Selasa, 24 April 2007

Konsep Desa Mandiri E3i

Tanggal : 24 April 2007
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=131233

Sektor pertanian dan pedesaan telah terbukti mampu bertahan selama krisis ekonomi 1997. Karena itu, upaya-upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor ini perlu ditingkatkan. Salah satunya melalui rancang bangun infrastruktur pedesaan yang dapat menciptakan suatu kawasan 'mandiri' yang ideal baik untuk kawasan industri, untuk peningkatan nilai tambah produk unggulan daerah maupun sebagai kawasan permukiman yang indah, segar, dan nyaman. Dengan demikian diharapkan akan terjadi arus balik (U-turn) dari kota ke desa yang dapat mengurangi masalah urbanisasi yang telah menyebabkan daya dukung kota-kota besar terlampaui, seperti terjadinya kemacetan lalu lintas yang boros BBM padahal harganya makin mahal dan kawasan permukiman yang makin padat sehingga sering terjadi masalah-masalah sosial yang makin rawan.

Konsep desa mandiri E3I (empowering, energy, economics and environment and independent) diharapkan dapat menciptakan desa-desa yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat melalui penerapan teknologi bersih yang secara sosioekonomis dapat diterima masyarakat setempat dan sumbernya juga tersedia secara melimpah seperti energi surya, angin, biomassa, hidro skala kecil, panas bumi, dan bahkan tenaga laut untuk daerah pesisir. Penataan tata ruang yang asri, segar, dan nyaman, jarak ke tempat kerja yang relatif dekat tentunya dapat pula mengurangi eksodus tenaga kerja ke luar negeri yang menimbulkan masalah yang dilematis. Antara lain berkurangnya tenaga muda yang produktif di pedesaan dikhawatirkan pekerjaan pertanian akan bergantung kepada mereka yang sudah uzur yang mengakibatkan menurunnya kemampuan produksi walaupun sistem mekanisasi akan diterapkan.

Saat ini berkembang beberapa pengertian tentang desa mandiri. Ada yang menamakannya desa mandiri energi, eco-village, atau desa mandiri saja. Dalam tulisan ini desa E3I diartikan sebagai desa yang mampu memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan dan memanfaatkan energi bersih itu untuk keperluan industri dan koperasi yang dapat dikelola tenaga terdidik dan terlatih. Dengan demikian, akan tercipta desa mandiri yang berwawasan lingkungan dengan masyarakat yang ramah karena hidup di lingkungan yang nyaman, segar, dan asri sepanjang tahun.

Tata ruang

Rancangan infrastruktur pertanian dan pedesaan dapat dimulai dengan menerapkan sistem 30:30:30, yaitu 30% penutupan lahan oleh hutan, 30% untuk permukiman dan industri, serta 30% untuk lahan pertanian/peternakan, agar tercipta tapak untuk berproduksi yang relatif aman dari bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Usaha industrialisasi yang memang sudah berjalan dapat difokuskan terus untuk meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor unggulan daerah seperti jagung bagi daerah Gorontalo, sayur-mayur di Riau, Brastagi, Puncak, Lembang, dan lain-lain. Kopi dan kakao di Sulawesi, Lampung, Sumut, Bali, Nusa Tenggara, dan lain-lain. Industri perikanan memanfaatkan daerah pesisir yang merupakan kawasan terpanjang nomor dua di dunia. Di samping itu infrastruktur dasar untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-harinya perlu dilengkapi agar para penghuni betah tinggal di desanya. Sarana umum seperti sekolah, puskesmas, institusi perbankan, kios, atau toko pemasok kebutuhan sehari-hari sarana ibadah di samping tentunya akses ke lokasi industri tempat bekerja yang mudah terjangkau. Letaknya ditata sehingga tidak mengganggu kenyamanan kawasan permukiman.

