Jumat, 22 Desember 2006

Rehabilitasi Mangrove Berbasis Masyarakat

Tanggal : 22 Desember 2006
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_168.ubh

Rusaknya hutan mangrove untuk dijadikan lahan pertambakan atau karena penebangan yang tak terkendali membawa dampak negatif pada lingkungan laut berupa sedimentasi, yang pada gilirannya akan merusak terumbu karang dan padang lamun. Sedimentasi juga meningkatkan kekeruhan yang menyebabkan menurunnya kelayakan lingkungan untuk pariwisata maupun perikanan.

Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah berulangkali dilakukan. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kelautan dan Perikanan, maupun Departemen Kehutanan bahkan dari Pemda setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah.
R

Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove dan masyarakat masih cenderungd ijadikan obyek dan bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).

Secara umum ekosistim mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun sangat dipengaruhi oleh pengendapan atau sedimentasi, ketinggian rata-rata permukaan laut dan pencemaran perairan itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan oksigen dengan cepat yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan. Kerusakan mangrove juga disebapkan oleh kegoatan penebangan/eksploitasi masyarakat ataupun konversi lahan untuk keperluan lain.

R
Dinas Perikanan dan Kelautan Sumbar bekerjasama dengan LPPM Univ.Muhamadiyah melakukan penanaman 10.000 batang bibit mangrove di Kelurahan Aur dan Desa Taluk, Kota Pariaman pada areal seluas 1Ha. Namun demikian upaya lanjutan untuk memulihkan kembali hutan mangrove harus dilakukan. Hasil identifikasi oleh tim menunjukkan masih banyaknya areal hutan mangrove yang perlu irehabilitasi kembali.Di sepanjang pesisir Kota Pariaman masih terdapat potensi mangrove seluas 3,5 ha yang diakui sebagai tanah adat atau ulayat.

Survei Lokasi

Sebelum pemilihan lokasi penanaman terlebih dahulu dilakukan survey yaitu kesesuaian lahan, inventarisasi tentang struktur komunitas lokal dari mangrove serta karakteristik lingkungannya. Dari hasil survei diperoleh data-data jenis mangrove yang tumbuh secara alami di kelurahan/desa karan Aur dan Taluk antara lain dari jenis Brambang (Sonneratia caseolaris), Cemara laut ( Casuarina equisetifolia), Jeruju (Achantus ilicifolis), Waru Laut ( Hibiscus tilaceus), Kalimuntung (Cerbera mingas), Nipah (Nypa fruticans) dan Nibung (Onchosperma tigillaria). Selain jenis alami, data-data kualitas airpun di ukur, maupun subtrat tempat hidupnya yang berupa pasir berlumpur dengan ketebalan rata-rata mencapai 25 cm. Secara umum lokasi tersebut sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai kawasan perlindungan (green belt), yang dapat pula dikembangkan sebagai daerah wisata untuk mendukung potensi sumberdaya yang ada sebelumnya.



Berdayakan Masyarakat Pesisir

Dengan memberdayakan potensi masyarakat pesisir, tentunya masyarakat juga merasa bertanggung jawab. Artinya masyarakat merasa ikut memiliki (tumbuh senseof belonging) hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi tersebut.

Begitu pula,seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat juga merasa harus mengawasinya, sehingga mereka dapat mengawasi apabila ada yang ingin mengambil atau memotong hutan mangrove hasil rehabilitasi tersebut secara leluasa. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.

Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom- up.

Dalam pelaksanaan Otoda (otonomi daerah) dewasa ini seharusnya semua kegiatan rehabilitasi hutan mangrove hendaknya diserahkan pada masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan mengembangkan partsipasinya terhadap berbagai kegiatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kehidupan mereka. Keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat dan masih banyak lagi lainnya

Tidak ada komentar: