Selasa, 06 Desember 2005

Sektor Perikanan makin Prospektif


Tanggal : 6 Desember 2005
Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2006/12/5/e1.htm

Sektor perikanan sejak lama memang menjadi salah satu andalan Bali dalam hal ekspor. Ketergantungan pada sektor perikanan ini makin besar seiring menurunnya peran sektor TPT dan kerajinan barang seni pascalesunya pariwisata. Tetapi, menyusul kenaikan BBM pada Oktober 2005 lalu, sektor ini mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan. Sebab, harga BBM naik cukup tinggi untuk operasional nelayan. Bagaimana kondisinya saat ini?

PERIKANAN, terutama komoditi tuna dari Bali punya nama cukup bagus di pasar dunia. Tuna hasil tangkapan pengusaha di Bali sudah mampu menembus pasar ekspor sejak dulu. Beberapa negara yang cukup besar mengimpor tuna dari Bali adalah Jepang, Taiwan, Cina, dan Korea. Negara-negara Asia yang merupakan konsumen ikan terbesar di dunia ini bisa dibilang memiliki hubungan bisnis yang erat dengan Bali, khususnya komoditi tuna.

Di samping tuna, ada pula beberapa jenis ikan lainnya yang cukup populer dan digemari pasar internasional. Misalnya saja udang dan ikan kerapu. Dua jenis komoditi ini cukup tinggi realisasi ekspornya meskipun hingga kini dominasi tuna masih belum bisa terkalahkan. Namun ke depan prospek kedua komoditi itu diprediksi akan semakin bagus mengingat sudah ada pengusaha yang secara profesional membudidayakannya di perairan Bali Utara yang memang sangat cocok untuk jenis kerapu maupun tuna.

Selain komoditi perikanan yang dapat dikonsumsi, Bali sebagaimana dikatakan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bali Wisnawa Manuaba juga punya potensi komoditi lainnya. Misalnya saja ikan hias dan rumput laut. Jenis-jenis komoditi ini termasuk cukup mengalami peningkatan dalam realisasi ekspor dua tahun belakangan ini.

Hanya sayangnya, dalam setahun terakhir ini terjadi penurunan dalam jumlah realisasi tuna yang diekspor karena kenaikan BBM. Menurut Sekjen Asosiasi Tuna Long Line Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra, ketidakmampuan para pengusaha perikanan tuna melaut disebabkan mahalnya biaya operasional yang mesti dikeluarkan khususnya solar.

Di sisi lain, harga tuna di pasaran dunia belum juga mengalami kenaikan. Dia mengatakan bila pengusaha tuna menaikkan secara sepihak harga jualnya, dikhawatirkan buyer akan lari ke negara lain untuk membeli tuna. Perlu diketahui, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menggarap tuna sebagai pasar ekspornya. Beberapa negara lain juga menjadikan tuna sebagai mata dagangan negerinya.

Berdasarkan data yang ada di Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bali, pendapatan asli daerah (PAD) yang diperoleh melalui sektor perikanan mencapai Rp 600 juta setahun lalu. Dia memprediksikan tahun ini pun realisasi dalam jumlah sama akan diperoleh. ''Ekspor perikanan dan kelautan Bali pada tahun ini tidak mengalami kendala yang berarti. Ekspor masih lancar dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, baik dari nilai maupun volumenya,'' kata Wisnawa.

Komentar sama juga dilontarkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Bali IGN Suteja. Dia mengatakan realisasi ekspor sektor perikanan masih sama seperti sebelumnya. Dia menilai sektor ini relatif stabil realisasinya, dibandingkan sektor TPT dan kerajinan yang cenderung berfluktuasi.

Dari sisi nilai ekspor jumlah yang didapatkan dari sektor perikanan ini lebih besar lagi. Data periode Januari - Juli 2006, realisasi sektor pertanian dan perikanan yang diekspor mencapai kisaran 31,6 juta dolar. Realisasi ini naik 5,7 persen jika dibandingkan periode sama 2005 yang hanya 29,9 juta dolar. Dilihat dari volumenya, periode Januari - Juli 2006 ini, produk perikanan yang diekspor lewat Bali mencapai sekitar 6.578,7 ton.

Paling tidak tercatat sekitar 12 jenis komoditi perikanan dan hasil laut diekspor Bali ke berbagai negara. Ikan tuna masih menjadi andalan utama ekspor. Komoditi ini mendominasi sekitar 40 persen dari realisasi ekspor perikanan secara keseluruhan. Tujuan utama dari ekspor produk perikanan Bali ini antara lain Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Keberadaan sektor perikanan dan sumbangsihnya bagi perekonomian memang tidak boleh dianggap remeh. Meskipun BBM naik dan persaingan dengan kapal asing yang melaut di perairan nasional secara ilegal masih ada, kondisi ekspor perikanan Bali belum menunjukkan penurunan. Tapi memang bila dilihat dari potensinya, sebenarnya ekspor dari Bali bisa lebih besar lagi. Selain mengupayakan produksi melalui sistem tangkap, budi daya pun saat ini juga dikembangkan.

Guna lebih menggiatkan perekonomian masyarakat pesisir pun, pemerintah dikatakan Wisnawa, sudah pula menggulirkan bantuan. Salah satu yang secara kontinu dikeluarkan adalah program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Klungkung, misalnya, salah satu kabupaten di Bali yang mempunyai populasi nelayan cukup besar terutama di daerah tiga Nusa sudah merasakan efektifnya program PEMP.

Program ini sendiri sudah diluncurkan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sejak tahun 2001. Pada tahun 2001-2003 program PEMP dikucurkan ke KMP melalui wadah LEPP.M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina) dengan pola bergulir dikawasan (bukan di kelompok). Melalui wadah LEPP.M3 diharapkan masyarakat pesisir mulai belajar mengelola manajemen keuangan, belajar mengelola usaha dengan memperhitungkan untung rugi, serta belajar menabung. (iah)

Jumat, 02 Desember 2005

MODEL PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE

Tanggal : 2 Desember 2005
Sumber : http://www.unila.ac.id/~fp-hutan/mambo/jhutrop/jh21wawan.html

MODEL PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN
TAMAN NASIONAL KUTAI OLEH MASYARAKAT DUSUN TELUK LOMBOK

PENDAHULUAN

Ekosistem mangrove merupakan komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat khususnya di sekitar pantai.

Manfaat hutan mangrove secara fisik antara lain menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari abrasi, menahan tiupan angin kencang dari laut, serta menjadi wilayah penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi). Secara biologis hutan mangrove berfungsi sebagai tempat memijah dan berkembangbiaknya berbagai hewan air, tempat berlindung dan berkembang biak burung dan satwa lain, serta berfungsi sebagai sumber plasma nutfah. Secara ekonomis, hutan mangrove berfungsi juga sebagai penghasil kayu dan bahan bangunan, penghasil bahan baku industri, bibit ikan, tempat pariwisata, serta penelitian dan pendidikan.

Pemanfaatan hutan mangrove saat ini cenderung bersifat merusak, sehingga menyebabkan penurunan luas hutan mangrove dari waktu ke waktu. Eksploitasi hutan mangrove yang berlebihan, konversi hutan mangrove menjadi kawasan tambak, industri, pemukiman, dan pertanian merupakan penyebab utama menurunnya luasan hutan mangrove.

Taman Nasional Kutai (TNK) merupakan kawasan konservasi yang memiliki hutan mangrove seluas ± 5.440,70 ha, yaitu 1—2 km dari tepi pantai ke arah daratan yang didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguiera. Namun, luasan hutan mangrove ini terus mengalami penyusutan akibat berbagai tekanan, terutama penebangan liar dan konversi hutan mangrove yang tidak terkendali menjadi areal tambak. Kondisi ini diperparah oleh desakan penduduk dalam memenuhi keperluan hidup, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem mangrove diperlukan berbagai upaya, diantaranya melalui pengembangan model pelestarian mangrove dengan melibatkan masyarakat sekitar. Hal tersebut penting dilakukan, mengingat upaya yang dilakukan instansi terkait seringkali mengalami kegagalan. Upaya pelestarian yang bersifat top–down dengan mengesampingkan unsur masyarakat ternyata seringkali mengakibatkan ketidakberhasilan. Padahal keberadaan masyarakat sekitar hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove.

Tujuan penelitian yaitu :

1. Mengkaji potensi ekosistem mangrove Teluk Lombok

2. Mengkaji karakteristik rumah tangga masyarakat Dusun Teluk Lombok

3. Mengkaji persepsi masyarakat Dusun Teluk Lombok terhadap pelestarian ekosistem mangrove

4. Mengkaji kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat Dusun Teluk Lombok

5. Mengkaji suatu model pelestarian ekosistem mangrove berbasiskan masyarakat lokal.


BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Taman Nasional Kutai yang secara administratif terletak di Dusun Teluk Lombok, Desa Sangkima, Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan hutan mangrove Teluk Lombok seperti halnya kawasan Taman Nasional Kutai termasuk iklim B dengan nilai Q berkisar antara 14,3%—33,3%. Curah hujan rata-rata setahun adalah sebesar 1543,6 mm atau rata-rata bulanan 128,6 mm dengan rata-rata hari hujan setahun 66,4 hari atau rata-rata bulanan 5,5 hari. Suhu rata-rata di kawasan hutan mangrove Teluk Lombok adalah 26oC (berkisar antara 21—34oC) dengan kelembaban relatif 67%—98% (Rahmadani et al. 2004).

Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan (Oktober—Desember 2004) dengan pengambilan data di lapangan selama 1 bulan, yang meliputi kegiatan pengumpulan data primer dan sekunder, dan observasi lapang. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode survey, yaitu melalui: wawancara, observasi lapang, dan studi literatur. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.

Data potensi ekosistem mangrove Teluk Lombok diperoleh melalui hasil studi literatur/studi pustaka dari berbagai kegiatan penelitian yang telah ada/dilakukan sebelumnya. Data karakteristik rumah tangga masyarakat, data persepsi masyarakat terhadap pelestarian ekosistem mangrove, data kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat, dan data pelestarian ekosistem mangrove oleh masyarakat Dusun Teluk Lombok diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner pada masyarakat Dusun Teluk Lombok dan observasi lapang. Data primer dan data sekunder yang telah diperoleh dikompilasikan dan ditabulasikan yang selanjutnya dianalisa dan dijelaskan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Ekosistem Mangrove Teluk lombok

Ekosistem mangrove di Teluk Lombok memiliki beberapa potensi yang patut dilestarikan karena merupakan salah satu ekosistem mangrove di Taman Nasional Kutai yang masih tersisa. Rahmadani et al. (2004) memperkirakan bahwa 15%—20% dari total kawasan mangrove di TNK telah terdegradasi dan berubah fungsi menjadi tambak dan pemukiman.

Menurut Gunawan (2004), ekosistem mangrove Teluk Lombok mempunyai struktur pertumbuhan vegetasi yang lengkap pada tingkat semai, pancang, dan pohon sehingga proses regenerasi dapat berlangsung dan akan terwujud kelestarian apabila tingkat ancaman/gangguan kerusakan terhadap ekosistem tersebut rendah. Namun demikian, ekosistem mangrove Teluk Lombok memiliki keanekaragaman jenis yang tergolong rendah pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi dan didominasi oleh Bruguiera gymnorhiza, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata. Selain jenis-jenis tersebut, berdasarkan laporan survei potensi mangrove di TNK yang dilakukan oleh Rahmadani et al. (2004) dijumpai pula jenis Avicennia alba, Ceriops tagal, Casuarina equisetifolia, Sonneratia caseolaris, Avicennia marina, dan Lumnitzera racemosa.

Ekosistem mangrove pada umumnya dijadikan sebagai tempat hidup berbagai jenis satwaliar, seperti: ikan, serangga, invertebrata, burung, dan mamalia besar. Hal tersebut disebabkan pada tipe ekosistem mangrove ini memungkinkan tersedianya unsur hara dan makanan satwa liar sepanjang tahun. Satwa liar yang terdapat di kawasan hutan mangrove Teluk Lombok berdasarkan hasil survey Rahmadani et al. (2004) meliputi jenis burung, primata, dan reptilia.

Jenis-jenis burung yang terdapat di kawasan hutan mangrove antara lain Cangak Merah (Ardea purpurea), Kuntul Karang (Egreta sacra), Kuntul Kerbau (Bubulus ibis), Cekakak Cina (Halcyon pileata), Cekakak Sungai (Todirhamphus chloris), Raja Udang Kalung Biru (Alcedo euryzona), Trinil Bedaran (Tringa cinereus), Elang Bondol (Haliastur indus), Elang Laut Perut Putih (Haliastur leucogaster), Kucica Kampung (Copsychus saularis), Kacamata Laut (Zosterops chloris), Cinenen Merah (Orthotomus seriseus), Burung Cabai Polos (Dicaeum concolor), Ixobrychus eurhythmus, Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps), Artamus leucorynchus, dan Anas gibberifrons.

Jenis-jenis primata yakni Bekantan (Nasalis larvatus), Orangutan (Pongo pygmaeus), Monyet Abu-abu (Macaca fascicularis). Jenis-jenis reptilia yang terdapat di kawasan hutan mangrove Teluk Lombok terdiri atas Buaya Muara (Crocodylus porosus), Buaya Sapit (Thomistoma schelegeli), dan Biawak (Varanus salvator). Sedangkan jenis-jenis satwaliar lainnya yang terdapat di kawasan hutan mangrove Teluk Lombok terdiri atas Kancil (Tragulus sp.), Kijang (Muntiacus muntjak), dan Babi Hutan (Sus barbatus).

Karakteristik Rumah tangga Masyarakat Dusun Teluk Lombok

Dusun Teluk Lombok termasuk ke dalam Desa Sangkima, Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Berdasarkan data Monografi Desa tahun 2003, Desa Sangkima mempunyai jumlah penduduk sebesar 3.072 orang, terbagi ke dalam jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.519 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 1.553 orang. Adapun jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah sebanyak 739 KK.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Teluk Lombok memiliki karakteristik rumah tangga sebagai berikut: kepala rumah tangga di Dusun Teluk Lombok sebagian besar berumur antara 22—78 tahun dengan jumlah anggota rumah tangga berkisar antara 2—9 orang. Tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya masih tergolong rendah, yaitu sebagian besar berpendidikan formal Sekolah Dasar (SD) ataupun tidak tamat SD, hanya sedikit yang berpendidikan formal sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sebagian besar masyarakat Dusun Teluk Lombok merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari Suku Mandar Mamuju, Sulawesi. Mereka tinggal di pinggir pantai di sekitar kawasan ekosistem mangrove, sehingga sebagian besar kebutuhan hidupnya dipenuhi dengan memanfaatkan keberadaan ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem mangrove dapat berdampak pada pendapatan mereka karena pada umumnya matapencaharian pokok masyarakat sekitar adalah sebagai nelayan yang hasil tangkapan ikannya sangat bergantung pada kualitas ekosistem mangrove yang terdapat di sekitarnya. Adapun matapencaharian tambahan masyarakat sekitar diantaranya adalah bertani, beternak, dan berdagang.

Pendapatan pokok masyarakat dari kegiatan/usaha yang dilakukannya berkisar antara Rp 250.000/bulan­—Rp 2.000.000/bulan, sedangkan pendapatan tambahan masyarakat berkisar antara Rp 100.000/bulan—Rp 1.000.000/bulan. Adapun luas lahan yang dikuasai masyarakat berkisar antara 0,5—6 ha yang digunakan untuk kebun, tambak, atau berupa lahan kosong/tidak digunakan.

Persepsi Masyarakat Dusun Teluk Lombok terhadap Pelestarian Ekosistem Mangrove

Masyarakat di Dusun Teluk Lombok memiliki persepsi bahwa pelestarian ekosistem mangrove sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka, terutama dalam menunjang matapencaharian masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional. Selain itu, mereka berpendapat bahwa dengan adanya kegiatan pelestarian ekosistem mangrove menjadikan kondisi lingkungan sekitar mereka menjadi lebih baik.

Masyarakat Dusun Teluk Lombok pada umumnya menganggap bahwa hutan mangrove merupakan kekayaan alam yang harus dijaga kelestariannya, terutama sebagai pencegah abrasi/erosi pantai, sebagai sumber mencari ikan, dan sebagai sumber mencari bibit mangrove. Kegiatan rehabilitasi pada hutan mangrove yang telah rusak menurut masyarakat Dusun Teluk Lombok perlu dilakukan. Hal tersebut menunjukkan terdapatnya kesadaran yang baik dari masyarakat Dusun Teluk Lombok terhadap fungsi hutan mangrove.

Beberapa faktor yang mendorong tumbuhnya kesadaran ini di antaranya adalah sebagai berikut

1. Terdapatnya kegiatan pendampingan oleh LSM setempat

Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat, yaitu LSM Bina Kelola Lingkungan (BIKAL), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK) dan Balai TNK terhadap masyarakat Dusun Teluk Lombok telah menumbuhkan kesadaran masyarakat Dusun Teluk Lombok terhadap pentingnya melestarikan ekosistem hutan mangrove yang terdapat di sekitar mereka.

2. Manfaat nyata melestarikan mangrove telah dirasakan oleh masyarakat

Masyarakat Dusun Teluk Lombok telah merasakan manfaat nyata dari kegiatan melestarikan mangrove. Kegiatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Teluk Lombok telah memberikan manfaat yang positif. Sebelum adanya kegiatan rehabilitasi mangrove, masyarakat Dusun Teluk Lombok mengalami kesulitan dalam memperoleh tangkapan ikan jenis tertentu, seperti ikan Bawis. Namun, setelah dilakukannya rehabilitasi mangrove, jenis ikan tersebut mulai mudah didapatkan kembali. Berdasarkan kenyataan tersebut, masyarakat Dusun Teluk Lombok menjadi lebih sadar dan yakin bahwa melestarikan hutan mangrove sangat penting untuk kehidupan mereka.

3. Terjadinya abrasi yang menyebabkan pindahnya pemukiman masyarakat

Masyarakat Dusun Teluk Lombok pada awalnya bermukim di pinggir pantai Teluk Lombok, namun lama kelamaan pantai di Teluk Lombok mengalami abrasi karena sedikitnya vegetasi yang terdapat di pantai tersebut. Pada akhirnya, masyarakat tersebut memindahkan pemukimannya ke bagian yang lebih jauh dari pantai karena proses abrasi terus menerus terjadi. Terjadinya peristiwa tersebut telah memberikan pelajaran pada masyarakat Dusun Teluk Lombok bahwa vegetasi yang terdapat di sekitar mereka sangat penting bagi kehidupan mereka. Mengingat pentingnya menjaga vegetasi di sekitar mereka, maka masyarakat Dusun Teluk Lombok mengadakan kegiatan rehabilitasi mangrove dengan difasilitatori oleh LSM BIKAL.

Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove oleh Masyarakat

Hutan dan masyarakat di sekitarnya memiliki hubungan yang sangat erat dan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kondisi demikian terjadi pula pada masyarakat Dusun Teluk Lombok yang mendiami daerah sekitar hutan mangrove yang merupakan bagian dari kawasan TNK. Masyarakat tersebut banyak memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada pada ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut: mencari ikan, kerang, dan kepiting baik untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual; pemanfaatan daun nipah sebagai bahan atap atau ketupat; pemanfaatan nira nipah menjadi gula/arak; pemanfaatan buah nipah sebagai campuran es buah atau dimakan segar; pemanfaatan kayu bakau sebagai kayu bakar, jembatan, tiang bagang, tiang perangkap kayu, tiang penambat perahu; pemanfaatan buah rambai laut (Sonneratia alba) sebagai campuran sayuran; dan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak, yaitu mengkonversi ekosistem mangrove menjadi tambak. Para petambak tersebut pada umumnya berasal berasal dari luar daerah Dusun Teluk Lombok.

Pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan dalam skala besar akan menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, maka diperlukan pengembangan matapencaharian alternatif masyarakat Dusun Teluk Lombok. Beberapa matapencaharian alternatif yang telah dikembangkan di Dusun Teluk Lombok adalah sebagai berikut: pengembangan persemaian mangrove baik melalui sistem cabutan ataupun dari buah, pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai tempat pembesaran kepiting dalam karamba, budidaya rumput laut dan pengembangan agar-agar dari rumput laut.

Pelestarian Ekosistem Hutan Mangrove oleh Masyarakat Dusun Teluk Lombok

Kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove di Teluk Lombok dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Teluk Lombok yang tergabung dalam Kelompok Tani Pangkang Lestari. Dalam kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove, Kelompok Tani Pangkang Lestari ini didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Binakelola Lingkungan (LSM BIKAL), Lembaga Pengembangan Masyarakat Kampung (LPMK), dan Balai TNK melalui dana yang diperoleh dari Mitra Taman Nasional Kutai. Keberadaan LSM memegang peranan penting dalam keberhasilan pelestarian ekosistem mangrove di Teluk Lombok, LSM tersebut berperan sebagai pendamping masyarakat (fasilitator dan motivator) dalam upaya menyatukan dan mensinergikan kepentingan-kepentingan masyarakat, Balai TNK, dan pihak lain terhadap ekosistem hutan mangrove.

Berbagai proses yang dibangun dalam program pelestarian ekosistem hutan mangrove ini melibatkan masyarakat Dusun Teluk Lombok, mulai dari penggalian informasi dari masyarakat terhadap program yang akan dijalankan, penentuan lokasi rehabilitasi, jenis tanaman mangrove yang dipilih, hingga identifikasi kebutuhan dan pembagian peran. Berdasarkan penggalian informasi dari masyarakat terhadap program yang akan dijalankan diperoleh hasil bahwa masyarakat menerima secara positif terhadap program pelestarian ekosistem hutan mangrove di Teluk Lombok. Program pelestarian ekosistem hutan mangrove tersebut diwujudkan melalui kegiatan rehabilitasi seluas 10 ha oleh masyarakat Dusun Teluk Lombok.

Lokasi rehabilitasi hutan mangrove ini berada sekitar 20 meter dari areal bekas pemukiman masyarakat Dusun Teluk Lombok sebelum terjadinya abrasi pantai. Pada awalnya masyarakat menempati areal di sepanjang pantai Teluk Lombok. Namun, seiring dengan rusaknya hutan mangrove di sekitar pantai, maka daerah pemukiman mereka pun mengalami abrasi dan mengharuskan warga untuk berpindah ke tempat yang lebih aman. Pertimbangan pemilihan lokasi ini sebagai lokasi rehabilitasi hutan mangrove adalah gelombang dan arus di lokasi tersebut tidak terlalu besar, jarang dilewati perahu nelayan, dan merupakan daerah yang mengalami abrasi pantai.

Keberadaan tenaga pendamping memiliki peranan penting dalam keberhasilan program rehabilitasi hutan mangrove ini. Program penguatan kelompok dan penyadaran melalui transformasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat dan anggota Kelompok Tani Pangkang Lestari sangat mendukung upaya rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan. Peran tenaga pendamping dalam memperlancar proses belajar anggota kelompok tidak dapat diabaikan. Tenaga pendamping tersebut pada dasarnya memiliki peran sebagai motivator dan fasilitator. Peranan ini diperlukan dalam membantu kelompok tani untuk menganalisa dan memecahkan permasalahan yang mereka hadapi.

Selain tenaga pendamping, dalam pembagian peran yang dilakukan pada program rehabilitasi hutan mangrove ini, terdapat pula Mitra TNK yang memiliki peran sebagai penyandang dana. Mitra TNK merupakan wadah yang terdiri atas beberapa perusahaan besar yang berlokasi di sekitar kawasan TNK yang memiliki komitmen untuk membantu kegiatan pengelolaan TNK.

Delapan perusahaan besar yang menjadi Mitra TNK adalah PT. Kaltim Prima Coal (KPC), PT. Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT. Badak NGL, PT. Pertamina, PT. Banpu Indominco Mandiri, PT. Porodisa, PT. Surya Hutani Jaya, dan PT. Kiani Lestari. Saat ini, dari delapan Mitra TNK, terdapat tiga diantaranya sudah tidak lagi memberikan komitmen sejak tahun 2004, yaitu: PT. Porodisa, PT. Surya Hutani Jaya, dan PT. Kiani Lestari. Namun demikian, ketiganya masih tercatat sebagai Mitra TNK.

Untuk membangun komitmen masyarakat dalam melaksanakan program serta menjadikan masyarakat sebagai subyek yang berpartisipasi aktif dalam program pelestarian ekosistem hutan mangrove, maka sebelum pelaksanaan kegiatan dilakukan diskusi diantara masyarakat Dusun Teluk Lombok yang tergabung dalam Kelompok Tani Pangkang Lestari dengan didampingi oleh tenaga pendamping dari LSM BIKAL. Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa selain kegiatan rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan mangrove, masyarakat juga mengharapkan adanya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai subyek, maka masyarakat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai tahap seperti perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan ekosistem hutan mangrove, dan upaya pelestarian ekosistem hutan mangrove, sebagai berikut:

1. Sebelum Pelaksanaan Program Pelestarian Ekosistem Hutan Mangrove

Perencanaan yang matang akan menentukan keberhasilan pelaksanaan program pelestarian ekosistem hutan mangrove. Oleh karena itu, maka diperlukan suatu pembahasan dengan berbagai pihak terutama dengan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan ekosistem hutan mangrove. Selain itu, diperlukan pula kajian awal menyangkut segala aspek yang berkaitan dengan ekosistem hutan mangrove, seperti: potensi, identifikasi permasalahan, identifikasi stakeholders dan persepsinya terhadap ekosistem hutan mangrove, kondisi stakeholders, peran dan kepentingan masing-masing stakeholders.

2. Pelaksanaan Program Pelestarian Ekosistem Hutan Mangrove

Berdasarkan hasil kajian awal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam perumusan program kegiatan. Dalam penentuan program kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove harus selaras dengan kebutuhan masyarakat sekitar, yaitu adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, penguatan kelembagaan, dan kesempatan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove. Beberapa program kegiatan yang telah dilakukan di Dusun Teluk Lombok adalah sebagai berikut:

§ Penguatan kelembagaan masyarakat Dusun Teluk Lombok yang tergabung ke dalam Kelompok Tani Pangkang Lestari.

§ Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha kecil membuat kerupuk kepiting, budidaya kepiting dalam karamba, dan budidaya rumput laut.

§ Mendukung Balai TNK dalam upaya pelestarian ekosistem hutan mangrove.

§ Pendampingan masyarakat Dusun Teluk Lombok (fasilitator dan motivator) yang dilakukan oleh LSM BIKAL.

§ Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove bersama masyarakat sekitar.

3. Paska Pelaksanaan Program Pelestarian Ekosistem Hutan Mangrove

Paska pelaksanaan program pelestarian ekosistem hutan mangrove harus dilaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan tersebut yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh tenaga pendamping dari LSM BIKAL.

Keberhasilan program pendampingan yang dilakukan untuk mendorong masyarakat berpartisipasi aktif dalam kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove memiliki peranan penting dalam menunjang kegiatan selanjutnya. Selain itu, agar pelaksanaan program pelestarian hutan mangrove ini dapat berhasil dengan baik, maka harus didukung oleh regulasi atau aturan main yang disepakati oleh semua pihak baik instansi yang bertanggung jawab langsung terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove, masyarakat, maupun pihak lainnya. Tersedianya seperangkat aturan dan kebijakan tentang ekosistem hutan mangrove, peran, hak dan kewajiban masyarakat dan instansi terkait, serta sanksi yang jelas bagi pelanggar aturan akan mendorong terlaksananya program pelestarian hutan mangrove sesuai dengan tujuan kegiatan pelestarian hutan mangrove yang telah ditetapkan.

Beberapa perangkat aturan yang terkait dengan program pelestarian ekosistem hutan mangrove di Teluk Lombok adalah sebagai berikut: Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Keputusan Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/1995 tentang Penunjukkan Taman Nasional Kutai, Peraturan Daerah Kota Bontang No.6 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Hutan Lindung Kota Bontang, Peraturan Daerah Kota Bontang No.7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove, dan Peraturan Desa Sangkima tentang Peran Serta Masyarakat dalam Menjaga dan Melestarikan Hutan Bakau/ Mangrove. Keberadaan berbagai perangkat aturan tersebut diharapkan mampu mendukung kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove di Teluk Lombok.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove di Teluk Lombok diharapkan dapat mengembalikan dan menjaga fungsi ekosistem hutan mangrove sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar sebagai dampak dari terpeliharanya ekosistem hutan mangrove di Teluk Lombok akan membuat masyarakat sekitar menyadari pentingnya menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove karena masyarakat tersebut dapat merasakan secara nyata manfaat dari terjaganya kelestarian ekosistem hutan mangrove yang terdapat di sekitar mereka. Apabila masyarakat sekitar telah merasakan manfaat dari kelestarian ekosistem hutan mangrove tersebut, maka masyarakat akan menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove dari hal-hal yang bersifat merusak, terutama yang datangnya dari luar lingkungan mereka.

Adapun kerangka model pelestarian ekosistem mangrove di Teluk Lombok tersaji dalam Gambar 1.

SIMPULAN

1. Ekosistem hutan mangrove di Teluk Lombok memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang rendah. Namun demikian, hutan mangrove tersebut merupakan salah satu kawasan mangrove di TNK yang masih tersisa dan patut dilestarikan.

2. Karakteristik rumah tangga masyarakat Dusun Teluk Lombok dapat mempengaruhi kelestarian ekosistem hutan mangrove Teluk Lombok.

3. Adanya pendampingan dan fasilitasi oleh LSM telah menyebabkan perubahan persepsi masyarakat Dusun Teluk Lombok terhadap fungsi ekosistem hutan mangrove ke arah yang positif. Masyarakat mulai sadar terhadap fungsi dan peran ekosistem hutan mangrove dan mempunyai komitmen untuk melestarikan ekosistem hutan mangrove Teluk Lombok.

4. Masyarakat Dusun Teluk Lombok memanfaatkan ekosistem hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Agar kelestarian ekosistemnya dapat dipertahankan, maka telah terdapat upaya pengembangan matapencaharian alternatif untuk memanfaatkan ekosistem hutan mangrove tanpa mengancam kelestariannya melalui pengembangan persemaian mangrove, budidaya rumput laut, pembesaran kepiting dalam karamba, dan pembuatan kerupuk kepiting.

5. Keberhasilan kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dan peran aktif masyarakat beserta seluruh stakeholders terkait. Kegiatan pelestarian ekosistem hutan mangrove juga harus dapat meningkatkan kesejahteraan dan memperkuat kelembagaan masyarakat sekitar, sehingga mereka dapat merasakan manfaat langsung dari terjaganya kelestarian ekosistem hutan mangrove.

Kamis, 06 Oktober 2005

Masyarakat Perlu Pekerjaan Alternatif

Tanggal : 6 Oktober 2005
Sumber :
http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=2382&Itemid=80

RANAI-Pemanfaatan sumberdaya alam kelautan untuk kesejahteraan masyarakat telah banyak dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Namun permasalahan utama sekarang ini adalah pemanfaatan sumberdaya tersebut sering tidak diperhatikan dengan membiarkan dampak yang ditimbulkannya.

Hal ini disampaikan Edy Husni, Stp, Msi dari PT Pilar Nugraha Consultant yang merupakan tenaga ahli dalam rangka sosialisasi di lokasi Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) II Natuna (5/10) di Desa Tanjung.

Ia menjelaskan salah satu fokus utama program Coremap II memberikan penekanan pada upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Usaha ini tidak dapat dilakukan dengan cara parsial namun harus holistic dengan dukungan semua pihak sesuai dengana peran dan kompetensi lembaga atau institusi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Secara umum program coremap II ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang diantaranya dilakukan dengan pengembanagan infrastruktur dan fasilitas sosial yang ada di lokasi Coremap,"terang Edy Husni .

Pengembangan sarana dan prasarana tersebut menurut Edy diperlukan untuk mendukung keberhasilan program Coremap, yakni dengan melakukan pembangunan kebutuhan prasarana dasar, infra struktur dasar, ekonomi serta perlindungan dan rehabilitasi lingkungan.

Dalam kesempatan tersebut Husni juga mengatakan secara umum masyarakat pesisir mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat besar dengan sumberdaya perikanan dan kelautan termasuk ekosistem terumbu karang. Dan adapun upaya untuk memanfaatkan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan disinyalir merupakan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia.

Lebih lanjut dijelaskannya upaya-upaya terhadap pelarangan masyarakat untuk melakukan aktifitas penangkapan ikan harus diimbangi dengan sumber mata pencaraian baru. Oleh karena itu pengembangan mata pencaharian altenatif ini menjadi salah satu komponen yang penting dalam pelaksanaan program Coremap II.

“Pengembangan mata pencarian alternatif ini dilakukan dengan mempersiapkan sumber-sumber mata pencarian masyarakat dengan mengadakan pengembangan keterampilan masyarakat dalam mengelola usaha kecil dan pengembangan jaringan pemasaran yang lebih luas. Sehingga dengan berjlannya konsep tersebut masyarakat tidak merasa terbebani dengan peralihan mata pencaharian mereka,"jelas Husni.

Senin, 03 Oktober 2005

Nelayan Akan Alih Pekerjaan

Tanggal : 03 Oktober 2005

Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/03/kot14.htm

KENDAL - Sejumlah nelayan di Desa Sendang Sikuncing dan Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, Kendal, berancang-ancang untuk alih pekerjaan.

Antara lain, sebagai buruh bangunan di perkotaan, kuli angkut, dan menjala ikan di sungai. Sementara itu, sebagian besar nelayan lainnya mengaku kebingungan akan mencari pekerjaan di darat.

Rencana alih pekerjaan itu muncul, lantaran mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi mampu diandalkan sebagai gantungan hidup mereka. Hal itu sebagai dampak membengkaknya biaya untuk melaut, menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya minyak tanah dan solar.

"Dengan naiknya harga solar yang mencapai dua kali lipat, serta naiknya harga minyak tanah hingga tiga kali lipat, bisa dipastikan ongkos untuk melaut ikut membengkak," ujar Zaedun (45), nelayan Dukuh Karanganyar RT 2 RW 10, Desa Gempolsewu, kemarin.

Kenaikan harga BBM yang akhirnya berdampak pada biaya melaut, lanjutnya, tidak diikuti dengan kenaikan harga ikan hasil tangkapan.

"Akibatnya, hampir pasti para nelayan akan rugi, karena biaya melaut lebih besar daripada hasil yang diperoleh," ujar bapak lima anak itu.

Kondisi tersebut semakin diperparah dengan perolehan ikan tangkapan yang tak menentu sejak beberapa tahun ini.

"Tangkapan ikan cenderung menyusut drastis. Di sisi lain, saya harus menghidupi keluarga. Karena pekerjaan sebagai buruh nelayan tak lagi bisa digantungkan, rencananya saya akan menjala ikan di sungai," kata buruh nelayan perahu jenis cantrang yang mengaku sebelum kenaikan BBM berpenghasilan Rp 5.000 - Rp 10.000/sekali melaut itu.

Ungkapan hampir senada dikatakan Giyono (25). Buruh nelayan perahu jenis ampera itu, mengaku sebelum kenaikan harga BBM sudah kesulitan memperoleh penghasilan Rp 7.500 sekali melaut.

"Setelah harga solar dan minyak tanah naik, saya tidak tahu nasib ke depan. Saat ini musim ikan tongkol, namun untuk mendapatkannya sangat sulit," ungkapnya.

Tak Melaut

Lantaran tidak berani ambil risiko, Giyono dan ribuan nelayan lain di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tawang Desa Gempolsewu, saat ini memilih tidak melaut.

"Untuk mencari pekerjaan lain, jelas saya tidak mempunyai keterampilan. Mungkin, rencananya nanti saya akan boro ke kota untuk menjadi buruh bangunan," ujar Giyono.

Berdasarkan pengamatan Suara Merdeka pascakenaikan solar dan minyak tanah, ribuan perahu nelayan yang beroperasi di sekitar TPI Tawang Desa Gempolsewu, Kecamatan Rowosari, kemarin tidak digunakan melaut.

Para nelayan di tempat itu, ketika ditemui mengaku kebingungan. Mereka tidak berani berspekulasi untuk melaut, dan lebih memilih menambatkan perahunya lantaran membengkaknya biaya operasional untuk melaut.

"Jika kondisi itu berlarut-larut, saya dan sebagian besar nelayan lain memilih tidak melaut. Bagaimana lagi, daripada melaut namun justru tidak memperoleh hasil," kata Syafi'i yang belum memiliki gambaran untuk bekerja di luar sebagai nelayan itu.

Berdasarkan keterangan, perahu-perahu yang beroperasi di TPI Tawang dibagi menjadi limapurseseine, mini unyil, cantrang (empat jenis perahu ini menggunakan bahan bakar solar-Red), dan sopek. jenis, yaitu perahu ampera, mini

Adapun perahu jenis sopek, sejak kenaikan harga BBM tahun lalu, telah menggunakan bahan bakar minyak tanah untuk mesin dieselnya.

"Saat harga minyak tanah Rp 700/liter atau di sini dijual Rp 1.300/liter, para nelayan menggunakannya sebagai bahan bakar mesin tempel perahu sopek. Pada saat itu, nelayan sudah tidak mampu membeli solar yang harganya Rp 2.700/liter," terang Pujiharto, Sekdes Gempolsewu.

Solar hanya dikonsumsi perahu besar, lanjut dia, atau perahu yang mempunyai daya tempuh melaut lebih jauh. Yaitu mini purseseine, ampera, mini unyil, dan cantrang.