Sumber penggerak

Proses peningkatan nilai tambah memerlukan teknologi dan teknologi memerlukan energi untuk menggerakkan berbagai peralatan proses produksi tersebut. Karena kebanyakan sentra produksi, terutama sektor pertanian dan kelautan umumnya berada jauh di pedalaman dan belum terjangkau listrik (saat ini baru antara 50%-60% desa teraliri listrik PLN) dan sumber energi fosil, opsi alternatif energi yang paling memungkinkan adalah dengan memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan seperti energi surya, angin, hidro skala kecil(di atas 30 Mw), dan biomassa yang sudah tersedia di lokasi daerah produksi. Selain itu, beberapa teknologi konversinya sudah dapat dilaksanakan bangsa kita sendiri tanpa bantuan tenaga asing. Sampai saat ini pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan masih belum maksimal, hanya sekitar 3,3% dari potensi sebesar 162,2 Gwe (Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005). Diharapkan, pada 2025 pangsa sumber energi terbarukan dapat melebihi 15% (termasuk sumber energi panas bumi dan energi laut) dari total kebutuhan energi nasional.

Teknologi energi terbarukan hasil penelitian dalam negeri sebenarnya sudah mampu menyediakan akses rumah tangga dan industri kecil di pedesaan dalam bentuk energi listrik, energi mekanis dan energi termal. Berbagai proyek percontohan baik atas inisiatif pemerintah, bantuan LN, maupun para peneliti telah mencoba menerapkan teknologi terbarukan di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Beberapa di antaranya tidak dapat diteruskan karena biaya operasi atau modal kerja tersedia, tidak tersedianya manual dan akses kepada pasokan suku cadang sehingga bila terjadi kerusakan tidak segera diperbaiki. Kadang karena kurang pengertian masyarakat pengguna memanfaatkan beberapa bagian dari komponen pembangkit energi untuk keperluan lain sehingga akhirnya sistem tidak berjalan sesuai rancangan aslinya.

Akhir-akhir ini setelah kita mengalami krisis energi yang serius, dengan tiap harinya dibutuhkan sekitar 450 ribu bbl BBM yang harganya terus berfluktuasi sejalan dengan dinamika geopolitik dunia, perhatian terhadap pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan meningkat drastis. Apalagi setelah pemerintah meratifikasi Protokol Kyoto dengan dikeluarkannya UU No 17/2004 dan PP No 5/2006 pengadaan pengganti BBM seperti program biodiesel, bioetanol, dan panas bumi yang sedikitnya harus mencapai di atas 10% dari total kebutuhan energi nasional. Di samping itu upaya pengganti minyak tanah untuk memasak dan proses pemanasan, pengeringan dan pendinginan terus diteliti antara lain dengan memanfaatkan teknologi konversi energi surya maupun biomassa (baik berupa bahan bakar padat, cair, dan gas).

Beberapa contoh alat tersebut termasuk hasil penelitian penulis sudah dimanfaatkan koperasi desa di Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pembangkit listrik dan panas (CHP atau co-generation) dengan daya sampai 100 kwe dapat memanfaatkan sumber biomassa yang banyak terdapat di Tanah Air dan dapat digunakan untuk membangkit listrik dan sumber panas bagi berbagai kegiatan industri seperti untuk memasak, pengeringan maupun pendinginan. Energi surya elektrik (solar cell atau solar PV), umpamanya, dapat dikombinasikan dengan mesin pengering tenaga surya hibrida dengan tungku biomassa, sebagai kegiatan bisnis produktif dan dapat memperpanjang masa simpan produk dan mengurangi kerugian pascapanen yang dapat mencapai 30%. Banyak produk unggulan daerah tidak termanfaatkan dan dibiarkan membusuk karena sarana untuk pemrosesan tidak tersedia atau teknologinya belum dikenal masyarakat. Usaha-usaha bisnis seperti pengeringan, pendinginan produk segar, dan pembekuan sebenarnya sudah dapat dikerjakan bila ditunjang fasilitas keuangan yang inovatif, akses pasar hasil pemrosesan baik untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri sehingga sumber pendapatan masyarakat setempat dapat tersedia secara berkelanjutan dan biaya investasi untuk membangun berbagai usaha produktif seperti disebutkan di atas tadi dapat terbayar. Dengan menggunakan energi surya elektrik itu dapat juga dimanfaatkan untuk membekukan zigot mutiara di daerah produksi terpencil yang belum terjangkau grid nasional. Pendinginan nokturnal sebagai salah satu bentuk pendinginan tenaga surya pasif dapat pula membantu dalam mengurangi beban pendinginan dengan mesin pendingin konvensional. Penelitian penulis bersama mahasiswa sebelumnya menunjukkan besarnya daya pendinginan secara alami ini bisa mencapai antara 40-70 w/m2 pada malam yang cerah.

