstrim diwujudkan dalam bentuk gerakan separatisme. Sementara itu, upaya-upaya percepatan pembangunan pada wilayah yang relatif masih tertinggal tersebut, meskipun telah dimulai sejak sepuluh tahun yang lalu, hasilnya masih belum dapat dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Di sisi lain, kebijakan pembangunan wilayah masih dirasakan timpang, dalam arti lebih menitik-beratkan pada pengembangan wilayah perkotaan (urban area) sebagai basis industrialisasi dan perdagangan, dengan harapan keuntungan ekonomi (economic gain) yang diperoleh akan merembes (menetes) ke wilayah perdesaan (rural area). Kebijakan ini ternyata telah semakin memarginalkan potensi pengembangan wilayah perdesaan, karena secara nyata telah memperluas area industrialisasi dan mempersempit area pertanian dan perkebunan. Wilayah perdesaan lama kelamaan akan berubah menjadi wilayah sub urban, yang pada giliran selanjutnya akan menghilangkan salah satu fungsi wilayah rural sebagai sumber utama pemasok (supplier) kebutuhan dasar pangan sekaligus wilayah penyangga (buffer zone) lingkungan bagi wilayah perkotaan. Permasalahan Kawasan Perkotaan a. Banyak Wilayah-wilayah yang Masih Tertinggal dalam Pembangunan; b. Belum Berkembangnya Wilayah-wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh; c. Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang; d. Kurang Berfungsinya Sistem Kota-kota Nasional dalam Pengembangan Wilayah; e. Ketidakseimbangan Pertumbuhan Antarkota-kota Besar, Metropolitan dengan Kota-kota Menengah dan Kecil; f. Kesenjangan Pembangunan antara Desa dan Kota; g. Rendahnya Pemanfaatan Rencana Tata Ruang sebagai Acuan Koordinasi Pembangunan Lintas Sektor dan Wilayah; h. Sistem Pengelolaan Pertanahan yang Masih Belum Optimal.

Arah Kebijakan Pembangunan Perkotaan Dalam rangka mencapai sasaran pengurangan ketimpangan pembangunan antar wilayah dimaksud di atas, diperlukan arah kebijakan sebagai berikut : a. Mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh sehinggga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu “sistem wilayah pengembangan ekonomi” yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata rantai proses industri dan distribusi. Upaya ini dapat dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerja sama antar sektor, antar pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah; b. Meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan selain dengan pemberdayaan masyarakat secara langsung melalui skema dana alokasi khusus, public service obligation (PSO), universal service obligation (USO) dan keperintisan, perlu pula dilakukan penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi dengan wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis dalam satu “sistem pengembangan ekonomi”; c. Mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking, sehingga kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach), juga diperlukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach); d. Menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah dan kecil secara hierarkis dalam suatu “sistem pembangunan perkotaan nasional”.

Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi (forward and backward linkages) sejak tahap awal mata rantai industri, tahap proses produksi antara tahap akhir produksi (final process), sampai tahap konsumsi (final demand) di masing-masing kota sesuai dengan hierarkinya. Hal ini perlu didukung, antara lain, peningkatan aksesibilitas dan mobilitas orang, barang dan jasa antar kota-kota tersebut, antara lain melalui penyelesaian dan peningkatan pembangunan trans Kalimantan dan trans Sulawesi; e. Meningkatkan percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai “motor penggerak” pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya, maupun dalam melayani kebutuhan warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan antara lain, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan sesuai dengan tipologi kota masing-masing; f. Mendorong peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan “backward linkages” dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu “sistem wilayah pengembangan ekonomi”; g. Mengendalikan pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu “sistem wilayah pembangunan metropolitan” yang compact, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan; h. Mengoperasionalisasikan “Rencana Tata Ruang” sesuai dengan hierarki perencanaan (RTRW-Nasional, RTRW-Pulau, RTRW-Provinsi, RTRW-Kabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah; i. Merumuskan sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi. Berdasarkan pemaparan di atas, maka Pedoman Umum Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat disusun dengan maksud untuk memberikan pegangan bagi Aparatur Pusat, Daerah dan Desa dalam memahami Konsep Pembangunan Perdesaan dan Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat serta peran Fasilitator Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat. Pedoman tersebut, diharapkan dapat mewujudkan: Pemahaman yang sama mengenai Konsep Pembangunan Perdesaan, Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat serta peran Fasilitator Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat; Aparat yang berkemampuan dan berkapasitas untuk memfasilitasi Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan masyarakat dalam pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif berbasis potensi lokal; Sumber Daya Manusia di daerah (Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan masyarakat) yang berkemampuan dan berpengetahuan dalam pengembangan kegiatan ekonomi produktif berbasis potensi lokal.

Selasa, 27 Februari 2007

Upaya konservasi di Bali Barat, tidak berhenti pada budidaya rumput laut


Tanggal : 27 Februari 2007
Sumber : http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=news.detail&language=I&id=NWS1172597054

Hal penting yang tidak boleh terlupakan dalam melakukan kegiatan konservasi adalah mengupayakan agar kegiatan tersebut bermanfaat bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Oleh karena itu, WWF-Indonesia bersama masyarakat di sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) berupaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam dengan cara yang ramah lingkungan guna mengkonservasi terumbu karang.

Adapun kegiatan budidaya rumput laut sebagai salah satu bentuk mata pencaharian yang ramah lingkungan telah diinisiasikan forum masyarakat lokal, FKMPP-Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir, bersama WWF-Indonesia, sejak tahun 2003. Melalui kegiatan ini diharapkan para nelayan bersedia beralih dari kegiatan penangkapan ikan yang merusak terumbu karang dan ekosistem laut, seperti pengeboman dan penggunaan sianida, ke kegiatan mata pencaharian yang ramah lingkungan.

Dalam menggiatkan mata pencaharian yang ramah lingkungan bagi masyarakat setempat, WWF-Indonesia tidak berhenti hanya pada pengembangan budidaya rumput laut. Agar tercipta suatu rantai bisnis yang utuh, maka WWF-Indonesia juga membantu memfasilitasi para petani dalam membangun jaringan pasar guna memasarkan hasil panen rumput laut mereka dengan harga yang fair.

Begitu juga dengan kelompok ibu-ibu di sekitar kawasan TNBB, kegiatan mereka tidak berhenti hanya pada pengembangan pengolahan rumput laut menjadi produk-produk makanan seperti dodol, manisan, kerupuk, dan donat. Kapasitas ibu-ibu juga ditingkatkan melalui serangkaian pelatihan terkait dengan kualitas makanan, kemasan, pengelolaan keuangan serta pemasaran.

Terkait dengan upaya menguatkan kapasitas Unit Usaha di dalam FKMPP, maka FKMPP bersama WWF-Indonesia, menyelenggarakan sebuah lokakarya, pada tanggal 16-17 Januari 2007, di Mimpi Resort Menjangan, Bali Barat. Tema lokakarya yaitu ”Pengembangan dan Penguatan Usaha Rumput Laut dan Alternatif Lainnya di Bali Barat”.

Unit Usaha FKMPP didirikan dengan tujuan untuk membantu memasarkan hasil panen kelompok-kelompok usaha rumput laut dan produksi makanan olahan dari rumput laut di Bali Barat. Adapun keuntungan bersih dari Unit Usaha FKMPP akan dikelola untuk kegiatan konservasi sebanyak 35 persen, dan sisanya untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat serta pinjaman modal usaha.

Pada lokakarya ini berhasil didapatkan berbagai masukan penting terkait dengan penguatan bisnis rumput laut, khususnya dalam hal kualitas produk, strategi pemasaran, akses modal dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di Unit Usaha FKMPP.

Selain itu, sejumlah komitmen berhasil didapatkan dari berbagai lembaga seperti APIK (Asosiasi Pengrajin Industri Kecil) melalui program business development centre - nya, Dinas IndagKop (Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi), Dinas Kelautan dan Perikanan, Iniradef (Indonesia International Rural and Agricultural Development Foundation), Dinas Pertanian. Adapun komitmen yang diberikan terkait dengan peningkatan kapasitas SDM Unit Usaha FKMPP berupa dukungan akan bantuan teknis serta akses akan bantuan finansial.

Lokakarya ini juga merupakan bagian dari upaya sosialisasi inisiatif Green & Fair Products WWF-Indonesia. Inisiatif ini bertujuan untuk mendukung upaya masyarakat di sekitar kawasan konservasi dalam memanfaatkan sumber daya alam dengan cara yang ramah lingkungan. Dengan membantu mempromosikan dan memasarkan berbagai produk yang dibuat dari bahan alami dan diproduksi dengan cara yang tidak merusak lingkungan, diharapkan masyarakat setempat akan merasakan manfaat langsung dari kegiatan konservasi.

Bertani cabai, opsi lain untuk mata pencaharian ramah lingkungan

Selain penguatan Unit Usaha FKMPP dalam hal rumput laut, lokakarya ini juga mengangkat mengenai bentuk mata pencaharian lain yang ramah lingkungan. Adapun jenis mata pencaharian yang dianggap berpotensi untuk dikembangkan di kawasan Bali Barat adalah budidaya dan pengolahan cabai pasca panen.

Sekitar 45 persen sumber pendapatan keluarga masyarakat pesisir di kedua desa di Bali Barat, Sumber Klampok dan Pejarakan, didapatkan dari kegiatan bertani dengan cabai sebagai unggulannya.

Oleh karena itu, pada lokakarya hari ke-2 juga dibahas mengenai potensi pasar cabai (termasuk cabai olahan) serta permasalahan yang dihadapi oleh petani cabai di Bali Barat. Termasuk di dalamnya mengenai teknis penanaman, fluktuasi harga dan akses pasar, serta skema kredit mikro bagi para petani cabai.

Dengan bertambahnya opsi kegiatan mata pencaharian yang ramah lingkungan, selain budidaya rumput laut, maka kesejahteraan masyarakat semakin terjamin dan diharapkan jumlah penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak akan berkurang.