"Jumlah warga di Desa Gempolsewu 12.000 jiwa, dan sekitar 8.000 di antaranya bermata pencaharian sebagai nelayan. Dengan kondisi itu, ribuan nelayan terancam kehilangan pekerjaan," ujarnya.(G15-37)

Senin, 12 September 2005

Kelompok Usaha Bersama Karya Baru Sumbawa

Tanggal : 12 September 2005
Sumber : http://www.sumbawanews.com/?view=lihatartikel&id=825&topik=6


JAM terbangnya terbilang rendah, malah belum sempat merayakan ulang tahunnya yang pertama sejak dibentuk pada Agustus 2000. Namun, dengan tekad bahwa produk penganannya yakni dodol rumput laut harus bisa dicicipi saudara-saudaranya di Tanah Air, mereka mampu menjalin mitra usaha dengan pasar swalayan di Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat.Itulah Kelompok Usaha Bersama (KUB) Karya Baru, Desa Ngeru, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, beranggotakan seluruhnya kalangan perempuan. Produk usahanya berupa dodol rumput laut ditampung dan dipasarkan oleh Grup Hero yang membuka cabang di Mataram Mall, Mataram.

Ketika para pelaku pasar masih diliputi kecemasan akibat krisis ekonomi, mereka berharap bisnisnya tumbuh dan berkembang. "Kami pikir, produk kami tidak tergantung pada krisis atau tidak. Bahan bakunya tersedia, tenaga kerjanya ya, kami ini," ujar Jamila, Bendahara KUB itu.

Hal senada dikatakan Mukminah, Ketua KUB itu. Katanya, "Itulah mungkin yang membedakan usaha rumah tangga dengan industri besar, mana harus mikir bunga bank, siap-siap didemo buruh yang minta naik gaji. Kerja kami ini kan, modalnya cuma kemauan dan semangat. Lagi pula bila tidak bisa berspekulasi, kapan usaha bisa maju."

Gagasan membuat dodol rumput laut bermula dari hasil ngerumpi tiap ada pertemuan kelompok PKK di Kantor Desa Ngeru. Bagaimana membuatnya, modal awalnya dari mana dan adakah pengusaha/penampung, adalah persoalan yang dihadapi kemudian.

Walhasil mereka minta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumbawa membekali mereka dengan pelatihan dari soal teknis, kiat berniaga sampai manajemen usaha. Gayung pun bersambut agaknya, sebab kecuali dilatih proses pengolahan dodol rumput laut, mereka mendapat bantuan (hibah) mesin pengolahan sederhana.

Usai pelatihan yang diikuti ibu rumah tangga dan remaja putri, mereka lalu mencari formula dan meracik bahan dodol. Rumput laut sisa pelatihan sekitar 10 kg kering, dibersihkan, direndam air semalam dan dijemur hingga kering.

Bahan baku utama dodol rata-rata tiga kuintal sebulan itu digiling biar hancur, dicampur gula pasir secukupnya, lalu diaduk dalam wajan dan dimasukkan oven pengering. Proses pembuatannya makan waktu tiga hari, dan dapur kerja ditetapkan di Kantor KUB yang notabene rumah ketua kelompok.

"Kami punya modal Rp 50.000, urunan sama teman-teman untuk membeli gula, madu, dan kelapa," tutur Mukminah maupun Jamila masing-masing Ketua dan Sekretaris KUB itu.

Untuk menawarkan produknya, Mukminah keluar-masuk toko di Sumbawa Besar. Di luar dugaan dodolnya yang dijual Rp 3.500 per kotak berisi 36 keping dodol (300 gram per kotak) itu, diterima sejumlah toko penjual makanan. Dari total penjualan Rp 150.000, setelah dipotong harga bahan baku, hasil bersih masuk kantung Rp 100.000.

Setelah itu, sedikitnya 200 kotak dodol didistribusikan pada sejumlah toko pelanggannya di Sumbawa Besar. Rupanya mereka tidak puas bila produknya cuma beredar di pasar domestik. "Kami ingin agar dodol rumput laut bisa mengikuti Dodol Garut yang sudah dikenal puluhan tahun," kata Mukminah.

Mereka mau produknya menembus pasar lokal NTB. Dasar lagi mujur, KUB ini mendapat bantuan modal bergulir Rp 5 juta dari Depperindag Sumbawa. Mereka kian bersemangat, bahkan nekat menawarkan produk pada Hero di Mataram Mall.

Upaya itu nyaris tidak ada halangan, mengingat Hero tidak tanggung-tanggung pasang order: 24.000 kotak per bulan. Namun, sebagian saja yang bisa dipenuhi, karena kapasitas total mesin pengolah maksimal 12.000 kotak per bulan. Dodol dalam kemasan lumayan bagus itu dikirim tiap bulan ke Hero Mataram Mall.

Dengan total kemampuan produksi 12.000 kotak dikalikan harga Rp 3.500 per kotak, penghasilan KUB itu Rp 42 juta per bulan. Bahkan pengurus KUB itu bisa menggaji 10 orang pekerja yang diupah Rp 200.000-Rp 300.000 per orang. Diharapkan, dana bergulir Rp 5 juta yang bunganya 10 persen per bulan, yang dicicil Rp 291.421 per bulan sudah termasuk bunga 10 persen per bulan, bisa diselesaikan angsuran dua tahun, meski jumlahnya membengkak jadi Rp 6 juta.

Guna meningkatkan produksi, KUB ini menambah peralatan kerja yang ada sebelumnya, yaitu membeli lagi tiga unit oven pengering berisi 90 lengser, dengan kapasitas produksi mencapai 35.000 kotak sebulan. Artinya, produk itu akan dikirim ke luar daerah, atas bantuan Hero di Mataram Mall yang mendistribusikannya ke cabang Hero di Bali, Surabaya, Medan, dan lain-lain.


***
DODOL rumput laut dipilih sebagai kegiatan usaha, karena bahan baku utamanya tersedia, malah komoditas itu bukan asing, mengingat kaum wanitanya mengolah menjadi makanan ringan berupa pudeng untuk konsumsi rumah tangga. Ini terjadi selagi musim panen yang harga rumput laut kering kelas super relatif murah Rp 4.100 per kg kering.

Mereka juga berniat supaya kaum wanita dan remaja desa terdorong mencari sumber pendapatan alternatif, tidak terlalu menyandarkan penghasilan rutin sebagai buruh tani. Beberapa tetangga Desa Ngeru, kaum wanitanya terampil menenun dan bordir untuk mengisi waktu luang.

"Kami di sini tidak memiliki keterampilan demikian. Kerja di sawah paling lama tiga bulan dalam setahun. Selebihnya menganggur menunggu panen padi," tutur Jamila.

Sementara juga diketahui fluktuasi harga gabah amat tinggi. Tahun ini, awal musim panen seharga Rp 80.000 per kuintal, dan anjlok jadi Rp 30.000 per kuintal pada awal Agustus. Itu pun kalau ada pengusaha yang mau membelinya.

Unggul mengangkat rumput laut ke etalase pasar swalayan, namun KUB agaknya belum mampu memotivasi kaum wanita desa hidup mandiri. Indikasinya, 20 orang yang ikut pelatihan, tinggal 10 orang yang aktif, lainnya meninggalkan kampung mengadu nasib sebagai pekerja migran ke luar negeri.


***
MUNGKIN ada anggapan bahwa keberhasilan KUB membangun usaha karena dukungan fasilitas kerja dan modal usaha dari pemerintah. Hanya acap kali dilupakan, kemudahan tanpa diikuti sikap amanah dan tanggung jawab moral untuk memanfaatkannya tidak berarti apa-apa.

Tidak terhitung banyaknya proyek pemerintah yang dibangun dengan dana milyaran rupiah-apalagi ada embel-embel asal proyek jalan-tetapi hasilnya kalau tidak bangkrut, maka fasilitas itu jadi besi tua. Contohnya mesin tepung ikan di Sape, Kabupaten Bima.

Seperti dikatakan Kepala Dinas Perindustrian Sumbawa M Tohram, yang juga mantan Kepala Dinas Perindustrian Bima, mesin itu akan memproduksi 20 ton tepung ikan per hari. Bahan baku ikan, sesuai data sekunder, cukup didapat dari tangkapan nelayan 30 ton per hari.

Kenyataannya, mesin yang dibangun tahun 1992/1993 dengan biaya Rp 6 milyar itu, selain tidak pernah beroperasi maksimal, juga data sekunder itu salah. Buktinya, suplai ikan tangkapan nelayan hanya lima ton per hari, sangat jauh dari perhitungan break event point.

Hal sama dialami produksi sumpit di Kabupaten Sumbawa. "Pengusahanya salah memprediksi potensi bahan baku, karena hanya mengacu data sekunder," kata Tohram soal perusahaan produsen sumpit yang sempat beroperasi beberapa bulan sejak didirikan tahun 1995.

Artinya tidak selamanya usaha berskala besar mendatangkan hasil yang besar, tetapi sebaliknya justru mendatangkan kesusahan. Contoh paling gampang adalah perlakuan terhadap konglomerat dan pengusaha besar yang sangat istimewa. Mereka dimanjakan penguasa dan perbankan.

Akan tetapi, hasilnya porak-porandanya ekonomi negeri ini empat tahun terakhir akibat ulah segelintir pengusaha. Bisa jadi itu karena amanah dan tanggung jawab moral bukan dijadikan prioritas dalam membangun usaha.

KUB yang merakyat melakukan usaha dengan sikap amanah dan tanggung jawab moral yang tinggi. Tanpa tanggung jawab moral, mungkin mustahil KUB itu bisa eksis, apalagi usaha itu dibangun ketika krisis ekonomi dan politik melanda negeri ini. (Khaerul Anwar))

Jumat, 29 Juli 2005

PEMP : Keberpihakan yang Memandirikan

Tanggal : 29 Juli 2005
Sumber : http://www.dkp.go.id/content.php?c=2069


Bank tidak mungkin lagi diintervensi Pemerintah agar mengucurkan kredit bersubsidi dengan persyaratan yang dimudahkan. Sebaliknya nelayan juga belum mampu memenuhi persyaratan kredit perbankan. Swamitra Mina, BPR Pesisir atau Unit Simpan Pinjam (USP) dihadirkan untuk menjembatani dilema tersebut. Bank mikro bagi masyarakat pesisir ini memadukan antara standar pelayanan bank dengan kondisi sosio-kultural masyarakat pesisir.


Peliknya, sebagian terbesar usaha masyarakat pesisir justru masih berada di bawah posisi mikro. Nelayan, misalnya, pada umumnya menjalankan usahanya secara individual dengan manajemen tradisional dalam skala usaha hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsistence). Akibatnya jangankan mengakses perbankan, menembus Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sekalipun mereka masih kedodoran. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan terobosan yang sedikitnya mampu memecahkan dua masalah sekaligus, yakni rendahnya kultur kewirausahaan dan terbatasnya akses permodalan.

DKP sejak tahun 2001 telah menginisiasi program PEMP yang secara bertahap mendekati pemecahan kedua masalah tersebut. Tiga tahun pertama PEMP dengan sistim block grant langsung ke kabupaten/kota, memfasilitasi tumbuh kembangnya kultur kewirausahaan sambil mulai merintis LKM. Hasilnya telah terbentuk kurang lebih 323 LEPP-M3 yang terbesar di pelosok-pelosok pesisir. Melalui LEPP-M3 masyarakat pesisir mulai belajar meminjam kredit, mengelola usaha dengan sentuhan manajemen modern secara propesional tanpa meningggalkan tradisi, serta menanamkan budaya menabung.

Jalan ke depan terbuka lebar dan optimisme kian menguat, tatkala hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada periode yang sama ternyata juga terjadi peningkatan pendapatan kelompok sasaran rata-rata 53,13% per tahun. Tentu saja disana-sini ada kekurangan, tetapi tak terlampau signifikan sehingga tidak menjadi batu sandungan dalam melangkah lebih jauh.


Program ini sejak pelaksanaannya (2001 – 2004) telah melibatkan 247 kabupaten/kota atau 86,06% dari keseluruhan 287 kabupaten/kota berpesisir. Adapun jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan PEMP sejak tahun 2001 – 2003 sebanyak 94.182 KK atau sekitar 376.728 jiwa dengan pendapatan rata-rata awal program sebesar Rp 365.300,- menjadi Rp 860.135 (Desember 2004). Memang untuk mendongkrak pendapatan masyarakat pesisir sampai dengan Rp 1.000.000,- per bulan bukanlah pekerjaan yang mudah tetapi dengan kerja keras disertai dengan do’a kita semua yakin hal itu bisa terpenuhi.

Mengikuti tradisi sejarah, maka boleh dikatakan 2001 – 2003 sebagai periode inisiasi. PEMP tiga tahun selanjutnya (2004-2006) memasuki periode institusional. Fokusnya adalah merevatilisasi LEPP-M3 sehingga menjadi korporasi milik masyarakat pesisir,yang di satu sisi mampu melayani kebutuhan hidup sehari-hari dan di sisi lain dapat memenuhi keperluan usaha usaha seperti modal dan sarana produksi.

Tahun pertama periode institusionalisasi telah terlampaui. Hasilnya pun cukup menggembirakan, 160 LEPP-M3 terevitalisasi hingga berbadan hukum koperasi. Di antaranya 141 memiliki LKM Swamitra Mina, 10 memiliki Pra-BPR Pesisir, dan 9 memiliki Unit Simpan Pinjam (USP). Diharapkan dalam periode institusionalisasi ini LKM tersebut sudah mampu mencapai BEP (break event point) serta 10 buah BPR-Pesisir resmi operasional.

Oleh karena itu dua tahun tersisa periode institusionalisasi, selain terus menumbuhkembangkan koperasi dengan LKM-nya, juga akan merintis pembukaan Kedai Pesisir dan SPDN. Kedua kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi beban masyarakat pesisir. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa rendahnya pendapatan masyarakat pesisir antara lain disebabkan oleh besarnya beban pengeluaran yang harus dikeluarkan, baik di waktu melaut maupun untuk kebutuhan sehari-harinya. Untuk itu dihadirkan Kedai Pesisir. Kedai Pesisir adalah toko serba ada yang melayani kebutuhan sehari-hari, terutama sembako, serta sarana usaha perikanan dengan harga normal. Ke depan jaringan kedai pesisir akan dikelola secara profesional dengan pendekatan waralaba. Akan tetapi mekanisme pengelolaannya akan ditata sedemikian rupa sehingga keuntungan terbesar kedai pesisir akan kembali kepada masyarakat pesisir melalui koperasi.

Begitu pula SPDN, ke depan juga akan didorong menjadi unit usaha dari koperasi. Peluang ini terbuka lebar mengingat masih tersedia paling sedikit 117 titik lokasi SPDN yang telah dinilai layak oleh Pertamina, tetapi belum operasional lantaran kendala modal. PEMP akan memfasilitasi kebutuhan permodalan tersebut dengan kombinasi hibah kredit.

Berdasarkan skenario dua periode di atas, maka pada 2 atau 3 tahun yang akan datang, perlahan tapi pasti, alokasi dana APBN untuk penguatan modal sudah dapat diakhiri sehingga dana PEMP akan turun signifikan, mengingat 80% di antaranya merupakan penguatan modal. Pada saat itu diharapkan ekonomi masyarakat pesisir di sekitar 160 sentra pemberdayaan tersebut akan bergerak mandiri. *** Sumber : Dit. PEMP

Jumat, 06 Mei 2005

Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan

Tanggal : 6 Mei 2005
Sumber:http://www.bung-hatta.info/tulisan_77.ub
Oleh : Indrawadi,S.Pi (Ka. Humas Universitas Bung Hatta)


Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Tahun 1977, Prof Dr.Sumitro Djojohadikusumo, masih menjabat sebagai Menteri Negara Urussan Riset pernah mengatakan “ Indonesia mulai tahun 2000 akan berkiblat pada kekayaan laut di bidang pangan dan energi”.
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Pernyataan ahli ekonomi itu jugalah yang menggugah perhatian yang selanjutnya mendorong diadakannya lokakarya yang bertema pengembangan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang diadakan oleh dewan riset nasional. Dari hasil lokakarya tersebut jugalah mengingatkan kita lahirnya resolusi PBB No. 2749 yang menyatakan bahwa” Kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya diluar yuridiksi sesuatu negara adalah warisan semua umat manusia”
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Masalah urusan umat manusia itu pulalah yang mendesak PBB melangsungkan Konperensi Hukum Laut International III. Dari hasil konpersensi tersebut menghasilkan konvensi laut yang baru yang mengakui dalam pasal-pasalnya, tentang wawasan nusantara. Terhadap konvensi hokum laut yang baru itu banyak negara-negara yang merasa iri karena ternayata Indonesia termasuk yang paling beruntung dengan hukum laut international yang baru tersebut.
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Beberapa kenyataan tersebut saya kutip dari Harian Suara Pembaruan edisi Juni 1987, untuk mengingtakan kita semua bahwa betapa kurangnya intensitas dan perhatian kita ke arah pengelolaan kekayaan laut yang maha dahsyat ini, tetapi mendapatkan porsi yang kurang sekali.
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Sebagi ilustrasi, bangsa Indonesia adalah negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan 17.508 lebih pulau dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 Km. Wilayah laut yang terdiri dari perairan territorial nusantara dan ZEE meliputi 5,8 Km persegi atau lebih dari 70% dari luas total Indonesia. Sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia mengandung potensi pengembangan yang besar, tetapi sejauh ini pemanfaatannya belum lagi optimal.
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Semasa Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup di pegang oleh Prof.Dr.Emil Salim, juga mengakui pentingnya kekayaan laut Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk yang diperkirakan meningkat lebih dari 212 juta jiwa, sehinga mau tidak mau sumberdaya laut Indonesia itu menjadi semakin mendesak untuk dimanfaatkan dan di kelola secara optimal.
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Dr. Rokmin Dahuri, MSc, sebelum menahkodai Departemen Kelautan dan Perikanan, pernah mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduka Indonesia sebsar 1,8% pertahun, pada tahun 2020 nanti jumlah penduduk Indonesia di perkirakan mencapai 267 juta jiwa. Artinya, kebutuhan akan sumberdaya alam dan dan jasa lingkungan akan semakin meningkat, sementara ketersediaannya didarat tidak lagi mencukupi.
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Oleh karena itu sudah saatnya kita kita lebih mengoptimalkan pembangunan nasional di bidang kelautan, dengan demikian sumberdaya kelautan dapat memperkokoh fundamental ekonomi nasional yang menjadi syarat utama menjadi bangsa Indoensia yang maju dan mandiri serta masyarakat yang adil dan makmur.
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Menumbuhkan pengatahuan, pemahaman, sikap dan cinta bahkan ketrampilan tentang laut adalah tugas dan panggilan bagi semua orang yang menyadarinya. Ini bukan saja tugas dati dunia pendidikan atau intanstasi yang berwenang mengurus masalah ini, tetapi adalah bagi kita semua.
Mengelola Sumberdaya Kelautan, Pilihan Masa Depan oleh Indrawadi,S.Pi
Dalam kaitannya di dunia pendidikan khususnya di Sumatera Barat, saat ini telah banyak berdiri sekolah-sekolah yang berbasiskan kelautan dan perikanan dan kemaritiman. Dibidang perguruan tinggi, Universitas Bung Hatta mempunyai Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang bertujuan menumbuhkan minat, sikap serta cinta dan tanggung jawab, sehingga diharapkan para almamaternya dan masyarakat berminat mengembangkan potensi kelautan untuk menguasai dan mengelola serta melestarikan lingkungannya, sedangkan untuk menyiapkan tengaga ahli dan lebih profesiona; Universitas Bung Hatta juga telah membuka Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Perairan Pesisir dan Kelautan, yang kini telah mulai menerima mahasiswa untuk angkatan kedua mulai dari sekarang dan perkuliahan untuk angkatan kedua akan di mulai tanggal 14 Agustus nanti.** ( Indrawadi)

Rabu, 16 Maret 2005

Pengembangan Pendapatan Alternatif Bagi Nelayan Tradisional di Daerah Laut Timor

Sumber : http://www.dkp.go.id/content.php?c=1839
Tanggal : 16 Maret 2005


Seperti diketahui bersama bahwa beberapa waktu lalu ada sekelompok nelayan tradisonal kita yang sering kena razia dari pihak berwajib Australia dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perbatasan. Kalangan nelayan tersebut terkadang tidak mengetahui kalau didaerah MOU Box tidak diperbolehkan nelayan dari negara lain melakukan penagkapan ikan. Ketidaktahuan seperti ini di samping merepotkan negara juga merepotkan keluarganya sendiri, karena otomatis ekonomi keluarga terganggu selama proses penangkapan dan eksekusi dilaksanakan pemerintah Australia.

Melihat kenyataan seperti ini Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir melakukan kegiatan Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Bagi Masyarakat Tradisional Fishing Right. Adapun lokasi kegiatan ditempatkan di Desa Papela, Kecamatan Rote Timur, Kab. Rote Ndao. Tujuan kegiatan ini adalah mengembangkan usaha alternatif bagi masyarakat nelayan tradisional yang menangkap ikan di wilayah MOU Box.

Sasaran kegiatan ini adalah berkembangnya pendapatan alternatif bagi nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah tersebut. Atau setidak-tidaknya pendapatan yang diterima dari kegiatan ini sama besar atau lebih besar dari pendapatan sebelumnya, sehingga masyarakat yang selama ini memanfaatkan wilayah MOU Box menjadi tidak tergantung lagi kegiatannya pada wilayah tersebut. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat penangkap ikan yang selama ini tergantung dari hasil tangkapan di wilayah MOU Box maka mereka akan terhindar dari penangkapan pihak berwajib Pemerintah Australia.

Untuk itu, maka ada beberapa langkah kegiatan yang dilaksanakan seperti dilaksanakan Sosialisasi dan Penyuluhan yang diikuti dengan pembentukan kelompok. Di daerah Papela ini dibentuk 3 kelompok dengan jumlah anggota seluruhnya 50 orang. Kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan pelatihan. Adapun materi pelatihan terdiri dari manajemen usaha, pengenalan budidaya rumput laut, budidaya teripang dan sekilas penangkapan dengan menggunakan gill net. Selain itu dibekali pula dengan materi wawasan nusantara. Adapun metode pelatihan yang digunakan adalah penyampaian teori dan simulasi (dinamika kelompok dan menghitung biaya usaha). Untuk mendukung teori pelatihan diberikan buku tentang budidaya rumput laut dan budidaya teripang.

Untuk merealisasikannya maka diadakan penyaluran Bantuan Usaha Permodalan. Pemberian bantuan langsung masyarakat (BLM) kepada kelompok yang terbentuk dilakukan dengan membeli kebutuhan sarana produksi usaha yang diperlukan. Usaha perikanan yang dikembangkan yaitu usaha budidaya rumput laut, budidaya Teripang dan penangkapan dengan menggunakan Gill Net.