Bila sumber-sumber energi yang bersih dan akrab lingkungan itu dapat digunakan untuk tujuan produktif, sebagai sumber utama pengembangan industri di daerah terpencil pedesaan dan daerah nelayan, diharapkan akan tumbuh berbagai industri di pedesaan dengan komponen lokal relatif tinggi. Akibatnya, lapangan pekerjaan di daerah pedesaan makin tersedia sehingga daya beli masyarakat pedesaan dapat meningkat dan masyarakat desa tidak perlu lagi berbondong-bondong melakukan urbanisasi atau menjadi buruh kasar di luar negeri. Dengan demikian akan tercipta desa-desa mandiri yang dapat berfungsi seterusnya sebagai pemasok kebutuhan pokok masyarakat akan pangan sandang dan papan termasuk kebutuhan manusia akan obat-obatan alami serta energi terbarukan.

Selama ini teknologi energi terbarukan sulit berkembang karena tidak dikaitkan dengan jelas untuk tujuan-tujuan produktif berupa kegiatan peningkatan nilai tambah produk yang umumnya berasal dari sumber daya alam terutama dari sektor pertanian dan kelautan. Dengan mengaitkan kegiatan pengadaan dan penerapan teknologi energi terbarukan dengan kegiatan ekonomi biaya investasi akan dapat terbayarkan apabila pemerintah dapat memberikan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih operasional untuk desiminasi teknologi energi terbarukan. Pemerintah beberapa negara maju, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang, menutup sebagian biaya produksi energi terbarukan sehingga menjadi kompetitif seperti kebijakan feed-tariff atau insentif pajak untuk pembangkit listrik. Di ASEAN khususnya Thailand telah menerapkan sistem itu. Pemerintah membantu US$0,001-US$0,002 per kwh listrik yang dihasilkan dari sumber-sumber energi terbarukan. Kebijakan lain yang dapat diterapkan berkaitan dengan skim pendanaan adalah pemberian kredit dengan grace period cukup lama, umpama lima tahun sehingga pengusaha dengan sumber energi terbarukan dapat mengembalikan modalnya tepat waktu walaupun dengan tingkat suku bunga komersial.

Perumahan pedesaan

Umumnya desa-desa di pedalaman belum memanfaatkan potensi keindahan alam yang terhampar luas. Tata letak bangunan umumnya belum diatur dengan rapi. Fasilitas dasar seperti kebutuhan AC untuk kenyamanan hunian masih jauh dari pemikiran pemukim. Begitu pula penataan lanskap yang hijau, pohon-pohon yang tertata rapi serta bunga-bunga yang cemerlang memberikan suasana segar, indah, dan nyaman. Tentunya potensi itu nantinya merupakan aset nasional untuk program pariwisata baik domestik maupun luar negeri. Kalau untuk desa-desa yang sudah ada penataannya akan mengalami hambatan, mungkin pembentukan desa mandiri dapat dimulai dengan desa baru yang akan dihuni para pensiunan sebagai contoh awal. Para pensiunan umumnya mempunyai kondisi ekonomi yang lebih baik dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi sehingga apresiasi terhadap estetika pun lebih baik. Rumah-rumah tradisional setempat dapat dirancang ulang seperti rumah kayu kelapa dari Manado, rumah Melayu, atau rumah Bali agar selain lebih menarik dapat juga menyediakan fasilitas dasar agar wisatawan betah tinggal.

Tidak ada komentar: