Sumber : http://sudewi.blog.com/1176519/
“…Kita tidak boleh putus asa meski penghasilan melaut tidak lagi mencukupi. Anak-anak tetap harus sekolah.“
(Amriani, ibu empat anak, tinggal di Teluk Lombok )
Semangat untuk meraih sukses bisa timbul dari mana saja, termasuk dari kerusakan alam. Inilah yang ditunjukkan masyarakat Dusun Teluk Lombok, Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Pesisir desa dengan hutan bakau yang rusak tidak membuat semangat mereka surut untuk merintis kesuksesan. Bergandengan tangan dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama BIKAL, dimulailah tapak perjalanan masyarakat, laki-laki dan perempuan, menuju kesetaraan dan hidup yang lebih baik bersama bakau.
Bakau dan Teluk Lombok
Teluk Lombok merupakan salah satu kampung nelayan dalam naungan desa Sangkima, Kabupaten Kutai Timur, di pesisir Taman Nasional Kutai. Hutan mangrove yang melindungi pantai dari erosi, hantaman gelombang dan terpaan badai, terbentang di sepanjang timur taman nasional yang memiliki luas 198.629 hektar ini. Hutan bakau di Taman Nasional Kutai merupakan bagian dari kekayaan hutan bakau Kalimantan Timur yang luasnya hanya kalah dari hutan serupa di Papua dan Sumatera Selatan. Masyarakat Teluk Lombok dan dusun lainnya di Sangkima berdarah Sulawesi. Gelombang kedatangan orang Sulawesi Selatan, yang memiliki budaya pelaut, ke Sangkima diawali oleh hadirnya Datuk Solong pada 1922 bersama dua anaknya, Lato La Talana dan Lato La Dolomong. Dolomong-lah yang dikenal sebagai orang pertama yang menetap di Sangkima. Khusus Teluk Lombok, wilayah ini menjadi perkampungan pada 1960-an. Kini paling tidak ada sekitar 320 orang (120 keluarga) menetap di Teluk Lombok, meneruskan tradisi para leluhurnya: menjadi nelayan. Saat masih begitu rimbun, hutan bakau menjadi gantungan hidup masyarakat Teluk Lombok. Ikan, udang dan kepiting yang begitu melimpah, mencari makan, bernaung dan berkembang biak di sekitar rimbunan bakau. Nelayan menangkap hasil laut dan menjualnya mentah ke pasar. Sebagian diolah menjadi ikan asin oleh para perempuan.
Petaka Datang
Rimbun bakau ternyata tidak bertahan lama. Hutan bakau perlahan menghilang, tercerabut dari pesisir Taman Nasional Kutai. Bermula dari dibangunnya jalan di wilayah tersebut oleh satu perusahaan besar di awal 1970-an, akses masuk pun tercipta. Perambahan terhadap kawasan ini pun terjadi. Bakau bersama jenis hutan lain yang ada di situ ditebangi secara membabi buta oleh orang luar, seperti dari Balikpapan dan Ujungpandang. Hutan bakau juga banyak disulap menjadi tambak udang. Pesisir Teluk Lombok yang dulu terkenal rimbun juga tidak luput dari gerayangan tangan-tangan penjarah.
Ado Tadulako (59 tahun), mantan kepala dusun Teluk Lombok, masih mengingat dengan jelas bagaimana mulai pertengahan 1970-an banyak orang luar datang menebangi bakau dan memboyongnya ke kota. “Katanya ada yang dijual ke Ujungpandang,” papar Ado sambil mengisap kreteknya. Masyarakat Teluk Lombok waktu itu hanya menonton berkubik-kubik kayu bakau dari dusun mereka diangkut keluar. “Waktu itu, tidak ada yang melarang. Tidak ada yang menghalangi karena kami pikir tidak akan ada akibatnya bagi kami yang tinggal dan bermata pencaharian di sini,” kenangnya.Bertahun-tahun kemudian, Teluk Lombok mulai merasakan derita akibat lenyapnya hutan bakau di pesisir. Abrasi membuat garis pantai semakin melebar sehingga Ado harus memindahkan pondok keluarganya ratusan meter ke arah daratan. Beberapa bulan kemudian, anggota dusun lainnya menyusul langkah Ado. Sambil menerawang, Ado melanjutkan cerita terpuruknya Teluk Lombok. “Dulu kita tidak perlu jauh melaut. Tapi, hasilnya melimpah. Setiap hari kita bisa menangkap ikan, selain udang dan kepiting rata-rata 2-3 pikul,” tuturnya. Seiring rusaknya bakau, tangkapan hasil laut pun semakin menipis. “Mulai 1982 terasa susahnya. Sehari paling banyak 20 kilogram (kg). Itu pun sudah harus melaut jauh dari pantai,” tutur pria bertubuh kurus ini.