Lokakarya ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan terkait dengan exit strategy WWF-Indonesia yang akan mengakhiri kegiatannya di wilayah Taman Nasional Bali Barat pada pertengahan tahun 2007. Diharapkan rangkaian kegiatan yang tercakup dalam exit strategy
dapat mengupayakan agar berbagai kegiatan konservasi yang telah dikembangkan di Bali Barat dapat terus berlangsung tanpa keberadaan WWF-Indonesia.

Selasa, 09 Januari 2007

Sea Partnership Is Going On

Tanggal : 9 Januari 2007
Sumber : http://www.coremap.or.id/research_agenda/article.php?id=361

Setelah tertunda, pelaksanaan Sea Partnership Coremap II mulai berjalan. Tim evaluasi Seapartnership telah memilih 11 proposal Responsive Research yang menjadi salah satu elemen program Seapartnership. Ditegaskan pula oleh Direktur NCU bahwa program Seapartnership harus dapat menyerap 100% anggaran tahun 2006. Dengan perhatian khusus pada program-program yang dapat dinikmati langsung oleh pelajar, pemuda dan masyarakat pesisir.

Hal tersebut mengemuka dalam Workshop Program Mitra Bahari (PMB) pada awal bulan Mei lalu. Workshop tersebut dihadiri oleh perwakilan RCU dan RC Provinsi lokasi COREMAP II yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Irian Jaya Barat dengan tujuan untuk meningkatkan pelaksanaan kegiatan PMB lebih kongkrit dan seluruh komponen yang terlibat dalam program ini seperti RC ,RCU, LSM lebih bersinergi.

Direktur NCU COREMAP II, Ir Yaya Mulyana pada pengarahan pembukaan workshop menyampaikan bahwa bagian yang sulit dalam pelaksanaan program Sea Partnership adalah membangun kebersamaan, baik antar instansi maupun pihak lain seperti LSM dan Swasta. ”Sesungguhnya yang dibangun dalam implementasi program ini adalah Trust atau kepercayaan antara sesama lembaga. Sehingga dalam menjalankan program Sea Partnership tidak membangun pola pikir proyek, namun system fund raising yang berkelanjutan (Sustainability). Karena penekanan program PMB untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan masyarakat pesisir maka harus dilakukan secara terus menerus.” ujar Direktur NCU COREMAP II.

Sekretari Eksekutif COREMAP II, Sapta P. Ginting PhD, dalam presentasinya menghimbau kepada RCU dan RC sebagai organisasi pelaksana program COREMAP II di tingkat Propinsi untuk mengirimkan daftar nama-nama untuk penerima beasiswa, PKL, Seconded Staff, selambat-lambatnya pertengahan tahun 2006 dilampiri persyaratan dan kelengkapan dokumennya untuk diproses lebih lanjut.

List judul Riset Terapan yang telah lulus seleksi adalah :

  1. RC Sultra :
    • Integrasi Perlindungan Terumbu Karang denagn Penerapan Budidaya Rumput Laut Metode Long Line Kantong Jaring di Kab. Buton ( Dibiayai Propinsi )
    • Judul ke-dua akan ditempatkan di Kab. Wakatobi. Sehubungan belum ada proposal yang masuk, RC Sultra diminta segera mengirimkan proposal ke Sekretariat minimal 3 (tiga) judul selambat-lambatnya akhir Mei 2006. (Akan dibiayai oleh Pusat)
  2. RC SULSEL:
    • Formulasi Pola PengembanganSumberdaya Perikanan dan Kelautan di Kec. Bontosikoyu Kab. Salayar (Dibiayai oleh Pusat)
    • Kajian Pola Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Karang Hias di Kep. Spermide, Kab. Pangkep (Dibiayai Propinsi)
  3. RC IRJABAR:
    • Peningkatan Pensdapatan Nelayan Lokal Raja Ampat melalui dDiversifikasi Pengolahan Ikan Tenggiri (Dibiayai Propinsi)
    • Kajian Pengembangan Wisata Bahari berbasis Masyarakat Spesifik raja ampat (Dibiayai Pusat)
  4. RC PAPUA :
    • Hubungan Antara Berbagai Aktifitas Masyarakat Pesisir dan Kondisi Komunitas Terumbu Karang di Kep. Padaido Kab. Biak Numfor (Dibiayai Pusat)
    • Peningkatan Income Masyarakat Pesisir Melalui Aplikasi Teknologi dan Diversifikasi Produk Olahan Ikan Hasil Tangkapan Nelayan. (Dibiayai Propinsi)
    • Aplikasi Daerah Perlindungan Laut dalam Usaha Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang yang berkelanjutan di Kep. Padaido (Dibiayai Pusat).
  5. RC NTT :
    • Pemulihan Ekosistem Terumbu Karang dari kerusakan akibat Pemboman melaui upaya Peningkatan Kolonisasi Organisme Karang di Perairan teluk Maumere, Sikka (Dibiayai oleh Pusat)
    • Peningkatan Nilai Tambah Hasil Laut pada Nelayan Desa Nangan Hure, Kec. Nita dan Nangan Hure, Kec. Talibura, Kab. Sikka (Dibiayai Propinsi)