Seiring berjalannya waktu, keadaan bertambah sulit. Untuk melaut, masyarakat harus pergi jauh dari pantai. Bertarung dengan ombak yang lebih besar harus dilakukan. Perahu juga membutuhkan bahan bakar lebih banyak karena jarak melaut yang makin jauh. Namun, hasil tangkapan tidak seberapa. Bahkan jika bisa mendapat 10 kg saja dalam sehari, kata
Ado : Sang Motivator
Upaya Konservasi dan Pendirian Kelompok Petani Bakau
Keaktifan Ado, membuatnya bertemu BIKAL, salah satu lembaga swadaya masyarakat di Kalimantan Timur, yang berkantor di Samarinda dan Bontang. Awal kerjasama BIKAL dan Teluk Lombok dilakukan tahun 2000 melalui program “Resolusi Konflik: Konsolidasi Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Kutai“. Program ini mendapat dukungan dana dari NRM (Natural Resources Management), sebuah lembaga pemberi dana.Pertengahan 2001, saat melakukan kampanye kelestarian dan penguatan kelembagaan desa, BIKAL menyadari ajakan melestarikan lingkungan tidak dipedulikan masyarakat karena mereka sedang menghadapi persoalan yang sangat mendesak, yaitu kebutuhan perut. Lembaga swadaya masyarakat ini melihat bahwa pendekatan harus diubah. Masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat menjadi peluang mengembangkan program rehabilitasi bakau di kawasan pesisir.
BIKAL beruntung karena masyarakat Teluk Lombok memiliki
Bercermin dari kegagalan program Dinas Kehutanan Kutai Timur 2002 dan keberhasilan masyarakat Tongke-Tongke mengelola bakau sendiri, masyarakat yakin bahwa rehabilitasi bakau di dusunnya bisa berjalan jika mereka sendiri yang menanam, menjaga dan memelihara. Namun, kesempatan untuk membuktikan diri harus lebih dulu ada. Pendekatan BIKAL dengan Mitra Taman Nasional Kutai membuahkan hasil. Masyarakat mendapat dukungan modal untuk mengelola sendiri rehabilitasi bakau di pesisir dusunnya seluas 10 ha. Namun, keperluan administratif membutuhkan adanya organisasi resmi.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, Pangkang Lestari didirikan pada April 2004. Dalam bahasa setempat, Pangkang berarti api-api (sejenis bakau). Penamaan Pangkang Lestari menandai keinginan masyarakat untuk menumbuhkan dan melestarikan bakau di Teluk
Perempuan Mulai Berperan
Ketika mendapat kesempatan melihat proses pembibitan bakau di Kariangau, Balikpapan Juli 2003, Usman juga sempat melihat cara penggemukan kepiting melalui keramba. Kepiting keramba inilah yang menjadi alternatif mata pencaharian lain, selain melaut dan belajar menjadi penyedia bibit bakau. Saat pertama kali dicoba, dalam 20 hari kepiting sudah bisa dipanen, kemudian dijual dengan harga antara Rp 8.000,00 – Rp 10.000,00 per kg.Usaha kepiting keramba Pangkang Lestari menumbuhkan inovasi tersendiri bagi perempuan Teluk Lombok. Saat ujicoba penggemukan kepiting di keramba, ternyata tidak semua kepiting bisa dijual. Kepiting yang cacat tidak laku di pasaran. Petani harus membuang lumayan banyak kepiting cacat. Dari 15-20 kg kepiting yang ada di satu keramba, sekitar 2-3 kg cacat. Melihat banyaknya kepiting yang terbuang percuma, saat itu timbul ide para ibu untuk mengolahnya menjadi krupuk kepiting. Ide krupuk kepiting ini berdasarkan cerita Usman tentang seorang ibu di Kariangau,
Terus Menggalang Semangat Belajar dan Kerjasama Lelaki Perempuan
Semangat belajar yang tinggi terus diperlihatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan di Dusun Teluk Lombok. Dalam melakukan proses rehabilitasi bakau misalnya, Pangkang Lestari memiliki cara tersendiri untuk memantau perkembangan bibit bakau yang ditanam. Setiap bulan Sekolah Lapang digelar, baik di lokasi pembibitan maupun di pantai tempat penanaman. Di tempat pembibitan, Sekolah Lapang dilakukan untuk mengamati bibit, misal serangga apa saja yang mengganggu dan bagaimana mengatasi gangguan tersebut. Di pantai tempat penanaman akan dilihat sejauh mana pertumbuhan tanaman setiap bulan dan apakah ada gangguan di lokasi tanam. Sesudahnya, sambil duduk santai di pantai, masyarakat secara serius mendiskusikan perkembangan bakaunya.Berkat ketekunan masyarakat, bibit bakau yang ditanam tumbuh dengan baik. Seorang pengamat lingkungan dari Semarang, Muhammad Marzuki, seperti dikutip Harian Kompas (9 Agustus 2004), menjelaskan tentang tidak mudahnya menanam bakau. “Untuk setiap inci pertumbuhan bakau bisa memerlukan waktu berbulan-bulan. Kendala berdatangan ketika masyarakat sekitar pantai tidak juga paham perlunya hutan bakau,“ tutur Marzuki. Di Teluk Lombok, bibit bakau yang ditanam sekitar 200.000 pohon. Menurut Ado, anak bakau yang waktu ditanam memiliki tinggi sekitar 30-50 cm dalam 13 bulan menjadi 1,5-2 m. Karenanya, rehabilitasi Pangkang Lestari bisa dikatakan sukses.Tidak hanya itu, luas wilayah rehabilitasi yang semula luasnya 10 ha pada Agustus menjadi 12 ha pada Desember 2004. Para petani melakukan penanaman tambahan secara swadaya sesudah melihat ada tanah gundul di sekitar pesisir yang perlu ditanami. Bibit bakau di area tambahan ini juga tumbuh dengan baik.Keberhasilan ini menjadikan Pangkang Lestari dipercaya sebagai penyedia bibit, dimulai dari program rehabilitasi bakau Dinas Kehutanan Kutai Timur. Dinas Kehutanan selama ini memasok bibit dari Balikpapan. Saparuddin dari BIKAL menjelaskan Pangkang Lestari waktu itu mampu menyediakan 375.000 bibit bakau untuk lahan seluas 150 ha. Setiap batang bibit dihargai Rp 450,00. Dalam penyediaan bibit untuk program-program rehabilitasi bakau, Pangkang Lestari melibatkan sekitar 50 keluarga di RT 1, 2, dan 3 Dusun Teluk Lombok. Dalam melakukan pembibitan terdapat pembagian peran antara lelaki, perempuan bahkan juga anak-anak. Nursalim dari BIKAL menjelaskan, lelakilah yang bertugas mencari bibit bakau di sekitar wilayah Teluk Lombok. Jika diperlukan bibit bisa dicari sampai ke wilayah Bontang. Sementara itu, perempuan dan anak-anak biasanya membantu mengisi tanah ke dalam polybag. Sesudah didapatkan, bibit akan ditancapkan ke dalam polybag baik oleh lelaki maupun perempuan. Selanjutnya, ribuan bibit bakau yang sudah berada di kantung-kantung plastik diletakkan sementara di suatu tempat di pinggir pantai. Tempat sementara tersebut memiliki atap sederhana terbuat dari daun nipah. Fungsinya adalah untuk melindungi bibit tersebut dari sinar matahari. Para bapak yang biasanya pergi melaut dan melewati tempat peletakan sementara bibit, biasanya menyempatkan diri untuk mengecek kondisi bibit bakau tersebut. Dalam 1-3 bulan, bibit yang sudah disemaikan di polybag siap untuk ditanam di pinggir-pinggir pantai atau dikirim ke tempat-tempat yang sudah memesan bibit tersebut seperti ke Bontang atau Bulungan, Kalimantan Timur.
Terus Belajar, Berkembang dan Menularkan Semangat
Menjelang akhir 2006, tercatat paling tidak 3 daerah di Kalimantan Timur, yaitu Bontang, Sangatta dan Bulungan, menggunakan bibit bakau pasokan dari Kelompok Tani Pangkang Lestari dan masyarakat Teluk Lombok. Sejak akhir 2005 sampai Oktober 2006, paling tidak telah terjual bibit bakau sebanyak 1.113.500 dan total penjualan sebesar Rp 541.850.000. Jika dulu satu bibit hanya terjual Rp 450 per buah, sekarang dihargai sampai Rp 600.Hasil wawancara yang dilakukan BIKAL (Oktober 2006) saat menjalankan kegiatan Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP) dukungan MFP di 4 desa, termasuk Desa Sangkima, memperlihatkan peningkatan ekonomi telah terjadi di Dusun Teluk Lombok dari penjualan bibit bakau. Husen, 77 tahun, salah satu anggota Pangkang Lestari mengatakan kepada Mukti Ali dari BIKAL, bahwa dia baru sekali memegang uang jutaan rupiah. Dan ini diperoleh dari hasil penjualan bibit bakau. Sumanti, 34 tahun, ketua Pokja Krupuk Kepiting menyatakan dalam bahasa Mamuju, ”Ampunna’ u’de tau mabbalukang polo, u’de diang ni pambayyari anak sekolah ampe mambayarri panginranggang”. Artinya kira-kira, ”Kalau tidak ada penjualan polo (bakau), tidak ada ongkos untuk membiayai sekolah anak dan membayar hutang.”Lebih lanjut, para petani bakau di Teluk Lombok juga mendapat semangat lain dari usaha krupuk kepiting yang telah dijalankan para perempuan. Mengingat harga krupuk kepiting yang jauh lebih tinggi dibandingkan kepiting mentah, masyarakat setempat menyadari perlunya ketersediaan bahan mentah untuk menunjang usaha krupuk kepiting tersebut. Bahan mentah dari kepiting alam masih sulit diperoleh karena hutan bakau masih belum pulih. Maka, dalam jangka pendek, upaya penggemukan kepiting keramba tetap dilakukan. Petani Pangkang Lestari kini giat mempelajari cara yang lebih efektif untuk pembesaran kepiting di tambak dan penggemukan di keramba dengan dukungan dari Mitra Taman Nasional Kutai.Selain itu, masyarakat Teluk Lombok, juga mulai melirik upaya budidaya rumput laut yang biasanya juga dilakukan di wilayah hutan bakau. Kelompok Kerja Rumput Laut pun terbentuk di bawah Kelompok Pangkang Lestari. Budidaya rumput laut nampaknya pilihan tepat. Budidaya ini sangat menguntungkan dan hanya memerlukan teknologi sederhana. Kantor Berita Antara mengutip pendapat Prof. Sulistijo, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Pelajaran Berharga Teluk Lombok
Dari upaya yang dilakukan masyarakat Teluk Lombok bersama BIKAL, ada beberapa pelajaran menarik yang dipetik. Pertama, masyarakat memiliki kemampuan bertahan dan mengembangkan diri meski berangkat dari kondisi keterpurukan. Pada masyarakat Teluk Lombok, kerusakan hutan bakau mendorong mereka untuk berjuang dan kreatif dalam menumbuhkan kembali bakau dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Kedua, apa yang terjadi di Teluk Lombok memperlihatkan hal-hal yang diperlukan masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan. Adanya tokoh atau motivator lokal serta pihak yang mendukung menjadi hal penting. Yang juga sama pentingnya adalah pengorganisasian diri masyarakat, semangat untuk belajar serta saling dukung antar komponen masyarakat. Ketiga, terkait isu jender, apa yang terjadi di Teluk Lombok menunjukkan hubungan saling dukung antara laki-laki dan perempuan. Singkatnya, masyarakat Dusun Teluk Lombok dan BIKAL berhasil membuktikan bahwa upaya mendorong usaha alternatif masyarakat bisa menimbulkan efek domino yang lebih besar. Dalam hal ini, bukan hanya usaha alternatif yang diciptakan, tapi juga upaya konservasi dan penguatan kesetaraan jender yang terjadi.